Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Kartu merah, kartu lain

Suka duka (pengalaman) wasit sepak bola. menjadi wasit hanya hobi. honor tak cukup untuk membeli perlengkapan. resikonya di keroyok penonton. (sd)

9 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENONTON selalu menjadi wasit terbaik. Atau seperti pepatah Belanda: nakoda terbaik berdiri di daratan. Tapi dalam setiap pertandingan sepakbola, apa yang sebenarnya terjadi di lapangan hijau tak selalu terlihat oleh penonton. Untung jika reaksi penonton hanya berupa teriakan-teriakan. Kalau sampai mereka menyerbu ke tengah lapangan dan menjadikan wasit sebagai bola, cerita pun jadi lain. Itu misalnya dialami wasit Soetedjo SH dalam kompetisi Galatama Minggu 20 Januari lalu di Bandung antara Saribumiraya (Bandung) lawan Jayakarta (Jakarta). Karena menganggap beberapa keputusan Soetedjo berat sebelah, pada menir ke-70 puluhan penonton menyerbu ke tengah lapangan dan mengeroyok wasit itu. Kepala dan dahinya luka. "Untung tidak sampai parah," kata Soetedjo kepada TEMPO. Tentang keputusan-keputusannya yang dianggap tak seimbang dalam pertandingan itu, dibantah keras oleh Soetedjo. "Mana mungkin saya memihak Jayakarta," tuturnya, "karena sebelum pertandingan saya sudah berdoa kepada Tuhan agar diberiNya petunjuk yang benar." Kapokkah dia? Soetedjo menggeleng. "Kalau orang-orang tidak mau menjadi wasit lagi, lalu bagaimana persebakbolaan kita?" katanya. Menurut Soetedjo tak ada kebahagiaan seorang wasit selain pertandingan yang dipimpinnya berjalan lancar, tanpa keributan. Mang Dudung Oetje Soetedjo (47 tahun) sarjana hukum keluaran Universitas 17 Agustus (Jakarta) adalah juga staf Danjen Koserse MABAK dengan pangkat mayor. Pria bertubuh kekar dengan 5 orang anak ini berkenalan dengan bola sejak usia muda melalui klub sepakbola POP di Persija. Pada 1964 ia mengantongi Certifikat 3 (C3) untuk menjadi wasit klub dan 1973 memperoleh C1. Kini ia sedang dicalonkan PSSI untuk menjadi wasit FIFA (organisasi sepakbola dunia). Ada 3 tingkat wasit, yaitu C3 untuk pertandingan antar klub, C2, untuk pertandingan tingkat bond (provinsi) dan C1 untuk pertandingan tingkat nasional. Bila dipandang telah cukup berpengalaman, seorang wasit pemegang C1 dapat diusulkan PSSI untuk menjadi wasit FIFA. Hingga sekarang Indonesia sudah memiliki 6 orang wasit FIFA. Semestinya Soetedjo memimpin pertandingan Pardedetex melawan Grasshopper (Swis) di Senayan 26 Januari lalu. Tapi kebetulan dalam waktu bersamaan, tetangganya di Kompleks POLRI Pengadegan (Jakarta) mengadakan pengajian untuk Almarhum Dudung. Ia memang bertetangga dengan tokoh Reog BKAK yang baru-baru ini meninggal dunia. "Agaknya Mang Dudung ingin membawa saya juga," katanya dengan suara rendah mengenang kejadian di Bandung itu. Ia tak banyak bicara ketika ditanyai lebih banyak tentang pengalamannya sebagai wasit. "Selama hidup, baru di Bandung itulah saya merasakan pengalaman pahit" -- itu saja katanya. Wasit Achmad Karim memang belum pernah mengalami nasib buruk seperfi Soetedjo. "Sebagai wasit, saya sangat berbahagia kalau pertandingan berjalan lancar tanpa kericuhan," kata Karim. Dengan status wasit FIFA, Karim berpengalaman memimpin pertandingan-pertandingan internasional di Bangkok, Kualalumpur, Seoul dan Tokyo. Ia mengaku kedudukannya sebagai wasit hanya hobi. "Di seluruh dunia tidak pernah ada wasit profesional," tuturnya. Memang, katanya, wasit menerima uang tugas. Tetapi kalau uang itu dipandang sebagai upah, "tak seorang pun yang akan mau menjadi wasit di Indonesia dalam iklim seperti sekarang." Bertubuh ramping dengan kumis melintang, Karim (55 tahun) berstatus tetap sebagai kepala SPG Negeri Bantaeng (Sul-Sel), kampung kelahirannya. Ia tak mau menyebut berapa honornya sebagai wasit pada tiap pertandingan. "Sepuluh kali memimpin perrandingan, belum cukup untuk membeli perlengkapan wasit," kata Karim. Sedangkan, tambahnya semua perlengkapan seragam hitam, sepatu dan kaus kaki -- ia beli sendiri. Yang menyenangkannya adalah kalau ada kesempatan memimpin pertandingan di luar negeri. Sebaliknya, yang dia khawatirkan adalah jika pertandingan yang dipimpinnya kacau. Karena itu, katanya sebelum memimpin suatu pertandingan, seorang wasit selalu berdoa lebih dulu, agar mendapat petunjuk yang benar dari Tuhan. Wasit yang juga sering menulis artikel tentang perwasitan di beberapa koran ini, berpendapat, "untuk menjadi wasit secara teoritis gampang, cukup kursus 3 minggu." Tapi yang penting, menurutnya, adalah pengalaman praktek. Di lapangan, seorang wasit dituntut agar berpikir cepat, ingat semua peraturan pertandingan, punya reaksi yang cepat untuk memberi keputusan dan dalam detik itu juga harus menerapkan keputusannya. Tapi lebih penting lagi adalah kepribadian. "Seorang wasit akan hilang wibawa tanpa punya kepribadian yang kuat," tambah Karim. Karim tak setuju jika ada pendapat bahwa pemain tak perlu menguasai peraturan pertandingan. "Justru para pemain yang harus mengetahui peraturan," ucapnya, "karena mereka yang main, sedang wasit hanya pengawas." Tentang pemain yang memukul wasit, menurut Karim, "jelas itu kesalahan ofisial." Wasit Sanusi dari Cirebon misalnya pernah juga dipukul pemain. Suatu ketika ia memimpin pertandingan PSIS (Semarang) melawan Persis (Sala). Seorang bek Persis memprotes ketika ksebelasannya dihukum dengan tendangan penalti. Tapi Sanusi tetap pada keputusannya. Dan setelah pertandingan usai, bek tadi langsung memukul Sanusi. Ketika itu juga ia memberi kartu merah dan si pemain diskors Komda PSSI Sala. "Bila pemain melakukan pelanggaran yang membahayakan lawannya atau bermain tidak sopan, dapat langsung diberi kartu merah, tanpa lewat kartu kuning dulu," ungkap Sanusi. Wasit golongan C1 ini sehari-hari adalah karyawan Departemen P & K Cirebon. Semula ia adalah pemain PSIT Cirebon. Sejak 1964 ia lulus wasit C3. Ia juga mengaku menjadi wasit hanya sebagai hobi. Dan ia tak ingin seorang pun dari ke-5 putranya menjadi pemain bola. Ketika belakangan ini sering terjadi keributan di lapangan hijau, menurut Sanusi (45) istrinya selalu berdoa setiap kali suaminya hendak memimpin suatu pertandingan. Pernahkah ia didekati tukang-tukang suap? Ia menggeleng. "Kalaupun ada pasti tak saya layani," katanya, "sebab yang menentukan pertandingan para pemain, bukan wasit." Pengalaman duka di lapangan hijau juga pernah dialami R. Hatta, seorang di antara wasit FIFA di Indonesia. Dalam pertandingan antara Indonesia Muda lawan Angkasa di Surabaya Maret tahun lalu, tiba-tiba saja ia telah dikerumuni dan langsung dikroyok pemain-pemain Indonesia Muda. Gigi palsunya mental dan mukanya babak belur. Keputusannya dinilai tidak adil. "Memang sulit untuk memuaskan semua pihak," ucapnya kepada TEMPO, "kejadian itu paling buruk dalam pengalaman saya." Menurut Hatta berada di lapangan jauh berbeda dibanding jadi penonton. Ia mengambil contoh seorang pemain meludahi atau mengejek wasit. Pemain lain di dekatnya mungkin tidak mengetahui kejadian itu, apalagi penonton. Lalu jika kemudian wasit memberi kartu kuning atau merah, penonton atau pemain lain yang tak tahu itu marah-marah -- padahal apa yang dilakukan sesuai dengan peraturan. Namun Hatta (45 tahun) tak merasa perlu mengundurkan diri karena pengalaman pahit itu. Apalagi karena ia tetap memandang wasit sebagai pengabdian. Soal honor tak begitu ia hiraukan. Sebab memang ternyata tidak besar. Ia menyebut pendapatannya Rp 1.000 sekali main di kompetisi Persebaya, Rp 1.250 jika pertandingan antar instansi dan Rp 7.500 untuk kompetisi PSSI/Galatama. Tak ada gaji tetap. Sehari-hari ia adalah karyawan PT Karya Adiguna dan istrinya, Sutrialin, bekerja di PTP XX Surabaya. Dari sumber-sumber itulah rumah tangganya berjalan. Pengalamannya yang lain adalah ketika 1976 memimpin pertandingan Persebaya melawan Ayax (Belanda) di Surabaya. Penonton berjubel di Stadion 10 Nopember, diperkirakan sekitar 100.000 orang. Tentu saja hasil pertandingan dapat mencapai puluhan juta rupiah. Tapi Hatta hanya mendapat honor Rp 1.500. Laki-laki yang sehari-harinya adalah salah seorang staf di perkebunan kelapa sawit PTP VI Pebatu, Tebing Tinggi (Sum-Ut) itu bernama R. Hamler. Sudah haji. Mungkin karena itu ia tampak tetap berlapang dada sehabis mengalami kericuhan di Stadion Teladan (Medan) pada pertandingan antara Indonesia Muda lawan Pardedetex akhir Desember 1979 lalu. "Malahan istri dan anak-anak saya terus mendorong agar saya tetap menjadi wasit," tuturnya. Tentu saja kejadian itu tak mungkin ia lupakan. Disertai ejekan-ejekan penonron Medan, ia telah menjadi bulan-bulanan beberap main Pardedetex, termasuk para ofisial klub ini. Dia babak belur. Untung petugas-petugas keamanan segera menyelamatkannya ke luar lapangan. "Itu risiko wasit," tuturnya kemudian kepada TEMPO. Keributan berpangkal pada beberapa keputusannya yang dinilai penonton maupun pemain Pardedetex tidak adil. Tapi Hamlet sendiri tak menyalahkan siapa-siapa. "Habis tingkat kita baru sebegitu," ucapnya, "kita belum mengerti bagaimana sebenarnya permainan yang baik dan sportif." Bermain Bersih Untuk menjadi pemain maupun penonton yang sportif, menurut Hamlet, harus dikaitkan dengan sikap moral. Sikap ini dipengaruhi berbagai faktor, katanya, antara lain lingkungan dan motifasi. "Untuk menyaksikan suatu pertandingan bola yang sportif, baik pemain maupun penonton kita, masih butuh waktu," ungkap Hamlet, "dan itulah kira." Hamlet (42 tahun) telah menyandang gelar wasit FIFA sejak 1975. Semula ia pemain Bunut Sporting Club Kisaran, sebuah perkumpulan bola dari pabrik karet di Bunut (Kisaran) tempat ayahnya bekerja. Sang ayah juga pernah bermain untuk klub itu. Antara 1957-1959 Hamlet pindah ke klub Dinamo Medan sekaligus sebagai kanan luar PSMS. Ia berhenti sebagai pemain sejak bekerja di perkebunan kelapa sawit. Tapi tak lama setelah ia menggantungkan sepatu bolanya, 1965 ia mulai tampil sebagai wasit. Beberapa pertandingan internasional pernah dipimpinnya. Paling berkesan menurutnya adalah ketika ia harus mewasiti Malaysia melawan Korea Selatan pada Merdeka Games beberapa tahun lampau di Kualalumpur. Ia tahu waktu itu Malaysia ingin sekali menang. "Mereka bermain bagus, tapi lawan lebih bagus lagi," ungkapnya. Tapi kedua pihak bermain bersih. Begitu pula penonton tuan rumah tertib, malahan mereka mengejek pemain Malaysia ketika harus menyerah 4-0 pada lawan. "Masing-masing pihak sportif," tambahnya. Dan ia puas -- satu-satunya harapan setiap wasit telah tercapai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus