SEORANG lelaki setengah umur mengunjungi pameran poster
perjuangan di sebuah gedung di Jakarta. Ia tertarik pada
sekelompok pemuda yang sedang asyik mengamati sebuah poster
besar yang terpaJang dl dmding. "Apa yang kahan rasakan di balik
poster itu?" tanya lelaki berkumis itu. Anak-anak itu
terperangah sebentar. "Poster ini baus dan bercerita tentang
revolusi kemerdekaan," jawab mereka. Hanya itu.
Itu terjadi lima tahun lalu. Lelaki itu - seorang veteran perang
kemerdekaan segera berlalu. Tapi hati kecilnya bergumam, "Persis
seperti dugaan saya, anak-anak sekarang memang asing terhadap
sejarah perjuangan kemerdekaan bangsanya sendiri. Mereka tidak
mengerti apa yang telah terjadi, apalagi menggambarkan,
membayangkan, dan merasakan suasananya."
Sejak itu ia ingin menceritakan pengalamannya mengikuti
pasang-surut revolusi kemerdekaan. "Sebagai orang tua, saya
ingin mendongeng mengenai revolusi kemerdekaan. Dengan cara
mendongeng, revolusi kemerdekaan bisa terbayang lebih hidup,"
katanya. "Tidak mungkin hanya melalui pidato saja."
Sejak itu ia memutuskan untuk menulis novel. Maka, meluncurlah
dari tangannya Kereta Api Terakhir ke Yogyakarta Kadarwati,
Wanita dengan Lima Nama Ibu Sinder, dan yang kini sedang
diselesaikannya Rintihan Burung Kedasih dan Huru-Hara di Kaki
Gunung Slamet.
Gayanya bercerita cukup lancar, tak ubahnya seperti tulisan
seorang pengarang yang sudah berpengalaman. Dalam Ibu Sinder
yang diterbitkan Penerbit Sinar Harapan, misalnya:
Tanggal I Maret pagi-pagi Ibu Sinder dikejutkan oleh tembakan
dan dentuman yang beruntun. Tidak hanya di sekitar Stasiun Tugu
saja. Tetapi menyeluruh. Pemuda-pemuda bersenata mengenakan
janur kuning di lehernya melewati lorong di muka rumahnya.
Teriakan-teriakan "merdeka" menggema dl mana-mana. Suasananya
seperti sewaktu zaman "siap siapan" saja, tetapi dibarengi
dengan gegap gempitanya suara tembakan dan dentuman. Di
sana-sini bau asap mesiu mulai menusuk-nusuk hidung. Peluru
nyasar menembus atap genting rumah. Kepingan-kepingan genting
berserakan jatuh di atas lantai.
Orang tidak akan menduga bahwa reportase yang cukup enak dibaca
itu ditulis oleh Mayor Jenderal (pur.) Slamet Danusudirdjo, yang
kini berusia 59 tahun. Tapi di sampul belakang buku itu
tercantum nama dan sekilas biografi si penulis. Dan, jelaslah,
ia adalah tokoh yang pernah sangat terkenal sebagai ketua Tim
Wali Songo itu, yang untuk buku-buku itu menggunakan nama
samaran Pandir Kelana. "Pandir itu tolol, kelana itu pengembara.
Nah, kalau ada pengembara yang tolol, itulah saya," kata Slamet
Danusudirdjo sambil tertawa.
Dengan kumis ubanan yang terbentuk rapi, ia memang tak
segan-segan merendahkan diri. Tidak hanya menjuluki dirinya si
Pandir Kelana, tapi juga dengan jujur - atau mungkin bercanda -
mengaku hobi tunggalnya adalah tidur.
Meski badannya kekar, anak wedana Tanjung (Kabupaten Brebes,
Jawa Tengah) itu mengaku tak pernah berolah raga. Bahkan,
katanya, ia bisa saja memakan segala macam makanan. "Saya ini
memang orang yang tak teratur," ujarnya. Namun, ia merasa
bahagia. "Saya bisa menikmati apa saja yang ada, meski tak punya
kesenangan khusus. Saya menyetir mobil sendiri, membawa tas
sendiri, membuka dan menutup pintu sendiri segala yang bisa saya
kerjakan, saya kerjakan sendiri. Kalau adak, saya akan cepat
tua," tuturnya.
Ia juga suka mendengarkan musik dan sesekali memainkan salah
satu alatnya. Pagi atau sore, ia sering keluar rumah
mendengarkan kicau burung. "Yang penting, bagi saya, bagaimana
bisa menikmati hal-hal yang wajar," katanya. Rumahnya di Jalan
Kertanagara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, termasuk sederhana
untuk ukuran disekitarnya. Rumah yang tak seberapa luas itu
tersembunyi di antara tembok-tembok rumah tetangganya.
Halamannya pun sempit, dilingkungi pagar yang tak mampu menutup
bangunan rumahnya. Tak banyak tetumbuhan besar di halaman itu,
hanya pokok kamboja tumbuh di sana. Sendirian. Bel di pintu
depan ... macet.
Dengan jabatan anggota DPA, Slamet bisa menikmati hari-hari
tuanya. Ia punya banyak waktu. Bila tidak ada acara di DPA, ia
membaca atau bersantai. Sekali-sekali bermain golf di halaman
belakang rumah yang luasnya hanya beberapa meter. Buku yang
dibacanya macam-macam. Katanya, "tergantung dari kesenangan saya
suatu saat.
Ia mengaku tak banyak membaca novel-novel hasil karya pengarang
Indonesia. Tapi Slamet menyukai novel karya pengarang luar
negeri. Untuk mempersiapkan diri sebagai penulis, "saya membaca
buku semacam How to Write a Novel." Sebelum memutuskan menjadi
pengarang, katanya, ia hampir tak pernah membaca novel.
Ketika pertama kali mencoba menulis, ia merasa berat juga.
"Selama enam bulan pertama, mesin ketik cuma saya pelototi saja.
Rasanya sulit sekali mengeluarkan kata-kata. Mengetik pun juga
hanya dengan dua jari. Tapi, lama kelamaan, setelah memaksakan
diri, akhirnya lancar juga," tuturnya. Bahkan dua bukunya sudah
difilmkan: Kereta Api Terakhir (oleh PPFN) dan Kadarwati (oleh
PT Gramedia Film).
Mula-mula, ia ingin menulis novel besar dan lengkap tentang
kemerdekaan. Mulai zaman penjajahan Belanda, menjelang masuknya
Jepang, selama penjajahan Jepang, dan perang kemerdekaan, sampai
perang usai. "Tapi, namanya saja mengarang. Ternyata,
cerita-cerita sampingan yang lebih dulu selesai," katanya
mengungkapkan. Kereta Api Terakhir, misalnya, adalah cerita
sampingan yang muncul pada saat Perjanjian Linggar Jati, yang
menceritakan penumpang-penumpang kereta api Jakarta-Yogyakarta
yang diserbu Belanda di Purwokerto.
Bapak dua anak lelaki kembar berusia 16 tahun itu turut
memanggul senjata ketika baru saja tamat SMA. Ketika TNI
terbentuk, ia langsung menyandang pangkat letnan II dan langsung
pula bergerilya di sekitar Pati dan Semarang.
Pada tahun 1960-an Slamet mengikuti Sekolah Artileri di Belanda
dan Sekolah Staf di Uni Soviet. Ia mengakhiri karier militer
aktifnya pada tahun 1968 ketika diangkat sebagai deputi ketua
Bappenas mendampingi Prof. Widjojo Nitisastro. Jabatan
terakhirnya sebagai tentara adalah aspri pangad (ketika itu)
Letnan Jenderal Soeharto. Sejak pertengahan tahun ini, ia
diangkat menjadi anggota DPA.
Nama Slamet Danusudirdjo melejit ketika menjadi ketua Tim Wali
Songo (1972) yang dengan gencar membenahi keruwetan administrasi
di pelabuhan-pelabuhan, termasuk penyelundupan. Karena
beranggotakan sembilan orang, tim itu disebut dengan nama
populer Tim Wali Songo. Langkah pertamanya adalah meninjau
Pelabuhan Tanjungpriok. "Di pelabuhan terbesar di Indonesia itu,
saya lihat banyak anggota ABRI berkeliaran. Mereka saya usir
semua," katanya. Setelah itu, ia menertibkan gudang-gudang
pelabuhan yang berjubel dengan barang-barang. Setelah Priok
beres dan bersih, perhatiannya beralih ke pelabuhan-pelabuhan
lain.
"Bagi saya, semua itu bukan hal yang istimewa. Biasa-biasa saja.
Itu semua tugas yang harus saya jalani, seperti halnya menulis
novel," katanya merendah. Tapi, ada yang istimewa dalam
kehidupan jenderal tua ini: ia lahir kembar, juga anaknya,
lelaki kembar. Mungkin karena itu, dalam Kereta Api Terakhir ia
menampilkan tokoh dua perempuan kembar.
Bukan hanya itu. Slamet Danusudirdjo agaknya satu-satunya
novelis kita yang menulis dengan menggunakan komputer. Sebulan
lalu ia membeli sebuah komputer kecil yang ringan dan mudah
dibawa ke mana-mana. Merknya Osborne, seharga Rp 1,8 juta. "Baru
saya gunakan untuk word processor saja, untuk menulis novel
atau makalah. Saya baru belajar menggunakannya," katanya. Satu
novel bisa membutuhkan dua disk (lempeng penyimpan data). "Enak
menulis dengan komputer. Tinggal pencet saja, kalau ada
kesalahan dapat diralat dengan mudah," katanya menambahkan.
Ada lagi yang istimewa. Dan ini merupakan salah satu sebab ia
menulis novel. "Saya merasa berutang pada revolusi," ujarnya
suatu ketika. Dulu, ketika bergerilya di sekitar daerah Pati dan
Blora, ia kehilangan satu map besar yang berisi catatan harian.
"Hanyut di sungai," katanya. Beberapa hari setelah itu, suatu
malam, ia diganggu kicau burung kedasih. Sekalipun dilempari
batu, burung itu berkicau terus. Puluhan tahun kemudian, di
belakang rumahnya terdengar kicau yang sama. Menurut
kepercayaan, itu pertanda bahwa Slamet punya "utang". Utang itu,
menurut Slamet, adalah catatan harian yang hanyut pada zaman
revolusi. Barangkali karena novel-novelnya sudah terbit, burung
itu tak pernah datang lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini