Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Besar kecil di Ciracas

Belasan pabrik raksasa berdiri di ciracas. diantaranya pabrik-pabrik tekstil scti. penduduknya masih berpendidikan rendah umumnya penghasilan mereka dari rumah sewaan untuk para buruh. (ds)

9 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETIAP senja menjelang magrib Jalan Raya Jakarta-Bogor nyaris selalu macet. Terutama di kawasan Ciracas, sebuah desa sekitar 26-27 km dari Jakarta. Karena pada saat itu dari sudut-sudut desa ratusan bahkan ribuan buruh berhamburan pulang setelah seharian bekerja di pabrik-pabrik besar di situ. Ciracas termasuk Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Tak kurang dari 13 pabrik bermodal raksasa berdiri di Ciracas. Mulai dari yang menghasilkan tekstil, bahan makanan sampai busi dan semir sepatu. Pabrik-pabrik dengan modal raksasa ini mulai ada sejak 1969/1970. Sejak itu pula Ciracas yang sebelumnya sepi menjadi hiruk-pikuk. Bersamaan dengan itu pula areal untuk sawah dan kebun buah-buahan mulai menipis. Rumah penduduk yang semula cuma 800 buah bertambah dengan cepat. Begitu pula udara segar dan sejuk mulai terasa agak sumpek. Pabrik-pabrik itu menyerap sekitar 7.000 tenaga kerja. Hampir seperdua di antaranya tinggal di Ciracas. Selebihnya merupakan buruh pendatang yang tinggal di beberapa kampung tak jauh dari sana seperti Cijantung, Kramatjati, Cawang, atau Cibubur. Jumlah penduduk Ciracas sendiri sekitar 12.000. Tapi bagi pabrik-pabrik tadi rupanya agak sulit mencari tenaga kerja dari kalangan penduduk asli Ciracas. Sebab memang jarang di antara mereka yang "makan sekolah," lebih-lebih sebelum 1970. Mungkin karena waktu itu mereka terlalu mengandalkan sawah dan kebun. Seorang warga Ciracas asli, Rimi, 27 tahun, mengaku pernah putus sekolah di SD. Bukan karena orang tuanya tak mampu, "sawah orang tua saya lebih dari 5 ha," katanya. Tapi orang tua Rimi belum melihat manfaat sekolah. Untung Rimi sadar. Ia melanjutkan sekolah. Dan dua tahun lalu ia merupakan warga Ciracas pertama yang menggondol gelar sarjana muda IKIP. Kini ia mengajar di SMA Negeri VIII Ciracas. Harga Miring Sejak sekolah dirasa mendesak, penduduk Ciracas mulai menyerbu tempat-tempat pendidikan. Sampai awal 1980 ini di sana bahkan sudah ada delapan SD, dua buah SMP dan sebuah SMA. Sementara itu, melihat industri yang makin gencar di desa mercka, penduduk juga mulai membenahi pekarangan rumah. Ada yang disulap menjadi warung makanan dan minuman yang setiap siang, pada saat lonceng istirahat bergema dari pabrik, diserbu buruh pabrik. Tidak sedikit pula yang menyulap tanah kebun menjadi beberapa petak pondok sederhana untuk disewakan kepada buruh pendatang. "Rata-rata penduduk asli punya rumah sewaan seperti itu," tutur M. Arsyad, 67 tahun, salah seorang sesepuh desa. Sewanya antara Rp 3.000 - Rp 5.000 sebulan setiap pintu --terdiri dari kamar tamu kamar tidur dan dapur. Biasanya berlantai ubin, setengah tembok. Ada pula yang sampai Rp 7.500 sebulan. Yang ini biasanya dengan 3 kamar tidur dan ada listrik. Di desa padat industri seperti Ciracas, masih adakah pengangguran? Nyatanya menurut Arsyad sekitar 5% pemuda penduduk asli tidak bekerja, karena ijazah SD saja tidak punya. Menjadi buruh kasar mereka merasa malu. Tetapi seorang pemuda asli Ciracas, 24 tahun, tak mau disebut namanya, jebolan kelas III SD, sangat sulit mencari "pekerjaan apa saja" di pabrik-pabrik. Kini ia membantu orang tuanya membuka kedai makanan dan minuman. "Kalaupun ada lowongan, biasanya segera diisi oleh famili karyawan yang sudah lama di situ," keluhnya. Menurut beberapa warga, pabrik-pabrik di sana segan memberi bantuan bila desa memintanya. Misalnya bila desa hendak menyelenggarakan suatu perayaan yang membutuhkan dana. Panitia pengumpul dana sering dianjurkan oleh pejabat pabrik agar menghubungi kantor pusat dulu. Ini artinya panitia harus berurusan di Jakarta -- dan belum tentu memperoleh sumbangan yang diharapkan. Tapi menurut Arsyad, sesepuh desa, "sebenarnya tergantung bagaimana pendekatan kita." Sebuah pabrik tekstil misalnya setiap merayakan ulang tahunnya selalu menyumbang 500 kg beras kepada masyarakat Desa Ciracas. Pabrik ini juga pernah menjual tekstil hasil produksinya dengan harga miring bagi warga desa. Tapi tak mendapat sambutan penduduk. Mereka lebih senang membeli di pasar mahal sedikit tapi bisa memilih. Pabrik lain? "Paling-paling hanya menyumbang sebuah gapura 17 Agustusan," jawab Arsyad tertawa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus