KEMATIAN Lola T. Jones, dalam usia 81 tahun, tak dianggap
waras putranya, Clarence Borom. Ia yakin bahwa ibunya yang
berpnyakit rematik (arthritis) meninggal bukan karena
usia renta, tapi gara-gara menelan kapsul Oraflex buatan
pabrik obta terbesar di ASEli, Lilly & Co.
Kecurigaan itu memang beralasan. Sebelumnya, Borom
mendengar sudah 135 orang dari berbagai negara meninggal
akibat efek samping Oraflex itu. Karena itu, bersama
pengacaranya, C neal Pope, Borom kemudian menuntut
ganti rugi US$ 100 juta (sekitar Rp 100 milyar) kepada
pabrik raksasa Eli Lilly di kota Indianapolis itu.
Pengadilan federal AS ternyata akhir November memutuskan
Eli Lily bersalah dan harus membayar ganti rugi enan juta
dolar atau hampir Rp 6 milyar.
Hukuman denda sebesar itu tak berarti bagi perusahaan yang
beromset 30 milyar dolar per tahun itu. Lily memproduksikan
lebih dari 300 jenis obat, dan resepnya yang terkenal adlah
insulin. Penjualan obat Oraflex itu saja tahun 1982 hampir 3
milyar dolar.
Namun, perusahaan itu tak mau membayar ganti rugi kepada
keluarga nenek tua yang meninggal sebulan setelah minum Oraflex
itu, Juli 1982. Perusahaan Lily takut "diperas" lebih lanjut.
Beberapa obat antibiotika buatannya seperti Darvon, resep
pembunuh rasa sakit, juga pernah dituduh sebagai racun pembunuh.
Lily juga pernah memasarkan obat kehamilan DES yang terbukti
dalam penelitian di Rumah Sakit Umum Massachusetts sebagai
penyebab kanker. Dan masih banyak kasus lain lagi.
Dari tiga ratus jenis resep Lily, belum ada yang beredar di
Indonesia. Tetapi tahun depan sudah akan masuk. PT Darya Varia
Laboratoria, misalnya, sudah siap memproduksikan antibiotika
aminoglikosida Nebcin dan sefalosporin Mandocef, bekerja sama
dengan Eli Lily. Darya Varia juga pembuat obat atritis Sedergine
Upsa, tapi tak tertarik memproduksikan Oraflex. "Satu kapsul
Oraflex kami hitung bisa jatuh Rp 2000. Terlalu mahal untuk
orang kita," kata manajer pemasaran Darya Varia, Hans A. Rifai,
memberikan alasan.
Perusahaan Eli Lily justru mengimpor resep Oraflex dari Eropa
karena melihat cukup banyak penderita encok di AS. Maklum, sakit
encok itu bisa muncul karena orang kegemukan, sehingga
tulang-tulang harus menanggung beban berat, atau juga karena
kebiasaan berdiri/duduk yang loyo dan rupanya diderita 31 juta
warga AS. Banyak yang menderita encok berat sehingga
diperhitungkan cocok ditanggulangi dengan Oraflex yang
keampuhannya membunuh rasa sakit sama dengan selusin tablet
Aspirin. Rematik biasanya menggerayangi tulang-tulang mereha
yang berusia 45 tahun ke atas.
"Obat dewa" ini ternyata, dalam permohonan izin produksi ke
Dinas Pengawasan Obat dan Makanan (FDA) AS, dilaporkan pihak
Lilly "sudah membunuh 29 orang di Eropa." Para korban Oraflex
itu tampaknya "aneh", antara lain karena lima kasus di Firlandia
semua di tangan satu dokter, seingga FDA mengizinkan obat itu
dibuat Eli Lilly sejak Maret 1982. Tapi izin itu ditarik lagi
Agustus tahun yang sama, yakni setelah muncul gugatan Clarence
Borom.
Pihak Lilly di pengadilan Alabama mengakui lalai membubuhkan
"siapa-siapa yang terlarang" menelan obat keras berkadar
kortikosteroid itu. Karena kelalaian itu, dewan juri yang
terdiri dari tujuh wanita dan lima pria, setelah berembuk enam
jam, kemudian menjatuhkan vonis: Eli Lilly harus bertanggung
jawab.
Sampai sekarang belum ditemukan obat penyembuh penyakit ini.
Yang sudah ada hanyalah obat-obatan untuk mengurangi rasa
sakit. Di Indonesia tercatat puluhan resep/nama obat pengurang
rasa sakit itu. Ada yang berkadar kortiksteroid (misalnya
Danason, Dexon , Hostacortin, dan Parameson) dan ada pula
yang tidak berkadar kortikosteroid (seperti Aspirin,
Confartid, dan Glaphen.
"Semua obat rematih adalah racun yang terpaksa diberikan
dokter. Sebagian bisa bersifat antirematik dan juga
antibengkak," tulis Dr. Priguna Sidharta dalam buku Seri
Dokter Anda No 5, ENCOK/ REMATIK. Karena itu, tidak bisa
sembarangan menelan obat rematik. Walaupun banyak resep yang
ditawarkan perusahaan-perusahaan farmasi sebagai "obat
dewa", banyak profesor di luar negeri menganggap resep
tua, Aspirin, paling unggul. "Pernyataan seperti itu," menurut
Priguna Sidharta, "adalah ucapan okter yang bercitra
hati-hati."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini