Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Obat encok pencabut nyawa

135 orang dari berbagai negara meninggal akibat efek samping oraflek, obat rematik buatan pabrik eli lilly & co, a.s. pabrik tersebut divonis harus membayar enam juta dolar. (ksh)

17 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEMATIAN Lola T. Jones, dalam usia 81 tahun, tak dianggap waras putranya, Clarence Borom. Ia yakin bahwa ibunya yang berpnyakit rematik (arthritis) meninggal bukan karena usia renta, tapi gara-gara menelan kapsul Oraflex buatan pabrik obta terbesar di ASEli, Lilly & Co. Kecurigaan itu memang beralasan. Sebelumnya, Borom mendengar sudah 135 orang dari berbagai negara meninggal akibat efek samping Oraflex itu. Karena itu, bersama pengacaranya, C neal Pope, Borom kemudian menuntut ganti rugi US$ 100 juta (sekitar Rp 100 milyar) kepada pabrik raksasa Eli Lilly di kota Indianapolis itu. Pengadilan federal AS ternyata akhir November memutuskan Eli Lily bersalah dan harus membayar ganti rugi enan juta dolar atau hampir Rp 6 milyar. Hukuman denda sebesar itu tak berarti bagi perusahaan yang beromset 30 milyar dolar per tahun itu. Lily memproduksikan lebih dari 300 jenis obat, dan resepnya yang terkenal adlah insulin. Penjualan obat Oraflex itu saja tahun 1982 hampir 3 milyar dolar. Namun, perusahaan itu tak mau membayar ganti rugi kepada keluarga nenek tua yang meninggal sebulan setelah minum Oraflex itu, Juli 1982. Perusahaan Lily takut "diperas" lebih lanjut. Beberapa obat antibiotika buatannya seperti Darvon, resep pembunuh rasa sakit, juga pernah dituduh sebagai racun pembunuh. Lily juga pernah memasarkan obat kehamilan DES yang terbukti dalam penelitian di Rumah Sakit Umum Massachusetts sebagai penyebab kanker. Dan masih banyak kasus lain lagi. Dari tiga ratus jenis resep Lily, belum ada yang beredar di Indonesia. Tetapi tahun depan sudah akan masuk. PT Darya Varia Laboratoria, misalnya, sudah siap memproduksikan antibiotika aminoglikosida Nebcin dan sefalosporin Mandocef, bekerja sama dengan Eli Lily. Darya Varia juga pembuat obat atritis Sedergine Upsa, tapi tak tertarik memproduksikan Oraflex. "Satu kapsul Oraflex kami hitung bisa jatuh Rp 2000. Terlalu mahal untuk orang kita," kata manajer pemasaran Darya Varia, Hans A. Rifai, memberikan alasan. Perusahaan Eli Lily justru mengimpor resep Oraflex dari Eropa karena melihat cukup banyak penderita encok di AS. Maklum, sakit encok itu bisa muncul karena orang kegemukan, sehingga tulang-tulang harus menanggung beban berat, atau juga karena kebiasaan berdiri/duduk yang loyo dan rupanya diderita 31 juta warga AS. Banyak yang menderita encok berat sehingga diperhitungkan cocok ditanggulangi dengan Oraflex yang keampuhannya membunuh rasa sakit sama dengan selusin tablet Aspirin. Rematik biasanya menggerayangi tulang-tulang mereha yang berusia 45 tahun ke atas. "Obat dewa" ini ternyata, dalam permohonan izin produksi ke Dinas Pengawasan Obat dan Makanan (FDA) AS, dilaporkan pihak Lilly "sudah membunuh 29 orang di Eropa." Para korban Oraflex itu tampaknya "aneh", antara lain karena lima kasus di Firlandia semua di tangan satu dokter, seingga FDA mengizinkan obat itu dibuat Eli Lilly sejak Maret 1982. Tapi izin itu ditarik lagi Agustus tahun yang sama, yakni setelah muncul gugatan Clarence Borom. Pihak Lilly di pengadilan Alabama mengakui lalai membubuhkan "siapa-siapa yang terlarang" menelan obat keras berkadar kortikosteroid itu. Karena kelalaian itu, dewan juri yang terdiri dari tujuh wanita dan lima pria, setelah berembuk enam jam, kemudian menjatuhkan vonis: Eli Lilly harus bertanggung jawab. Sampai sekarang belum ditemukan obat penyembuh penyakit ini. Yang sudah ada hanyalah obat-obatan untuk mengurangi rasa sakit. Di Indonesia tercatat puluhan resep/nama obat pengurang rasa sakit itu. Ada yang berkadar kortiksteroid (misalnya Danason, Dexon , Hostacortin, dan Parameson) dan ada pula yang tidak berkadar kortikosteroid (seperti Aspirin, Confartid, dan Glaphen. "Semua obat rematih adalah racun yang terpaksa diberikan dokter. Sebagian bisa bersifat antirematik dan juga antibengkak," tulis Dr. Priguna Sidharta dalam buku Seri Dokter Anda No 5, ENCOK/ REMATIK. Karena itu, tidak bisa sembarangan menelan obat rematik. Walaupun banyak resep yang ditawarkan perusahaan-perusahaan farmasi sebagai "obat dewa", banyak profesor di luar negeri menganggap resep tua, Aspirin, paling unggul. "Pernyataan seperti itu," menurut Priguna Sidharta, "adalah ucapan okter yang bercitra hati-hati."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus