Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Dongeng-dongeng seorang jenderal

Slamet danudirdjo, mayjen (purn), 59. profil dan pengalamannya. menulis novel untuk mengungkapkan pengalamannya sebagai pejuang kemerdekaan. sekarang menjadi anggota dpa.(tk)

17 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG lelaki setengah umur mengunjungi pameran poster perjuangan di sebuah gedung di Jakarta. Ia tertarik pada sekelompok pemuda yang sedang asyik mengamati sebuah poster besar yang terpaJang dl dmding. "Apa yang kahan rasakan di balik poster itu?" tanya lelaki berkumis itu. Anak-anak itu terperangah sebentar. "Poster ini baus dan bercerita tentang revolusi kemerdekaan," jawab mereka. Hanya itu. Itu terjadi lima tahun lalu. Lelaki itu - seorang veteran perang kemerdekaan segera berlalu. Tapi hati kecilnya bergumam, "Persis seperti dugaan saya, anak-anak sekarang memang asing terhadap sejarah perjuangan kemerdekaan bangsanya sendiri. Mereka tidak mengerti apa yang telah terjadi, apalagi menggambarkan, membayangkan, dan merasakan suasananya." Sejak itu ia ingin menceritakan pengalamannya mengikuti pasang-surut revolusi kemerdekaan. "Sebagai orang tua, saya ingin mendongeng mengenai revolusi kemerdekaan. Dengan cara mendongeng, revolusi kemerdekaan bisa terbayang lebih hidup," katanya. "Tidak mungkin hanya melalui pidato saja." Sejak itu ia memutuskan untuk menulis novel. Maka, meluncurlah dari tangannya Kereta Api Terakhir ke Yogyakarta Kadarwati, Wanita dengan Lima Nama Ibu Sinder, dan yang kini sedang diselesaikannya Rintihan Burung Kedasih dan Huru-Hara di Kaki Gunung Slamet. Gayanya bercerita cukup lancar, tak ubahnya seperti tulisan seorang pengarang yang sudah berpengalaman. Dalam Ibu Sinder yang diterbitkan Penerbit Sinar Harapan, misalnya: Tanggal I Maret pagi-pagi Ibu Sinder dikejutkan oleh tembakan dan dentuman yang beruntun. Tidak hanya di sekitar Stasiun Tugu saja. Tetapi menyeluruh. Pemuda-pemuda bersenata mengenakan janur kuning di lehernya melewati lorong di muka rumahnya. Teriakan-teriakan "merdeka" menggema dl mana-mana. Suasananya seperti sewaktu zaman "siap siapan" saja, tetapi dibarengi dengan gegap gempitanya suara tembakan dan dentuman. Di sana-sini bau asap mesiu mulai menusuk-nusuk hidung. Peluru nyasar menembus atap genting rumah. Kepingan-kepingan genting berserakan jatuh di atas lantai. Orang tidak akan menduga bahwa reportase yang cukup enak dibaca itu ditulis oleh Mayor Jenderal (pur.) Slamet Danusudirdjo, yang kini berusia 59 tahun. Tapi di sampul belakang buku itu tercantum nama dan sekilas biografi si penulis. Dan, jelaslah, ia adalah tokoh yang pernah sangat terkenal sebagai ketua Tim Wali Songo itu, yang untuk buku-buku itu menggunakan nama samaran Pandir Kelana. "Pandir itu tolol, kelana itu pengembara. Nah, kalau ada pengembara yang tolol, itulah saya," kata Slamet Danusudirdjo sambil tertawa. Dengan kumis ubanan yang terbentuk rapi, ia memang tak segan-segan merendahkan diri. Tidak hanya menjuluki dirinya si Pandir Kelana, tapi juga dengan jujur - atau mungkin bercanda - mengaku hobi tunggalnya adalah tidur. Meski badannya kekar, anak wedana Tanjung (Kabupaten Brebes, Jawa Tengah) itu mengaku tak pernah berolah raga. Bahkan, katanya, ia bisa saja memakan segala macam makanan. "Saya ini memang orang yang tak teratur," ujarnya. Namun, ia merasa bahagia. "Saya bisa menikmati apa saja yang ada, meski tak punya kesenangan khusus. Saya menyetir mobil sendiri, membawa tas sendiri, membuka dan menutup pintu sendiri segala yang bisa saya kerjakan, saya kerjakan sendiri. Kalau adak, saya akan cepat tua," tuturnya. Ia juga suka mendengarkan musik dan sesekali memainkan salah satu alatnya. Pagi atau sore, ia sering keluar rumah mendengarkan kicau burung. "Yang penting, bagi saya, bagaimana bisa menikmati hal-hal yang wajar," katanya. Rumahnya di Jalan Kertanagara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, termasuk sederhana untuk ukuran disekitarnya. Rumah yang tak seberapa luas itu tersembunyi di antara tembok-tembok rumah tetangganya. Halamannya pun sempit, dilingkungi pagar yang tak mampu menutup bangunan rumahnya. Tak banyak tetumbuhan besar di halaman itu, hanya pokok kamboja tumbuh di sana. Sendirian. Bel di pintu depan ... macet. Dengan jabatan anggota DPA, Slamet bisa menikmati hari-hari tuanya. Ia punya banyak waktu. Bila tidak ada acara di DPA, ia membaca atau bersantai. Sekali-sekali bermain golf di halaman belakang rumah yang luasnya hanya beberapa meter. Buku yang dibacanya macam-macam. Katanya, "tergantung dari kesenangan saya suatu saat. Ia mengaku tak banyak membaca novel-novel hasil karya pengarang Indonesia. Tapi Slamet menyukai novel karya pengarang luar negeri. Untuk mempersiapkan diri sebagai penulis, "saya membaca buku semacam How to Write a Novel." Sebelum memutuskan menjadi pengarang, katanya, ia hampir tak pernah membaca novel. Ketika pertama kali mencoba menulis, ia merasa berat juga. "Selama enam bulan pertama, mesin ketik cuma saya pelototi saja. Rasanya sulit sekali mengeluarkan kata-kata. Mengetik pun juga hanya dengan dua jari. Tapi, lama kelamaan, setelah memaksakan diri, akhirnya lancar juga," tuturnya. Bahkan dua bukunya sudah difilmkan: Kereta Api Terakhir (oleh PPFN) dan Kadarwati (oleh PT Gramedia Film). Mula-mula, ia ingin menulis novel besar dan lengkap tentang kemerdekaan. Mulai zaman penjajahan Belanda, menjelang masuknya Jepang, selama penjajahan Jepang, dan perang kemerdekaan, sampai perang usai. "Tapi, namanya saja mengarang. Ternyata, cerita-cerita sampingan yang lebih dulu selesai," katanya mengungkapkan. Kereta Api Terakhir, misalnya, adalah cerita sampingan yang muncul pada saat Perjanjian Linggar Jati, yang menceritakan penumpang-penumpang kereta api Jakarta-Yogyakarta yang diserbu Belanda di Purwokerto. Bapak dua anak lelaki kembar berusia 16 tahun itu turut memanggul senjata ketika baru saja tamat SMA. Ketika TNI terbentuk, ia langsung menyandang pangkat letnan II dan langsung pula bergerilya di sekitar Pati dan Semarang. Pada tahun 1960-an Slamet mengikuti Sekolah Artileri di Belanda dan Sekolah Staf di Uni Soviet. Ia mengakhiri karier militer aktifnya pada tahun 1968 ketika diangkat sebagai deputi ketua Bappenas mendampingi Prof. Widjojo Nitisastro. Jabatan terakhirnya sebagai tentara adalah aspri pangad (ketika itu) Letnan Jenderal Soeharto. Sejak pertengahan tahun ini, ia diangkat menjadi anggota DPA. Nama Slamet Danusudirdjo melejit ketika menjadi ketua Tim Wali Songo (1972) yang dengan gencar membenahi keruwetan administrasi di pelabuhan-pelabuhan, termasuk penyelundupan. Karena beranggotakan sembilan orang, tim itu disebut dengan nama populer Tim Wali Songo. Langkah pertamanya adalah meninjau Pelabuhan Tanjungpriok. "Di pelabuhan terbesar di Indonesia itu, saya lihat banyak anggota ABRI berkeliaran. Mereka saya usir semua," katanya. Setelah itu, ia menertibkan gudang-gudang pelabuhan yang berjubel dengan barang-barang. Setelah Priok beres dan bersih, perhatiannya beralih ke pelabuhan-pelabuhan lain. "Bagi saya, semua itu bukan hal yang istimewa. Biasa-biasa saja. Itu semua tugas yang harus saya jalani, seperti halnya menulis novel," katanya merendah. Tapi, ada yang istimewa dalam kehidupan jenderal tua ini: ia lahir kembar, juga anaknya, lelaki kembar. Mungkin karena itu, dalam Kereta Api Terakhir ia menampilkan tokoh dua perempuan kembar. Bukan hanya itu. Slamet Danusudirdjo agaknya satu-satunya novelis kita yang menulis dengan menggunakan komputer. Sebulan lalu ia membeli sebuah komputer kecil yang ringan dan mudah dibawa ke mana-mana. Merknya Osborne, seharga Rp 1,8 juta. "Baru saya gunakan untuk word processor saja, untuk menulis novel atau makalah. Saya baru belajar menggunakannya," katanya. Satu novel bisa membutuhkan dua disk (lempeng penyimpan data). "Enak menulis dengan komputer. Tinggal pencet saja, kalau ada kesalahan dapat diralat dengan mudah," katanya menambahkan. Ada lagi yang istimewa. Dan ini merupakan salah satu sebab ia menulis novel. "Saya merasa berutang pada revolusi," ujarnya suatu ketika. Dulu, ketika bergerilya di sekitar daerah Pati dan Blora, ia kehilangan satu map besar yang berisi catatan harian. "Hanyut di sungai," katanya. Beberapa hari setelah itu, suatu malam, ia diganggu kicau burung kedasih. Sekalipun dilempari batu, burung itu berkicau terus. Puluhan tahun kemudian, di belakang rumahnya terdengar kicau yang sama. Menurut kepercayaan, itu pertanda bahwa Slamet punya "utang". Utang itu, menurut Slamet, adalah catatan harian yang hanyut pada zaman revolusi. Barangkali karena novel-novelnya sudah terbit, burung itu tak pernah datang lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus