Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Para pehlawan bersandal Allahu ...

Afghanistan yang 99% penduduknya beragama islam di cengkeram oleh pemerintah komunis, segala kegiatan agama terhenti. puluhan ribu gerilyawan siap berjihad. (ag)

9 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH kebijaksanaan baru, atau taktik: pemerintah Babrak Karmal di Afghanistan menjanjikan kebebasan beragama. Slogan-slogan Marxis yang selama ini dipasang di mana-mana, diturunkan -- juga gambar-gambar para pemimpin mereka. Seberapa kuatkah perlawanan rakyat muslimin? Betapapun, gerilyawan Afghanistan telah bertahan hampir dua tahun -- sejak Nur Muhammad Taraki melakukan kup berdarah terhadap Presiden Muhammad Daud, April 1978. "Ketika rakyat menyadari rezim macam apakah pemerintah Taraki itu, front perlawanan terbentuk," kata seorang bekas kolonel, komandan salah satu kamp pemberontak -- seperti dituturkan International Herald Tribune. "Dan ini perang suci. Untuk seluruh negeri Islam, perang melawan komunis adalah perang suci." Perang Total Kolonel itu sendiri, yang memimpin sekitar 60.000 pejuang di Provinsi Farah di barat, berbatasan dengan Iran, hanyalah salah seorang dari sekian perwira maupun prajurit yang menyeberang ke pihak pemberontak. Sumber-sumber mereka memang menyatakan -- persis dengan yang disiarkan Departemen Luar Negeri AS bulan lalu -- terdapatnya sejumlah besar tentara yang bergabung, baik karena tak mau memerangi saudara seagama maupun lebih-lebih setelah tank-tank Soviet dengan enak saja melindas tanah air mereka. Selain desersi kecil-kecilan, beberapa bulan lalu misalnya disiarkan bahwa satu brigade di sebuah distrik Provinsi Zabul membunuh 21 orang opsir mereka, kemudian menyeberang. Bahwa motif keagamaan bisa lebih kuat dari alasan nasionalitas resmi, dibuktikan oleh penyeberangan 14 pasukan Soviet (tak dijelaskan: regu atau peleton) ke pihak pemberontak, pertengahan Januari kemarin. Meskipun motif rasial memang juga terlihat: ke-14 pasukan itu semuanya orang Tajik -- anak-ras Asia yang juga merupakan sebagian penduduk Afghanistan Utara. Jumlah pemberontak sendiri, jelas meliputi ratusan ribu orang -- kecuali bila bisa dipastikan bahwa yang terjadi sebenarnya tak lain perang total. Selain pasukan-pasukan campur-aduk seperti di sebelah barat, di dekat perbatasan dengan Pakistan di timur dan selatan berbagai suku mengumpulkan warganya dan menggali kapak peperangan. 70.000 orang Suku Mohmand misalnya mengangkat senjata bersama 30.000 dari Suku Waziri, di bawah pimpinan Niazali, kemanakan Faqir dari Ipi -- tokoh lgendaris dalam perang melawan Inggris di front Barat-laut di tahun 1930-an. Ditambah dengan orang-orang Suku Mangal, 15.000 prajurit. Kota-kota kecil dan penting diperebutkan -- tapi juga kota-kota besar. Herat Arab: Hirah), kota nomor dua sesudah Kabul, yang dahulu diduduki Iskandar Zulkarnaen, lantas Jengis Khan, lantas Timurleng, dan sesudah itu pernah jadi pusat ilmu dan kebudayaan Islam di kawasan Persia (waktu itu), tak luput menjadi kancah. Juga kota tua Qandahar, yang bersejarah, di mana 30 orang sipil Rusia dikabarkan mati dibantai penduduk. Juga Ghazni, kota di pedalaman agak ke timur, dari mana dahulu Sultan Mahmud Alhaznawi melebarkan kekuasaan dan menebarkan anak-turun berwujud Dinasti Mughal di India. Semua itu hanya yang tercatat. Menurut perkiraan para wartawan Barat, tidak kurang dari 60 kelompok bangkit di seluruh negeri. Berita terakhir menyatakan bahwa tiga yang paling besar,yang berwujud partai dan bukan kelompok "liar", sudah menggalang satu front Jami'ati Islami, Hizbi Islami (yang antara lain melatih kader-kader pemimpin di Pakistan, dekat perbatasan) dan Khalish. Mereka dipimpin Maulawi Muhammad Nabi Muhammadi, yang menurut pers Barat dianggap "orang suci". Tapi sementara itu ada juga National Front of the Islamic Revolution dengan perkiraan 70.000 anggota pasukan, di bawah pimpinan Seyd Ahmad Jailani. Bahwa hanya sedikit koordinasi di antara grup-grup yang bermacam ragam sudah tentu tidak menguntungkan, meskipun bisa difaham. Golongan etnik penduduk Afghanistan -- negeri yang dahulu selalu diperebutkan oleh letaknya yang strategis sebagai jalan hubung darat -- memang berbagai-bagai. Termasuk ke dalamnya suku petani yang mayoritas maupun yang tetap mengembara. Dan kecuali di sebelah barat, mereka semua merupakan raja-raja daerah bergunung-gunung yang sebagian besarnya sulit dicapai: ingat misalnya jajaran Pegunungan Hindu Kush yang bersalju dan membagi utara dengan selatan. Seorang gerilyawan di Provinsi Herat bertutur: "Antek-antek Rusia itu memaksa orang mendatangi klas-klas Marxis. Juga orang-orang tua dan wanita dengan 10 anak. Jadi kami bunuh gurugurunya, lalu pergi." Tetapi yang diperbuat pemerintah Marxis sebenarnya bukan hanya itu. Begitu Taraki naik, hutang-hutang para petani kepada para tuan tanah misalnya dinyatakan hapus. Praktek rentenir dilarang. Dilancarkan pula usaha memerangi buta huruf, yang dikabarkan masih tetap menghinggapi 90% penduduk -- meskipun tidak disebutkan apakah yang dimaksud bukan 'buta huruf Latin'. Sebab perbedaan pengertian juga bisa dilihat misalnya dalam istilah 'jual beli wanita' dalam perkawinan -- bila yang dimaksud sebenarnya mahar alias maskawin, seperti yang dipraktekkan dalam Islam. Hanya saja, mahar yang mungkin dijadikan "ukuran nilai wanita" itu diikuti oleh perlakuan tak semena-mena kepada kaum hawa. Dan perlindungan kepada wanita maupun hak-hak mereka (seperti tercermin dari bukan main sedikitnya jumlah mereka yang bersekolah) memang layaknya sangat menyedihkan. Di atas segala-galanya Afghanistan, negeri yang namanya diambil sebagai nama belakang Jamaluddin al-Afghani, pembangkit harga diri dan kesadaran politik dunia Islam itu (Iran, 1838-1897), tidak menjadi wakil dari daerah yang pernah disentuh oleh gerakan pembaharuan keislaman. Di sinilah tinggal 17 atau 14 juta penduduk (jumlahnya pun tak bisa diketahui dengan pasti) yang dikatakan 99% beragama Islam Sunni -- bukan Syi'ah. Mereka mempraktekkan mazhah hukum Hanafi -- yang dikenal "paling longgar." Ditambah warna tarekat dicampur feodalisme yang dicerminkan oleh kekuasaan para tuan tanah. Berbeda misalnya dengan di Iran, di sini tak ada semacam hirarki keagamaan yang resmi, sebaliknya juga tak ada koordinasi. Susunan sosial paling utama bukan keagamaan atau daerah, melainkan suku -- dengan 10% tetap suku-suku pengembara. Sebagian dari mereka di pedalaman melaksanakan hukum sendiri-sendiri, meskipun umumnya berasal dari Qur'an. Lebih dari itu sepertiga rakyat berada dalam kemiskinan mutlak. Bapak Afghanistan Bukan berarti tak pernah ada usaha kemajuan. Sultan labibullah Khan di tahun 1919 mulai membuat jalan untuk menghubungi daerah-daerah yang sampai sekarang tetap sulit dicapai, membangun 'Sekolah Habibiah', dan menyuruh orang membikin Surat kabar. Penggantinya, Amanullah Khan, mencoba memajukan wanita dan bahkan memulai gerakan melepaskan cadar. Juga Sultan Nadir Syah. Dan di bawah sultan terakhir, Zahir Syah, di tahun 1964, konstitusi disusun kembali dengan pembagian kekuasaan yang jelas antara legislatif, eksekutif dan yudikatif. Tetapi di tahun 1973 Zahir ditendang oleh kemanakannya, Mohammad Daud, yang menjadi presiden pertama dan mengubah negeri menjadi republik beberapa keberhasilan dalam usaha pemakmuran menyebabkan orang Barat menganggap Daud-lah sebenarnya 'bapak Afghanistan'. Tetapi Nur Muhammad Taraki yang tidak sabaran, meneruskan tradisi kudeta menendang Daud -- dan memproklamasikan sebuah pemerintah Marxis. Dan inilah awal pemberontakan rakyat. "Mereka itu terlalu cepat," kata para komentator Barat, seperti biasanya. Persiapan mereka justru ditujukan untuk melumpuhkan mekanisme kehidupan Islam, sambil -- seperti biasanya -- memandang rendah kekuatan dari semangat keagamaan penduduk. "Mereka telah mencat muka mereka sendiri dengan warna anti-Islam dan mengumumkan diri sebagai makhluk-makhluk Rusia -- dengan bendera yang bukan 'hijau Islam' melainkan 'merah kafir', dengan panggilan satu sama lain 'kamerad' . . . Barangkali menyadari perlawanan yang bangkit, Taraki lantas mengambil satu gambar Islam. Paling tidak sebuah acara di televisi (yang hanya bisa dilihat di kota) disediakan bagi "ulama", yang selain meneruskan sedikit khotbah agama juga menghasut orang memusuhi ikhwanusy syayathin ('para sahabat setan', istilah yang disebut dalam Qur'an) yang memusuhi pemerintah. Bahkan sesudah Taraki dibunuh oleh Hafizullah Amin, presiden yang baru itu pun masih memakai cara tersebut. Seperti dilaporkan wartawan Christian Science Monitor yang berhasil menyusup dan diterima kelompok gerilyawan di Provinsi Pakhtia, sebuah ofensif besar para gerilyawan terhadap pertahanan tentara di Ali Khel misalnya, di pebukitan, dihentikan oleh sebuah pengeras suara dari kamp musuh. Dari sana diteriakkan suara seorang "ulama tentara", yang menyerukan agar para penyerbu menghentikan perbuatan mereka memerangi "pemerintahan Tuhan". (Dan suara mikrofon itu dijawab dengan tembakan senapan hasil rampasan tentara Rusia). Jadi "pendekatan" yang terakhir dilakukan pemerintah Karmal, bukanlah yang pertama kali. Meski begitu, gerilyawan yang bersemangat namun sporadis itu adalah bala tentara yang compang-camping dan lapar -- dan jelas sangat kekurangan senjata. Ini adalah para pahlawan bersandal, yang makan roti kering bercampur daun teh dan kadang daging binatang yang berhasil ditemukan, membakarnya di batu-batu karang di gunung, menembak dari atas kuda dengan senjata abad ke-19 ("yang tak seorang luar pun tahu bagaimana cara memakainya") plus hasil rampasan musuh. Para pejuang ini -- yang menyumpah-nyumpah karena "Iran maupun Pakistan tak mau membantu", kata mereka, dan yang kurir-kurirnya berangkat ke Saudi Kuwait lan Mesir untuk mencari-cari sumbangan -- berhadapan sekarang ini dengan tank-tank Rusia, pesawat-pesawat model terbagus seperti Mig-21 maupun helikopter penyerbu MI-24. Allahu Akbar! Bom Napalm Rusia jelas serius sekali menghadapi perlawanan rakyat negeri yang akan dijadikan satelitnya ini. "Bayangkan kalau sampai kekuatan Rusia bisa dikalahkan oleh gerilya Afghan yang gembel," kata seorang wartawan Pakistan. "Bagaimana pengaruhnya bagi 40 juta penduduk muslimnya sendiri di Rusia Selatan?" Itulah sebabnya, seperti dituturkan para gerilyawan di arah, orang-orang Rus itu memakai "bom yang bisa membakar bukit karang" dan jelas napalm. Bahkan juga gas -- sebab kambing dan binatang lain tiba-tiba sakit dan mati. Dengan apa rakyat Afghan akan bisa menang -- atau sekedar bertahan? Dengan kuasa Tuhan, memang. Tetapi suara-suara kemarahan dan dukungan dari negeri-negeri Islam, dan yang terakhir dari Konperensi Menlu-Menlu Islam di Islamabad, sudah tentu takkan menolong bila tak mampu menghentikan invasi besar-besaran negara beruang itu. Kecuali kekuatan besar seperti Amerika atau yang lain benar-benar terjun, dunia Islam akan memperoleh tambahan kawasan dengan penduduk yang barangkali memang lebih maju diukur dari urusan perut, tetapi tidak akan terdengar namanya bahkan oleh seorang murid madrasah. Riwayat kelihatan sedang ditulis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus