Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Buih Maut Kapal Karam

Sebagian korban tenggelam diyakini terisap ke dalam rongga kapal. Apakah teori penyedot debu terjadi pada korban Levina?

5 Maret 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Melompat. Hanya itu yang terpikir oleh Ruth Hanna Simatupang saat menyaksikan kapal Levina I mulai oleng ke kanan dan tenggelam. Nahas di tiga mil laut dari pantai Muara Gembong, Bekasi, itu terjadi dua pekan lalu. Ruth merasa ngeri. Anggota penyelidik Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) itu tahu dari tempat ia berdiri di dek teratas ke permukaan air laut masih terlalu tinggi. Setelah menunggu beberapa saat hingga jaraknya kian dekat, barulah ia melompat.

Tak dinyana, keputusannya untuk menunggu, juga prosedur pemakaian pelampung yang tak ia abaikan, telah menyelamatkan dia. Wanita berusia 45 tahun itu bersama tiga rekan penyelidik KNKT, delapan anggota Pusat Laboratorium Forensik Kepolisian RI, serta sembilan wartawan selamat. Dua wartawan dan dua orang anggota Pusat Laboratorium Forensik tewas.

Sekuat tenaga Ruth kemudian mengayuh kedua lengan dan kaki untuk menjaga tubuhnya tak terperosok lebih dalam ke ”kubangan keruh” penuh buih. Air laut di perairan dangkal tempat kapal biasa buang sauh itu amatlah keruh. Pusaran air berbuih menambah berat perjuangan Ruth untuk muncul ke permukaan dan mendekati kapal penyelamat.

”Gelap sekali, saya banyak menelan air. Saya cuma berpikir untuk terus mengapung dan menghindar dari pusaran air,” kata Ruth kepada Tempo. Dia khawatir pusaran air bakal menyedotnya ke dalam air bersama bangkai kapal.

Benarkah pusaran air dari kapal tenggelam akan mengisap benda, termasuk orang yang mengapung di sekitarnya?

Sejak berabad-abad silam, teori efek isap kapal tenggelam dipercaya menjadi penyebab banyak korban yang tidak ditemukan. Ini termasuk korban tenggelamnya kapal Titanic hampir seabad silam; dan wartawan bersama petugas kepolisian yang mengalami nasib nahas di Levina. Bak terisap mesin penyedot debu, korban dibetot ke rongga-rongga kapal.

Sebagian pelaut mempercayai teori efek isap. ”Kita bisa terisap mengikuti kapal,” kata seorang pelaut senior yang kini bekerja di PT Pelabuhan Indonesia II, Tanjung Priok. Sebagian lagi meragukannya.

Kapten Kapal Republik Indonesia Fatahillah, Letnan Kolonel Maman Firmansyah, termasuk orang yang meragukan teori efek isap. ”Pusaran air hanya membuat orang tenggelam paling dalam satu hingga dua meter,” katanya. Dialah koordinator pencari sinyal kotak hitam pesawat Adam Air di Laut Sulawesi pada Januari.

Penjelasan tentang efek isap bisa diawali dengan mengingat kembali hukum Archimedes. Menurut ahli fisika kebangsaan Yunani asal Sisilia, Italia, ini, ”Jika suatu benda dicelupkan ke dalam zat cair, benda itu akan mendapat tekanan ke atas yang sama besarnya dengan berat zat cair yang terdesak oleh benda tersebut.” Jadi, benda tak bisa terbenam jika bobot air yang tertekan sudah sama dengan bobot benda itu sendiri. Ini yang menjelaskan mengapa bola bisa mengambang di air, sedangkan potongan logam tenggelam.

Lalu, apa yang terjadi pada pusaran air saat kapal terhunjam ke dasar laut? Richard L. Hoffmann, Profesor Kimia dan Fisika pada Western Illinois University, Amerika Serikat, menjelaskan, memang terjadi gerakan arus ke bawah pada permukaan di dekat badan kapal yang terbenam. Namun efek isap lebih tepat disebut sebagai dampak perubahan berat jenis air yang berubah. ”Tak ada isapan. Itu kesalahpahaman populer,” katanya.

Hoffman mengatakan, udara di dalam rongga kapal keluar membentuk gelembung besar. Gelembung itu pecah menjadi buih menjelang permukaan air sehingga mengurangi berat jenis air. Karena bobot air berkurang, benda yang semula mengapung mengalami kekurangan daya dorong dari bawah sehingga tenggelam. Benda itu akan kembali muncul bila buih air sudah hilang, tergantung jumlah udara yang lepas dari kapal. Faktor yang turut mempengaruhi adalah kadar garam air. Semakin asin air laut, tekanan ke permukaan lebih kuat.

Untuk mengurangi dampak perubahan berat jenis air itu, Kapten Maman menyarankan agar penumpang meloncat sejauh mungkin beberapa saat sebelum kapal terbenam seutuhnya, dan segera menjauhi buih. Menurut Maman, ketika hampir seluruh badan kapal terbenam, kian banyak udara yang terlepas dari rongga sehingga buih kapal semakin berkurang. Korban akan terhindar dari keadaan berlama-lama terjebak oleh buih.

Langkah inilah yang dilakukan Ruth saat melompat dari Levina. Meski sempat terbenam, ibu dua anak ini mampu menjauhi pusaran air dan mendekati kapal penyelamat.

Ruth menduga empat korban Levina tewas lantaran terjebak lama di buih—selain tidak mengenakan pelampung. Ia menyaksikan beberapa korban tewas, bahkan saat masih berada di dek dasar saat kapal oleng dan tenggelam. ”Banyak yang lari ke bawah; saya justru naik ke tepi kapal,” katanya. Dan, dia selamat.

Adek Media, Ibnu Rusydi, Ferry Firmansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus