Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bilamana Habbema jadi menteri p & k

Menurut j. habbema penyebar luasan pendidikan harus diimbangi dengan lapangan kerja, mencegah berkembangbiaknya kaum intelek proletar. untuk menghadapi nkk akan diadakan kunjungan tatap muka ke kampus-kampus.

9 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAHUN 1904 J. Habbema punya pikiran yang tidak kelewat jelek mengenai "bagaimana mendidik pribumi supaya sejalan dengan kepentingan politik dan ekonomi penguasa kolonial". Bilamana orang ini masih ada umur dan diangkat jadi Menteri P&K, beberapa kesulitan teknis akan segera timbul. Pertama, kita masih punya Menteri P&K karena itu sulit dibayangkan satu negeri punya dua menteri dengan urusan serupa. Lain hal kalau departemennya dipenggal dua, ada Menteri Tua dan ada Menteri Muda. Kedua, dia bukan orang Pekalongan atau Soreang melainkan dari dekat-dekat Scheveningen sana di mana tiap orang yang mau menikmati pemandangan laut lepas mesti naik tangga karena negerinya terhampar di bawah permukaan laut. Tapi karena sekarang ini semuanya bisa diatur, kemudahan pun tersedia baginya. Pertama, kalau di tahun 1904 dia menggunakan istilah pribumi, selang 76 tahun kemudian sebutan itu masih tetap berlaku tanpa perlu merasa kikuk sedikit pun. Kedua, masalah pendidikan dari hampir semua aspek belum selesai benar, baik kesulitan mau masuk sekolah, kesulitan selama masa sekolah, dan kesulitan sesudah tamat sekolah. Seakan-akan -- mudah-mudahan dugaan ini meleset --kemudaratan itu sudah tertempel di dahi dan tak terhapuskan sampai planit-planit terlempar ke luar garis edarnya. Ketiga, dia tidak usah was-was kena copot karena apa pun langkahnya Menteri P&K itu bagai paku yang habis terhunjam ke dalam sepotong balok hingga tidak sembarang tangan bisa membedolnya ke luar. Sesudah duduk di kantor Jalan Sudirman, langkah utama yang dilakukannya adalah berdasar garis pikiran yang pernah dicetuskannya di tahun 1904. Dia maklum semaklum-maklumnya keadaan sudah banyak berubah. Kantornya saja waktu itu masih penuh pohon manggis dan jengkol, bajing berlompatan kian ke mari dan kampret bergelantungan di hampir setiap daun seakan tetumbuhan itu milik tantenya sendiri. Dan waktu itu sama sekali belum ada ramalan cuaca yang diteriakkan persis di lubang telinga tiap malam sehingga orang tidak peduli apakah esok hari angin bertiup pelan, sedang atau antara sedang dan cepat. Lebih-lebih belum ada Paket Buku yang mengangkat departemennya jadi produser buku terbesar di seluruh negeri sehingga separuh waktu habis tersita untuk berbincang sepelan mungkin dengan para pencetak. Oleh karena pragmatisme harus dianut dan disembah, segala perubahan besar itu tidaklah menjadi halangan besar baginya. Habbema langsung menoleh ke desa tanpa bersingsut dari kursi putarnya. Segala ilmu harus disebarluaskan ke sana. Anak-anak tani toh tidak kudu meniarap di punggung kerbau sampai binatang yang begitu dungu itu pun mampu merasa jemu. Mereka harus digiring masuk sekolah. Dengan kepandaian bertambah, otak berputar, tak gampang lagi mereka terpedaya oleh lintah darat, tukang ijon, bisikan kaum fanatik, rentenir, takhayul, gendruwo, kuntilanak, dukun tiup atau dukun usap, dan kaum penghasut yang membikin penguasa tidak bisa tidur lelap di peraduannya. Dengan kepandaian bertambah dan otak berputar, mereka setidaknya bisa meningkat jadi mandor, jadi carik desa, jadi jurutulis kantor. jadi karyawan pos, jadi kondektur kereta api. Berbarengan dengan itu Habbema juga maklum, penyebarluasan pendidikan sekaligus mesti diimbangi dengan perluasan lapangan kerja. Makin pandai mereka, makin besar tuntutan. Jika imbangan ini tidak serasi, bahaya besar akan timbul. Lebih mengerikan dari sebuah gempa baik gempa tektonis atau akibat meletusnya gunung Merapi. Bahaya itu adalah membiaknya "kaum intelektual proletar", kepala penuh tapi kantung kempes, seliweran bagai raron di sekitar lampu pijar. Salah-salah buatan mereka bisa kesetanan, menubruk kita hingga jatuh terjengkang sesudah lebih dulu menggigit bibir dan pantat. Jalan lolos satu-satunya adalah: politik ekonomi non feodal, non kolonial, yang demokratis, persis berdiri di belakang punggung kebijaksanaan pendidikan yang tepat. Sampai di sini Habbema tercenung. Ada beberapa pikiran tahun 1904-nya yang janggal diterapkan sekarang, sumbang dan mudah membuat tersinggung. Selang waktu 76 tahun bukanlah barang sebentar. Pohon sengon yang dulu ditanam sekarang pucuknya sudah menyentuh awan. Gedung Komidi yang agung di Pasar Earu sudah berubah jadi bioskop film picisan. Rumah Bola Harmoni yang hanya bisa disentuh kaki berkasut sekarang tak seorang pun tahu apa isinya. Misalnya, janggal mengajar murid supaya taat dan patuh karena hal ini hanya akan memancing perdebatan riuh, taat macam apa dan patuh kepada model bagaimana. Perdebatan itu tidak akan berhenti kalau saja bel tidak berbunyi. Misalnya, janggal mengajar murid supaya necis karena mata pelajaran itu sudah diperolehnya langsung dari pesawat televisi siaran resmi pemerintah. Soal NKK? Habbema terbahak-bahak begitu kerasnya sehingga semua perabot yang ada di kamarnya, terlebih-lebih asbak, terguncang karenanya. Cukup berbisik kepada sopir, pergi melancong dari satu kampus ke kampus lain, tatap muka yang bersangkutan, kalau perlu ikut main volley bersama-sama ala kadarnya, gampang saja pikirnya. Asal anak-anak muda yang seperti burung beranjangan itu dibiarkan urus kepentingannya tanpa digondeli tali kolornya dan dikeker-keker lewat mikroskop seakan sperma makhluk angkasa, semuanya beres.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus