Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BOLA panas itu bergulir di ruang Komisi XI DPR RI. ”Pemerintah menyandera kami,” kata Dradjad Wibowo, anggota komisi yang membidangi keuangan dan ekonomi itu. Ia menyinggung hasil pertemuannya dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, akhir Februari lalu.
”Penyanderaan” yang disebut Dradjad adalah permintaan menteri kepada DPR untuk mengambil sikap atas tiga pola penyelesaian kewajiban bantuan likuiditas Bank Indonesia. ”Seharusnya pemerintah memutuskan dulu,” kata Dradjad. ”Kami akan mendukung secara politis.”
Suhu panas BLBI sudah terasa sejak pemerintah mengucurkannya kepada puluhan bank pada 1997 untuk mencegah ambruknya perekonomian nasional. Ketika tiba saat pembayaran, pemerintah menghitung seluruh kewajiban obligor BLBI bernilai Rp 217,53 triliun. Banyaknya aset bank yang bodong dan bermasalah membuat nilai itu direvisi beberapa kali alias diturunkan.
Sampai pertengahan tahun lalu, 16 debitor ternyata berhasil memenuhi tenggat utangnya dan dibebaskan pula dari tuntutan pidana. Menjelang tenggat 27 Desember, masih tersisa tagihan pada delapan obligor sebesar Rp 9,3 triliun. Pemerintah kembali memberi kelonggaran sampai Juni 2007 karena belum satu pun obligor yang membayar.
Menteri Keuangan punya alasan kuat membawa kasus itu ke DPR. Menurut Undang-Undang Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, diperlukan persetujuan presiden dan pertimbangan Dewan jika piutang negara yang tidak disepakati mencapai Rp 100 miliar. Kedelapan obligor yang disebut menteri rata-rata punya kewajiban di atas Rp 100 miliar.
Semua obligor ini sebetulnya sempat duduk semeja dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang ditugaskan sebagai juru tagih pemerintah. Tercapai kesepakatan melalui skema pembayaran Akta Pengakuan Utang hasil reformulasi dengan menghitung ulang kewajiban dan aset mereka.
Belum sempat utang dibayar, BPPN dibubarkan pemerintah pada Februari 2004. Negosiasi dilanjutkan, tetapi pemerintah mengeluarkan angka baru, Rp 4,03 triliun, melebihi kesepakatan dengan BPPN yang Rp 3,17 triliun. Suhu makin panas ketika tahun lalu pemerintah mengeluarkan angka baru lagi: Rp 9,368 triliun.
Pada November lalu, BPK mengeluarkan versi sendiri, yakni Rp 2,297 triliun—lebih kecil Rp 7,07 triliun dibandingkan versi Departemen Keuangan. Menurut BPK, selisihnya demikian besar karena pemerintah belum menghitung aset yang sudah diserahkan para obligor.
Munculnya dua versi kewajiban BLBI itu membingungkan para obligor. Mereka menolak membayar nilai utang baru yang disebutkan Menteri di depan rapat komisi itu, termasuk keputusan gagal bayar (default) bagi mereka.
Sugeng Teguh Santosa, pengacara Atang Latief, pemilik Bank Bira, mengatakan bahwa kliennya ingin segera melunasi kewajibannya. Namun, ia minta pemerintah konsisten pada kesepakatan awal dan tidak menghitung secara sepihak karena kasus BLBI tergolong perdata. ”Kalau pemerintah memaksakan, kami akan bawa ke pengadilan,” katanya. Beberapa obligor lain juga menyatakan menolak angka versi Menteri.
Sampai pekan lalu, Menteri Keuangan belum memanggil para obligor dan berkukuh pada skema nilai APU awal, ditambah denda dan bunga yang ditentukan pemerintah. Namun, Sugeng tak gentar. ”Itu kan cuma pernyataan eksekutif,” katanya. ”Belum jadi produk hukum.”
IGG Maha Adi
Tiga Posisi Utang Obligor BLBI (Rp juta) | ||||
Obligor BLBI | Versi Depkeu | Versi Obligor | Versi BPK | |
Default | Akhir | |||
Adisaputra dan James (Namura Internusa) | 511.256 | 87.603 | 87.603 | 303 |
Atang Latief (Bira) | 1.066.563 | 190.702 | 175.010 | 155.727 |
Ulung Bursa (Lautan Berlian) | 2.207.233 | 455.330 | 424.657 | 424.656 |
Omar Putihrai(Tamara) | 741.827 | 159.141 | 159.141 | 159.141 |
Lidia Muchtar (Tamara) | 787.517 | 189.039 | 1.093 | 189.039 |
Marimutu Sinivasan (Putra) | 3.244.168 | 881.273 | 791.427 | 790.557 |
Agus Anwar (Pelita) | 810.155 | 577.812 | 577.812 | 577.812 |
Jumlah | 9.368.719 | 2.540.900 | 2.216.743 | 2.297.235 |
Sumber: Diolah dari laporan BPK, 30 November 2006 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo