Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jakarta sudah menjelma menjadi Sex and the City. Cewek-cewek Jakarta yang cantik dan kaya-raya sudah menjelma menjadi sosok Carry Bradshaw dalam serial itu, yang gemar mengenakan sepatu Manolo Blahnik dan baju merek Dior.
Banyak hati warga Jakarta yang tertambat pada pesona mode. Tidak tanggung-tanggung, mereka yang gandrung mode tak segan memuaskan hasratnya mengejar busana berkelas ke sudut-sudut metropolis seperti Roma, Paris, London, New York, sampai Tokyo.
Fina adalah satu di antara mereka yang gandrung mode. Mei lalu, Fina berkunjung ke Melbourne, Australia. Niat awal gadis berusia 20 tahun ini sebenarnya hendak survei tempat kuliah. Tapi, apa boleh buat, gemerlap butik yang memajang koleksi busana mutakhir lebih kuat memantik hasrat perempuan bernama lengkap Lutfiana Koesmartono Kartasumita ini. Tak ayal lagi, butik-butik di Melbourne segera habis ia jelajahi. Semangat Fina makin berkobar ketika mendapati sebagian besar butik itu menawarkan diskon yang cukup lumayan.
Hasilnya, tujuh celana jins merek Seven dan Tsubi ia borong. Harga celana, AU$ 400 atau Rp 2,72 juta per lembar, tidak membikin pening kepala Fina. Dua sepatu, AU$ 200 atau Rp 1,4 juta sepasang, turut melengkapi belanjaannya. Seolah belum cukup. Fina masih berburu kemeja, gaun, tas, dan segala tetek-bengek penampilan. Akibatnya, saat ia tiba di bandara, petugas yang menimbang kopernya meminta biaya tambahan. "Saya baru sadar ternyata koper saya overweight karena penuh dengan pakaian," tuturnya.
Memang bukan sekali ini Fina belanja busana sampai ke luar negeri. Sejak empat tahun silam, ketika ia masih murid SMA, kaki Fina sudah fasih menjejak butik kelas wahid di Milan, Paris, dan London. Waktu itu Fina lebih banyak ditemani keluarga dan seorang kakaknya yang juga doyan belanja. "Dulu uang belanja masih minta papa," tuturnya sambil meminta agar nama sang papa tidak disebut.
Berikutnya, pada 2002, sang ayah, yang berbisnis di pertambangan batu bara, resmi menjadikan Fina sebagai mitra bisnis. Fina pun otomatis punya gaji tetap. Walhasil, hobinya berburu busana keren, dari ujung kaki sampai ujung rambut, sampai ke semua benuaminus Afrikamakin terpuaskan. Sekali belanja, US$ 5.000-10.000 habis ditukar dengan busana dan pelengkapnya.
Begitu giatnya berbelanja, ia sampai ditawari kartu keanggotaan oleh butik Christian Dior yang ada di Ja-karta. "Tentu saja saya tidak melewatkan tawaran ini," ujarnya. Mata Fina berbinar. Dengan menjadi anggota, setiap dua bulan sekali Fina dipasok katalog mutakhir produk keluaran Dior, yang bermarkas di Roma, Italia. Begitu katalog sampai di tangan, tidak jarang Fina segera merencanakan terbang ke Roma menjemput barang yang dia incar tetapi belum tersedia di Jakarta. "Bisa juga titip ke teman atau saudara yang kebetulan ke sana," katanya.
Kartu anggota rumah mode ternama, Fina menambahkan, kini tengah jadi tren baru di Jakarta. Sepertinya, gengsi seseorang terdongkrak jauh begitu ia memegang kartu membership ini. Semua pintu seolah terbuka bagi si pemegang kartu, yang sudah diakui sebagai warga fashion dunia.
Benar, Fina tidak sendirian. Ada selapis orang Indonesia seperti dia yang benar-benar gandrung mode. Lapisan yang terus menebal hari demi hari, terutama setelah kuda lumping krisis ekonomi di negeri ini sedikit jinak.
Denyut lapisan penggemar fanatik mode itu tampak di pesta-pesta kaum jet set di Jakarta. Pada pesta kelas atas inilah para pengunjung saling lirik dan saling menilai penampilan. Pertukaran informasi juga terjadi. "Eh, baju elo beli di mana? Itu parfum buatan mana? Ada yang mau ke Hong Kong buat dititipin tas? Butik mana yang lagi sale?" Pertanyaan-pertanyaan semacam itu berputar di antara gemerlap pesta. "Ini gue beli waktu ke Paris minggu lalu," kata Saskia, 35 tahun, sambil memamerkan blus sutra merah seharga Rp 10 juta rancangan Stella McCartney.
Indikasi makin suburnya lapisan yang gandrung mode juga tampak dari kian banyaknya butik busana internasional di Jakarta. Tiga tahun lalu, Gucci dan Christian Dior membuka butik resmi di Plaza Senayan, Jakarta Selatan. Terakhir, Juni lalu, perancang ternama dari Paris, Lolita Lempicka, membuka butik di Jakarta. Agak lain dari kebiasaan, butik di Jakarta ini dua bulan lebih dulu dibanding cabang serupa yang akan dibuka di Singapura. "Mengapa tidak?" kata George A. Huels, Direktur Pelaksana ClubConcept, pemegang lisensi Lolita Lempicka untuk kawasan Asia-Pasifik.
Jakarta memang selalu menjadi pilihan kedua setelah Singapura atau Hong Kong. Kini, Lolita membalik kebiasaan itu dengan membuka cabang di Jakarta sebelum Singapura. Salah satu sebabnya, "Masyarakat Indonesia sudah siap, sudah matang untuk menerima mode internasional," kata Hoedani Hadijono, Direktur Marketing & Communication ClubConcept.
Yulfi Herman, pemilik Socialite Boutique and Lounge, di Kebayoran Baru, Jakarta, juga membenarkan adanya lapisan penggemar mode yang tumbuh kian subur di negeri ini. "Terutama selama tiga tahun terakhir," tuturnya. Hanya, tidak semua dari mereka memiliki kesempatan jalan-jalan ke luar negeri sekerap yang dilakukan Fina. Pada titik inilah butik-butik seperti Socialite, De Trunk, Lcliu, dan Jade datang membantu.
Pelanggan Socialite, menurut Yulfi, kebanyakan perempuan berusia 30-40 tahun. Mereka bukan hanya pesohor yang memang dituntut tampil prima, tetapi juga para ibu rumah tangga biasa. Para pelanggan ini cukup memesan produk fashion yang sedang jadi tren, dan kru Socialite yang akan terbang ke luar negeri untuk membelikan pesanan mereka. Yulfi menjamin, model pemesanan semacam ini tidak akan membuat pelanggan ketinggalan mode. Toh, "Koleksi busana terbaru kan muncul dua bulan sekali," kata Yulfi.
Demi pesanan, kru Socialite bisa delapan kali mondar-mandir Jakarta-Milan-Roma-London dalam setahun. Merek produk yang dibeli terentang dari Pazalo, Dior, Versace, Gucci, Seven, Tsubi, Denim, sampai kutang Victoria Secret yang harganya ratusan sampai ribuan dolar. Alas kaki Manolo Blahnik dan Jimmy Choo, yang dipakai para bintang serial Sex and the City, juga tergolong pesanan yang laris manis. Termasuk dalam daftar panjang pelanggan Socialite adalah penyanyi terkenal Titi D.J.
Ratna, 32 tahun, juga salah satu pelanggan Socialite. Saat masih lajang, konsultan keuangan di Jakarta ini bebas merdeka pergi ke mana dia suka. Kebebasan berkurang ketika Ratna berkeluarga. Waktu luang jadi terbatas, meskipun semangat belanja tak pernah padam. Solusinya? Titip ke butik-butik itu. "Lebih hemat dan tidak ketinggalan," katanya. Biasanya, Ratna membawa guntingan gambar-gambar dari majalah MM, Vogue, dan Cosmopolitan edisi terbaru yang memuat barang-barang yang ia incar. Ada tas tangan yang ditenteng Nicole Kidman, gaun yang dikenakan Jennifer Lopez, atau sepatu bertali yang manis membelit betis Madonna.
Lain Ratna, lain pula Ferry Salim. "Saya enggak puas kalau sekadar pesan," tuturnya. Untung saja, sebagai aktor dan presenter acara Jalan-Jalan yang ditayangkan Metro TV, kesempatan melancong ke luar negeri terbuka luas bagi Ferry. Sudah pasti, di sela kewajiban sebagai pemandu acara Jalan-Jalan, Ferry menuntaskan hasrat berburu busana yang paling mutakhir.
Sebagai aktor, menurut Ferry, tampil menarik adalah tuntutan yang tak bisa ditawar lagi. "Bukan sekadar ikut tren, tetapi bagaimana tampil serasi dan enak dipandang," kata aktor film Ca Bau Kan ini. Itu sebabnya, busana yang dikenakan Ferry tak mutlak produk terbaru. Boleh jadi kemejanya dibeli setahun yang lalu tetapi dipadu dengan celana jins mutakhir.
Ferry juga dikenal lihai dan berani melakukan padu-padan (mix-match) busana. Suatu ketika, misalnya, Ferry menambahkan wig panjang sebagai pelengkap penampilan. Kali lain, dia melengkapi kemeja polos dengan scarf bermotif bunga-bunga menyala. Banyak muncul decak kagum dari kawan-kerabat setiap kali Ferry bereksperimen memadu-padankan busana. "Sering muncul komentar 'sumpe lu keren pake itu'," ujarnya.
Boleh jadi, decak dan komentar kekaguman semacam ini yang membuat kian banyak hati tertambat pada produk mode kelas dunia.
Arif Firmansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo