Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kalkulator penilaian risiko kanker payudara telah banyak dibicarakan dalam beberapa tahun terakhir.
Alat ini berfungsi untuk memprediksi seberapa besar kemungkinan seorang wanita akan terdiagnosis kanker payudara di masa depan. Namun, apakah benar alat ini efektif untuk semua orang? Apa yang perlu kita ketahui dan waspadai dari hasilnya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kisah Olivia Munn
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aktris Amerika, Olivia Munn, beberapa bulan lalu mengumumkan bahwa ia didiagnosis mengidap kanker payudara dan menjalani mastektomi ganda. Dilansir dari Channel News Asia, hidupnya terselamatkan berkat kalkulator risiko kanker payudara.
Dokternya menghitung skor risikonya dan hasilnya menunjukkan bahwa Munn berada dalam kategori berisiko tinggi. Tim dokter kemudian melakukan rangkaian pemerikasaan seperti MRI, USG payudara, dan biopsi. Semua prosedur tersebut akhirnya mengonfirmasi kanker Luminal B di kedua payudaranya.
Cara Kalkulator Risiko Bekerja
Kalkulator risiko kanker payudara, seperti model Gail dan Tyrer-Cuzick, atau ada yang menyebutnya sebagai model IBIS. Alaat ini dirancang untuk memperkirakan kemungkinan seseorang mengalami kanker dalam jangka waktu tertentu.
Cara kerjanya, pengguna akan memasukkan data pribadi seperti usia, etnis, dan riwayat keluarga. Kemudian dilanjutkan dengan menyebutkan kapan ia menstruasi pertama dimulai. Terakhir adalah usia saat melahirkan anak pertama, jika punya.
Setelah itu, sistem membandingkan informasi tersebut dengan data populasi serupa, memberikan estimasi risiko dalam 5 tahun ke depan dan sepanjang hidup. Namun, kalkulator ini umumnya hanya divalidasi untuk populasi Amerika, sehingga keterbatasan muncul ketika digunakan di wilayah lain, seperti Singapura.
Mengapa Alat Ini Kurang Relevan di Singapura?
Para ahli di Singapura menjelaskan bahwa alat ini tidak sepenuhnya cocok bagi demografi lokal. Andrew Clayton Lee, seorang dokter bedah di Rumah Sakit Gleneagles, mengatakan bahwa kalkulator seperti model Gail didasarkan pada data populasi Amerika Utara, sedangkan wanita Singapura mayoritas berasal dari etnis Melayu, Cina, atau India. Perbedaan ini dapat menghasilkan prediksi yang tidak akurat.
“Wanita dengan risiko tinggi mungkin merasa aman secara keliru, atau sebaliknya, wanita berisiko rendah justru menjadi cemas tanpa alasan jelas,” kata Lee seperti yang dikutip dalam Channel News Asia.
Selain itu, banyak wanita menggunakan kalkulator ini tanpa bimbingan profesional. Choo Bok Ai, ahli onkologi radiasi dari Icon Cancer Centre, mengingatkan bahwa tanpa konsultasi medis, hasil bisa disalahartikan. “Jika skor risikonya tinggi, sebagian wanita mungkin takut berlebihan dan malah mencari pengobatan alternatif yang tidak tepat,” jelasnya.
Meski kalkulator risiko bisa bermanfaat, deteksi dini kanker payudara tetap bergantung pada kesadaran dan pendidikan. Di Singapura, rendahnya tingkat pemeriksaan menunjukkan tantangan yang harus diatasi. Survei Kesehatan Populasi Nasional 2022 melaporkan hanya sekitar 40 persen wanita usia 50 hingga 69 tahun rutin melakukan mammogram. Angka ini kian menurun menjadi di bawah 35 persen pada 2023.
“Banyak wanita menunda pemeriksaan karena alasan budaya, ketakutan akan diagnosis, atau terbatasnya waktu dan biaya,” ungkap Dr. Choo. Ini menjadi pengingat bahwa pencegahan membutuhkan pendekatan holistik, tidak hanya mengandalkan teknologi.
Metode Deteksi Dini Kanker Payudara
Di Singapura ada beberapa metode untuk mendeteksi kanker payudara. Yang paling umum adalah mammogram. Metode ini menggunakan sinar-X untuk mendeteksi kelainan seperti benjolan atau bintik-bintik kecil.
Kemudian ada USG payudara. Teknkiknya dengan memanfaatkan gelombang suara, umumnya digunakan untuk wanita dengan jaringan payudara padat. Lalu ada MRI Payudara yang disarankan bagi wanita dengan risiko tinggi atau jika mammogram menunjukkan hasil tidak jelas.
Terakhir adalah pemeriksaan payudara sendiri. Metode ini direkomendasikan untuk dilakukan bulanan oleh wanita di atas usia 20 tahun, tujuh hingga sepuluh hari setelah menstruasi.
Lee menyebutkan bahwa klinik-klinik di Singapura kini menawarkan mammogram 3D yang lebih akurat dibanding mammogram 2D. Namun, setiap metode tetap memiliki keterbatasan. “Mammogram tidak selalu mendeteksi kanker pada wanita muda dengan jaringan payudara padat, dan hasil negatif palsu bisa terjadi,” katanya.
Gaya Hidup untuk Mengurangi Risiko Kanker
Di luar teknologi dan tes medis, langkah pencegahan melalui gaya hidup sehat memainkan peran penting. “Sekitar 80 persen risiko kanker dipengaruhi oleh gaya hidup,” ujar Choo. Ia merekomendasikan agar wanita makan makanan seimbang, olahraga teratur, mengelola stres, dan mengurangi konsumsi alkohol
Selain itu, wanita dengan riwayat keluarga kanker payudara dapat mempertimbangkan pengujian genetik untuk mendeteksi risiko sejak dini. Meskipun tidak semua faktor risiko bisa dikendalikan, menjalani gaya hidup sehat dapat menurunkan kemungkinan terkena kanker.
CHANNEL NEWS ASIA
Pilihan editor: 10 Hal yang Penting Dilakukan Setelah Didiagnosis Kanker Payudara