TAHUN 1904 J. Habbema punya pikiran yang tidak kelewat jelek
mengenai "bagaimana mendidik pribumi supaya sejalan dengan
kepentingan politik dan ekonomi penguasa kolonial".
Bilamana orang ini masih ada umur dan diangkat jadi Menteri P&K,
beberapa kesulitan teknis akan segera timbul. Pertama, kita
masih punya Menteri P&K karena itu sulit dibayangkan satu negeri
punya dua menteri dengan urusan serupa. Lain hal kalau
departemennya dipenggal dua, ada Menteri Tua dan ada Menteri
Muda. Kedua, dia bukan orang Pekalongan atau Soreang melainkan
dari dekat-dekat Scheveningen sana di mana tiap orang yang mau
menikmati pemandangan laut lepas mesti naik tangga karena
negerinya terhampar di bawah permukaan laut.
Tapi karena sekarang ini semuanya bisa diatur, kemudahan pun
tersedia baginya. Pertama, kalau di tahun 1904 dia menggunakan
istilah pribumi, selang 76 tahun kemudian sebutan itu masih
tetap berlaku tanpa perlu merasa kikuk sedikit pun. Kedua,
masalah pendidikan dari hampir semua aspek belum selesai benar,
baik kesulitan mau masuk sekolah, kesulitan selama masa sekolah,
dan kesulitan sesudah tamat sekolah. Seakan-akan --
mudah-mudahan dugaan ini meleset --kemudaratan itu sudah
tertempel di dahi dan tak terhapuskan sampai planit-planit
terlempar ke luar garis edarnya. Ketiga, dia tidak usah was-was
kena copot karena apa pun langkahnya Menteri P&K itu bagai paku
yang habis terhunjam ke dalam sepotong balok hingga tidak
sembarang tangan bisa membedolnya ke luar.
Sesudah duduk di kantor Jalan Sudirman, langkah utama yang
dilakukannya adalah berdasar garis pikiran yang pernah
dicetuskannya di tahun 1904. Dia maklum semaklum-maklumnya
keadaan sudah banyak berubah. Kantornya saja waktu itu masih
penuh pohon manggis dan jengkol, bajing berlompatan kian ke mari
dan kampret bergelantungan di hampir setiap daun seakan
tetumbuhan itu milik tantenya sendiri. Dan waktu itu sama sekali
belum ada ramalan cuaca yang diteriakkan persis di lubang
telinga tiap malam sehingga orang tidak peduli apakah esok hari
angin bertiup pelan, sedang atau antara sedang dan cepat.
Lebih-lebih belum ada Paket Buku yang mengangkat departemennya
jadi produser buku terbesar di seluruh negeri sehingga separuh
waktu habis tersita untuk berbincang sepelan mungkin dengan para
pencetak. Oleh karena pragmatisme harus dianut dan disembah,
segala perubahan besar itu tidaklah menjadi halangan besar
baginya.
Habbema langsung menoleh ke desa tanpa bersingsut dari kursi
putarnya. Segala ilmu harus disebarluaskan ke sana. Anak-anak
tani toh tidak kudu meniarap di punggung kerbau sampai binatang
yang begitu dungu itu pun mampu merasa jemu. Mereka harus
digiring masuk sekolah. Dengan kepandaian bertambah, otak
berputar, tak gampang lagi mereka terpedaya oleh lintah darat,
tukang ijon, bisikan kaum fanatik, rentenir, takhayul, gendruwo,
kuntilanak, dukun tiup atau dukun usap, dan kaum penghasut yang
membikin penguasa tidak bisa tidur lelap di peraduannya. Dengan
kepandaian bertambah dan otak berputar, mereka setidaknya bisa
meningkat jadi mandor, jadi carik desa, jadi jurutulis kantor.
jadi karyawan pos, jadi kondektur kereta api.
Berbarengan dengan itu Habbema juga maklum, penyebarluasan
pendidikan sekaligus mesti diimbangi dengan perluasan lapangan
kerja. Makin pandai mereka, makin besar tuntutan. Jika imbangan
ini tidak serasi, bahaya besar akan timbul. Lebih mengerikan
dari sebuah gempa baik gempa tektonis atau akibat meletusnya
gunung Merapi. Bahaya itu adalah membiaknya "kaum intelektual
proletar", kepala penuh tapi kantung kempes, seliweran bagai
raron di sekitar lampu pijar. Salah-salah buatan mereka bisa
kesetanan, menubruk kita hingga jatuh terjengkang sesudah lebih
dulu menggigit bibir dan pantat. Jalan lolos satu-satunya
adalah: politik ekonomi non feodal, non kolonial, yang
demokratis, persis berdiri di belakang punggung kebijaksanaan
pendidikan yang tepat.
Sampai di sini Habbema tercenung. Ada beberapa pikiran tahun
1904-nya yang janggal diterapkan sekarang, sumbang dan mudah
membuat tersinggung. Selang waktu 76 tahun bukanlah barang
sebentar. Pohon sengon yang dulu ditanam sekarang pucuknya sudah
menyentuh awan. Gedung Komidi yang agung di Pasar Earu sudah
berubah jadi bioskop film picisan. Rumah Bola Harmoni yang hanya
bisa disentuh kaki berkasut sekarang tak seorang pun tahu apa
isinya. Misalnya, janggal mengajar murid supaya taat dan patuh
karena hal ini hanya akan memancing perdebatan riuh, taat macam
apa dan patuh kepada model bagaimana. Perdebatan itu tidak akan
berhenti kalau saja bel tidak berbunyi. Misalnya, janggal
mengajar murid supaya necis karena mata pelajaran itu sudah
diperolehnya langsung dari pesawat televisi siaran resmi
pemerintah.
Soal NKK? Habbema terbahak-bahak begitu kerasnya sehingga semua
perabot yang ada di kamarnya, terlebih-lebih asbak, terguncang
karenanya. Cukup berbisik kepada sopir, pergi melancong dari
satu kampus ke kampus lain, tatap muka yang bersangkutan, kalau
perlu ikut main volley bersama-sama ala kadarnya, gampang saja
pikirnya. Asal anak-anak muda yang seperti burung beranjangan
itu dibiarkan urus kepentingannya tanpa digondeli tali kolornya
dan dikeker-keker lewat mikroskop seakan sperma makhluk angkasa,
semuanya beres.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini