SETIAP senja menjelang magrib Jalan Raya Jakarta-Bogor nyaris
selalu macet. Terutama di kawasan Ciracas, sebuah desa sekitar
26-27 km dari Jakarta. Karena pada saat itu dari sudut-sudut
desa ratusan bahkan ribuan buruh berhamburan pulang setelah
seharian bekerja di pabrik-pabrik besar di situ. Ciracas
termasuk Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur.
Tak kurang dari 13 pabrik bermodal raksasa berdiri di Ciracas.
Mulai dari yang menghasilkan tekstil, bahan makanan sampai busi
dan semir sepatu. Pabrik-pabrik dengan modal raksasa ini mulai
ada sejak 1969/1970. Sejak itu pula Ciracas yang sebelumnya sepi
menjadi hiruk-pikuk. Bersamaan dengan itu pula areal untuk sawah
dan kebun buah-buahan mulai menipis. Rumah penduduk yang semula
cuma 800 buah bertambah dengan cepat. Begitu pula udara segar
dan sejuk mulai terasa agak sumpek.
Pabrik-pabrik itu menyerap sekitar 7.000 tenaga kerja. Hampir
seperdua di antaranya tinggal di Ciracas. Selebihnya merupakan
buruh pendatang yang tinggal di beberapa kampung tak jauh dari
sana seperti Cijantung, Kramatjati, Cawang, atau Cibubur. Jumlah
penduduk Ciracas sendiri sekitar 12.000.
Tapi bagi pabrik-pabrik tadi rupanya agak sulit mencari tenaga
kerja dari kalangan penduduk asli Ciracas. Sebab memang jarang
di antara mereka yang "makan sekolah," lebih-lebih sebelum 1970.
Mungkin karena waktu itu mereka terlalu mengandalkan sawah dan
kebun. Seorang warga Ciracas asli, Rimi, 27 tahun, mengaku
pernah putus sekolah di SD. Bukan karena orang tuanya tak mampu,
"sawah orang tua saya lebih dari 5 ha," katanya. Tapi orang tua
Rimi belum melihat manfaat sekolah. Untung Rimi sadar. Ia
melanjutkan sekolah. Dan dua tahun lalu ia merupakan warga
Ciracas pertama yang menggondol gelar sarjana muda IKIP. Kini ia
mengajar di SMA Negeri VIII Ciracas.
Harga Miring
Sejak sekolah dirasa mendesak, penduduk Ciracas mulai menyerbu
tempat-tempat pendidikan. Sampai awal 1980 ini di sana bahkan
sudah ada delapan SD, dua buah SMP dan sebuah SMA. Sementara
itu, melihat industri yang makin gencar di desa mercka, penduduk
juga mulai membenahi pekarangan rumah. Ada yang disulap menjadi
warung makanan dan minuman yang setiap siang, pada saat lonceng
istirahat bergema dari pabrik, diserbu buruh pabrik.
Tidak sedikit pula yang menyulap tanah kebun menjadi beberapa
petak pondok sederhana untuk disewakan kepada buruh pendatang.
"Rata-rata penduduk asli punya rumah sewaan seperti itu," tutur
M. Arsyad, 67 tahun, salah seorang sesepuh desa. Sewanya antara
Rp 3.000 - Rp 5.000 sebulan setiap pintu --terdiri dari kamar
tamu kamar tidur dan dapur. Biasanya berlantai ubin, setengah
tembok. Ada pula yang sampai Rp 7.500 sebulan. Yang ini biasanya
dengan 3 kamar tidur dan ada listrik.
Di desa padat industri seperti Ciracas, masih adakah
pengangguran? Nyatanya menurut Arsyad sekitar 5% pemuda penduduk
asli tidak bekerja, karena ijazah SD saja tidak punya. Menjadi
buruh kasar mereka merasa malu. Tetapi seorang pemuda asli
Ciracas, 24 tahun, tak mau disebut namanya, jebolan kelas III
SD, sangat sulit mencari "pekerjaan apa saja" di pabrik-pabrik.
Kini ia membantu orang tuanya membuka kedai makanan dan minuman.
"Kalaupun ada lowongan, biasanya segera diisi oleh famili
karyawan yang sudah lama di situ," keluhnya.
Menurut beberapa warga, pabrik-pabrik di sana segan memberi
bantuan bila desa memintanya. Misalnya bila desa hendak
menyelenggarakan suatu perayaan yang membutuhkan dana. Panitia
pengumpul dana sering dianjurkan oleh pejabat pabrik agar
menghubungi kantor pusat dulu. Ini artinya panitia harus
berurusan di Jakarta -- dan belum tentu memperoleh sumbangan
yang diharapkan.
Tapi menurut Arsyad, sesepuh desa, "sebenarnya tergantung
bagaimana pendekatan kita." Sebuah pabrik tekstil misalnya
setiap merayakan ulang tahunnya selalu menyumbang 500 kg beras
kepada masyarakat Desa Ciracas. Pabrik ini juga pernah menjual
tekstil hasil produksinya dengan harga miring bagi warga desa.
Tapi tak mendapat sambutan penduduk. Mereka lebih senang membeli
di pasar mahal sedikit tapi bisa memilih. Pabrik lain?
"Paling-paling hanya menyumbang sebuah gapura 17 Agustusan,"
jawab Arsyad tertawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini