SEBUAH kebijaksanaan baru, atau taktik: pemerintah Babrak Karmal
di Afghanistan menjanjikan kebebasan beragama. Slogan-slogan
Marxis yang selama ini dipasang di mana-mana, diturunkan -- juga
gambar-gambar para pemimpin mereka. Seberapa kuatkah perlawanan
rakyat muslimin?
Betapapun, gerilyawan Afghanistan telah bertahan hampir dua
tahun -- sejak Nur Muhammad Taraki melakukan kup berdarah
terhadap Presiden Muhammad Daud, April 1978. "Ketika rakyat
menyadari rezim macam apakah pemerintah Taraki itu, front
perlawanan terbentuk," kata seorang bekas kolonel, komandan
salah satu kamp pemberontak -- seperti dituturkan International
Herald Tribune. "Dan ini perang suci. Untuk seluruh negeri
Islam, perang melawan komunis adalah perang suci."
Perang Total
Kolonel itu sendiri, yang memimpin sekitar 60.000 pejuang di
Provinsi Farah di barat, berbatasan dengan Iran, hanyalah salah
seorang dari sekian perwira maupun prajurit yang menyeberang ke
pihak pemberontak. Sumber-sumber mereka memang menyatakan --
persis dengan yang disiarkan Departemen Luar Negeri AS bulan
lalu -- terdapatnya sejumlah besar tentara yang bergabung, baik
karena tak mau memerangi saudara seagama maupun lebih-lebih
setelah tank-tank Soviet dengan enak saja melindas tanah air
mereka. Selain desersi kecil-kecilan, beberapa bulan lalu
misalnya disiarkan bahwa satu brigade di sebuah distrik Provinsi
Zabul membunuh 21 orang opsir mereka, kemudian menyeberang.
Bahwa motif keagamaan bisa lebih kuat dari alasan nasionalitas
resmi, dibuktikan oleh penyeberangan 14 pasukan Soviet (tak
dijelaskan: regu atau peleton) ke pihak pemberontak, pertengahan
Januari kemarin. Meskipun motif rasial memang juga terlihat:
ke-14 pasukan itu semuanya orang Tajik -- anak-ras Asia yang
juga merupakan sebagian penduduk Afghanistan Utara.
Jumlah pemberontak sendiri, jelas meliputi ratusan ribu orang --
kecuali bila bisa dipastikan bahwa yang terjadi sebenarnya tak
lain perang total. Selain pasukan-pasukan campur-aduk seperti di
sebelah barat, di dekat perbatasan dengan Pakistan di timur dan
selatan berbagai suku mengumpulkan warganya dan menggali kapak
peperangan. 70.000 orang Suku Mohmand misalnya mengangkat
senjata bersama 30.000 dari Suku Waziri, di bawah pimpinan
Niazali, kemanakan Faqir dari Ipi -- tokoh lgendaris dalam
perang melawan Inggris di front Barat-laut di tahun 1930-an.
Ditambah dengan orang-orang Suku Mangal, 15.000 prajurit.
Kota-kota kecil dan penting diperebutkan -- tapi juga kota-kota
besar. Herat Arab: Hirah), kota nomor dua sesudah Kabul, yang
dahulu diduduki Iskandar Zulkarnaen, lantas Jengis Khan, lantas
Timurleng, dan sesudah itu pernah jadi pusat ilmu dan kebudayaan
Islam di kawasan Persia (waktu itu), tak luput menjadi kancah.
Juga kota tua Qandahar, yang bersejarah, di mana 30 orang sipil
Rusia dikabarkan mati dibantai penduduk. Juga Ghazni, kota di
pedalaman agak ke timur, dari mana dahulu Sultan Mahmud
Alhaznawi melebarkan kekuasaan dan menebarkan anak-turun
berwujud Dinasti Mughal di India.
Semua itu hanya yang tercatat. Menurut perkiraan para wartawan
Barat, tidak kurang dari 60 kelompok bangkit di seluruh negeri.
Berita terakhir menyatakan bahwa tiga yang paling besar,yang
berwujud partai dan bukan kelompok "liar", sudah menggalang satu
front Jami'ati Islami, Hizbi Islami (yang antara lain melatih
kader-kader pemimpin di Pakistan, dekat perbatasan) dan Khalish.
Mereka dipimpin Maulawi Muhammad Nabi Muhammadi, yang menurut
pers Barat dianggap "orang suci".
Tapi sementara itu ada juga National Front of the Islamic
Revolution dengan perkiraan 70.000 anggota pasukan, di bawah
pimpinan Seyd Ahmad Jailani.
Bahwa hanya sedikit koordinasi di antara grup-grup yang bermacam
ragam sudah tentu tidak menguntungkan, meskipun bisa difaham.
Golongan etnik penduduk Afghanistan -- negeri yang dahulu selalu
diperebutkan oleh letaknya yang strategis sebagai jalan hubung
darat -- memang berbagai-bagai. Termasuk ke dalamnya suku petani
yang mayoritas maupun yang tetap mengembara. Dan kecuali di
sebelah barat, mereka semua merupakan raja-raja daerah
bergunung-gunung yang sebagian besarnya sulit dicapai: ingat
misalnya jajaran Pegunungan Hindu Kush yang bersalju dan membagi
utara dengan selatan.
Seorang gerilyawan di Provinsi Herat bertutur: "Antek-antek
Rusia itu memaksa orang mendatangi klas-klas Marxis. Juga
orang-orang tua dan wanita dengan 10 anak. Jadi kami bunuh
gurugurunya, lalu pergi."
Tetapi yang diperbuat pemerintah Marxis sebenarnya bukan hanya
itu. Begitu Taraki naik, hutang-hutang para petani kepada para
tuan tanah misalnya dinyatakan hapus. Praktek rentenir dilarang.
Dilancarkan pula usaha memerangi buta huruf, yang dikabarkan
masih tetap menghinggapi 90% penduduk -- meskipun tidak
disebutkan apakah yang dimaksud bukan 'buta huruf Latin'.
Sebab perbedaan pengertian juga bisa dilihat misalnya dalam
istilah 'jual beli wanita' dalam perkawinan -- bila yang
dimaksud sebenarnya mahar alias maskawin, seperti yang
dipraktekkan dalam Islam. Hanya saja, mahar yang mungkin
dijadikan "ukuran nilai wanita" itu diikuti oleh perlakuan tak
semena-mena kepada kaum hawa. Dan perlindungan kepada wanita
maupun hak-hak mereka (seperti tercermin dari bukan main
sedikitnya jumlah mereka yang bersekolah) memang layaknya sangat
menyedihkan.
Di atas segala-galanya Afghanistan, negeri yang namanya diambil
sebagai nama belakang Jamaluddin al-Afghani, pembangkit harga
diri dan kesadaran politik dunia Islam itu (Iran, 1838-1897),
tidak menjadi wakil dari daerah yang pernah disentuh oleh
gerakan pembaharuan keislaman.
Di sinilah tinggal 17 atau 14 juta penduduk (jumlahnya pun tak
bisa diketahui dengan pasti) yang dikatakan 99% beragama Islam
Sunni -- bukan Syi'ah. Mereka mempraktekkan mazhah hukum Hanafi
-- yang dikenal "paling longgar." Ditambah warna tarekat
dicampur feodalisme yang dicerminkan oleh kekuasaan para tuan
tanah. Berbeda misalnya dengan di Iran, di sini tak ada semacam
hirarki keagamaan yang resmi, sebaliknya juga tak ada
koordinasi. Susunan sosial paling utama bukan keagamaan atau
daerah, melainkan suku -- dengan 10% tetap suku-suku pengembara.
Sebagian dari mereka di pedalaman melaksanakan hukum
sendiri-sendiri, meskipun umumnya berasal dari Qur'an. Lebih
dari itu sepertiga rakyat berada dalam kemiskinan mutlak.
Bapak Afghanistan
Bukan berarti tak pernah ada usaha kemajuan. Sultan labibullah
Khan di tahun 1919 mulai membuat jalan untuk menghubungi
daerah-daerah yang sampai sekarang tetap sulit dicapai,
membangun 'Sekolah Habibiah', dan menyuruh orang membikin Surat
kabar. Penggantinya, Amanullah Khan, mencoba memajukan wanita
dan bahkan memulai gerakan melepaskan cadar. Juga Sultan Nadir
Syah. Dan di bawah sultan terakhir, Zahir Syah, di tahun 1964,
konstitusi disusun kembali dengan pembagian kekuasaan yang jelas
antara legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Tetapi di tahun 1973 Zahir ditendang oleh kemanakannya, Mohammad
Daud, yang menjadi presiden pertama dan mengubah negeri menjadi
republik beberapa keberhasilan dalam usaha pemakmuran
menyebabkan orang Barat menganggap Daud-lah sebenarnya 'bapak
Afghanistan'. Tetapi Nur Muhammad Taraki yang tidak sabaran,
meneruskan tradisi kudeta menendang Daud -- dan memproklamasikan
sebuah pemerintah Marxis. Dan inilah awal pemberontakan rakyat.
"Mereka itu terlalu cepat," kata para komentator Barat, seperti
biasanya. Persiapan mereka justru ditujukan untuk melumpuhkan
mekanisme kehidupan Islam, sambil -- seperti biasanya --
memandang rendah kekuatan dari semangat keagamaan penduduk.
"Mereka telah mencat muka mereka sendiri dengan warna anti-Islam
dan mengumumkan diri sebagai makhluk-makhluk Rusia -- dengan
bendera yang bukan 'hijau Islam' melainkan 'merah kafir', dengan
panggilan satu sama lain 'kamerad' . . .
Barangkali menyadari perlawanan yang bangkit, Taraki lantas
mengambil satu gambar Islam. Paling tidak sebuah acara di
televisi (yang hanya bisa dilihat di kota) disediakan bagi
"ulama", yang selain meneruskan sedikit khotbah agama juga
menghasut orang memusuhi ikhwanusy syayathin ('para sahabat
setan', istilah yang disebut dalam Qur'an) yang memusuhi
pemerintah.
Bahkan sesudah Taraki dibunuh oleh Hafizullah Amin, presiden
yang baru itu pun masih memakai cara tersebut. Seperti
dilaporkan wartawan Christian Science Monitor yang berhasil
menyusup dan diterima kelompok gerilyawan di Provinsi Pakhtia,
sebuah ofensif besar para gerilyawan terhadap pertahanan tentara
di Ali Khel misalnya, di pebukitan, dihentikan oleh sebuah
pengeras suara dari kamp musuh. Dari sana diteriakkan suara
seorang "ulama tentara", yang menyerukan agar para penyerbu
menghentikan perbuatan mereka memerangi "pemerintahan Tuhan".
(Dan suara mikrofon itu dijawab dengan tembakan senapan hasil
rampasan tentara Rusia).
Jadi "pendekatan" yang terakhir dilakukan pemerintah Karmal,
bukanlah yang pertama kali. Meski begitu, gerilyawan yang
bersemangat namun sporadis itu adalah bala tentara yang
compang-camping dan lapar -- dan jelas sangat kekurangan
senjata. Ini adalah para pahlawan bersandal, yang makan roti
kering bercampur daun teh dan kadang daging binatang yang
berhasil ditemukan, membakarnya di batu-batu karang di gunung,
menembak dari atas kuda dengan senjata abad ke-19 ("yang tak
seorang luar pun tahu bagaimana cara memakainya") plus hasil
rampasan musuh.
Para pejuang ini -- yang menyumpah-nyumpah karena "Iran maupun
Pakistan tak mau membantu", kata mereka, dan yang kurir-kurirnya
berangkat ke Saudi Kuwait lan Mesir untuk mencari-cari
sumbangan -- berhadapan sekarang ini dengan tank-tank Rusia,
pesawat-pesawat model terbagus seperti Mig-21 maupun helikopter
penyerbu MI-24. Allahu Akbar!
Bom Napalm
Rusia jelas serius sekali menghadapi perlawanan rakyat negeri
yang akan dijadikan satelitnya ini. "Bayangkan kalau sampai
kekuatan Rusia bisa dikalahkan oleh gerilya Afghan yang gembel,"
kata seorang wartawan Pakistan. "Bagaimana pengaruhnya bagi 40
juta penduduk muslimnya sendiri di Rusia Selatan?" Itulah
sebabnya, seperti dituturkan para gerilyawan di arah,
orang-orang Rus itu memakai "bom yang bisa membakar bukit
karang" dan jelas napalm. Bahkan juga gas -- sebab kambing dan
binatang lain tiba-tiba sakit dan mati.
Dengan apa rakyat Afghan akan bisa menang -- atau sekedar
bertahan? Dengan kuasa Tuhan, memang. Tetapi suara-suara
kemarahan dan dukungan dari negeri-negeri Islam, dan yang
terakhir dari Konperensi Menlu-Menlu Islam di Islamabad, sudah
tentu takkan menolong bila tak mampu menghentikan invasi
besar-besaran negara beruang itu. Kecuali kekuatan besar seperti
Amerika atau yang lain benar-benar terjun, dunia Islam akan
memperoleh tambahan kawasan dengan penduduk yang barangkali
memang lebih maju diukur dari urusan perut, tetapi tidak akan
terdengar namanya bahkan oleh seorang murid madrasah. Riwayat
kelihatan sedang ditulis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini