Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Ketika Tuhan Mulai Menjawab

Kendati masih misterius, doa dan meditasi sebagai elemen penyembuhan mulai mendapat perhatian para ilmuwan kedokteran modern.

1 Desember 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIMMY P., pasien penyakit jantung, terbaring tanpa daya di Rumah Sakit Duke University, Carolina Utara, Amerika Serikat. Sementara itu, ribuan kilometer dari ranjang Jimmy, puluhan pendeta Buddha di Pegunungan Himalaya berdoa tiap hari untuk kesembuhan Jimmy. Begitu pula puluhan sufi muslim di Amerika dan pendeta Kristen Ortodoks di Yerusalem, Palestina, bergabung mendoakan Jimmy dari kejauhan. Sembuhkah Jimmy? Belum ada laporan resmi mengenai hal ini. Tapi, yang pasti, Jimmy adalah bagian dari penelitian ilmiah mengenai doa. Riset yang rampung awal tahun depan ini dipimpin Mitchell Krucoff, ahli penyakit jantung (kardiolog) dari Duke University. ”Jika perkembangannya bagus,” kata Krucoff dalam situs ABCNews.com, ”kami akan merekrut lebih banyak agamawan di seluruh dunia untuk mendoakan pasien-pasien yang kami teliti.” Krucoff juga akan memperlebar skala riset, termasuk dengan melibatkan pasien HIV/AIDS, yang hingga kini obatnya belum ditemukan. Begitulah, penyembuhan melalui doa kini menjadi subyek kajian kedokteran modern, meskipun sebetulnya doa yang mujarab sebagai elemen penyembuh bukanlah fenomena yang baru. Telah berabad-abad umat semua agama, Islam, Kristen, Buddha, Hindu, dan Kong Hu Cu, menerapkan metode doa. Hampir semuanya dibarengi sikap yang taken for granted, sebagai bagian dari keimanan yang tak perlu disertai pertanyaan kritis. Lihatlah di Mekah, Arab Saudi. Tak terhitung lagi kisah penyembuhan ajaib mengalir dari kota yang dimuliakan Allah ini. Diabetes, tekanan darah tinggi, kanker, kudis, lepra, bahkan kelainan jantung bawaan menguap setelah para penderitanya khusyuk membaca surat Al-Fatihah di hadapan Ka’bah, bangunan suci kaum muslim. Luka yang busuk bernanah tiba-tiba mengering seusai disiram air mujarab dari sumur zamzam di dekat Ka’bah. Begitu pula di Lourdes, Prancis. Orang-orang gering seketika sembuh saat berziarah dan berdoa di tempat suci umat Katolik sejagat ini. Tak jarang pula tersiar berita orang yang lumpuh mendadak bisa berjalan. Mukjizat itu membuat masyarakat dunia semakin tertarik dan penasaran mencari rahasia di balik penyembuhan spiritual ini. Hembing Wijayakusuma, ahli akupunktur dan tanaman obat, termasuk yang penasaran. ”Saya terus bertanya-tanya, kenapa pasien-pasien saya mengalami kesembuhan dengan tingkat yang berbeda-beda,” katanya. Sebagian pasien sembuh cepat, sebagian lainnya pulih amat lambat. Lalu, setelah melakukan penelusuran, Hembing mafhum bahwa pasien yang cepat sembuh adalah mereka yang sehari-harinya rajin berdoa. Kesimpulan ini dikemas Hembing dalam satu buku berjudul Penyembuhan Melalui Doa, yang diluncurkan akhir November 2002 di Jakarta. Sayang, buku Hembing tidak terlampau tajam mengulas cara doa mempengaruhi kesehatan tubuh. Hembing, yang didampingi K.H. Mawardi Labay, menjadikan buku ini lebih berupa anjuran dakwah mengenai keutamaan doa bagi kaum muslim. Sudut pandang ilmiah hanya sedikit tampil dalam buku 75 halaman ini. Tapi tak perlu risau membaca buku Hembing yang kurang memuaskan. Ada banyak studi, sedikitnya 191 riset, yang bisa kita pelajari guna mencari jawaban atas khasiat doa. Riset yang paling banyak disoroti adalah penelitian yang dipimpin William Harris, ahli kardiologi dari Mid America Heart Institute, Kansas, Missouri, AS. Pada 1999, Harris mengamati 1.000 pasien penyakit jantung serius yang terbaring di unit perawatan khusus Rumah Sakit Saint Luke, Kansas. Mereka semua mendapatkan pengobatan dengan standar serupa. Hanya, setiap hari selama empat minggu, sebagian pasien khusus didoakan oleh sekelompok relawan beragama Kristen yang percaya akan kekuatan doa. Pasien sengaja tidak diberi tahu adanya bonus doa dari intercessory prayer ini. Hasilnya, seperti dilaporkan dalam Archives of Internal Medicine, Oktober 1999, pasien yang didoakan orang tak dikenal tercatat memiliki kualitas pemulihan yang lebih baik. Komplikasi penyakitnya 10 persen lebih rendah dibandingkan dengan rekan mereka yang tak mendapat bonus doa. Upaya pembuktian khasiat doa juga dilakukan Rogerio Lobo, ahli kandungan dari University of Columbia, New York. Selama dua tahun, 1998-1999, Lobo mengamati 199 perempuan yang sedang mengikuti proses bayi tabung (in vitro fertilization) di sebuah rumah sakit di Seoul, Korea Selatan. Semua responden memiliki faktor kesuburan dan usia yang hampir seragam. Wajah sebagian responden dipotret dan hasil fotonya dikirim kepada kelompok jemaat Kristiani di Kanada, Amerika, dan Australia. Jemaat religius ini diminta khusus mendoakan para responden dari jarak jauh. Tidak ada komunikasi antara pasien dan relawan, yang memang tidak saling kenal. Ternyata tingkat sukses kehamilan in vitro fertilization pada grup yang didoakan tercatat dua kali lipat ketimbang grup yang tak mendapat doa. ”Ini hasil yang cukup mengejutkan. Saya sendiri tak tahu persis apa artinya,” tulis Lobo dalam Journal of Reproductive Medicine, September 2001. Dan bukan hanya Lobo yang kebingungan. Sejauh ini, belum ada penjelasan memuaskan tentang bagaimana kabel-kabel dunia spiritual bertautan. Bagaimana doa orang-orang tak dikenal di satu ujung dunia mempengaruhi pasien yang berada di ujung bumi yang lain. Sementara fenomena intercessory prayer susah dipahami, khasiat doa yang dilakukan pasien—atau doa pendeta ataupun ulama secara langsung—relatif lebih mudah dimengerti. Penelitian Herbert Benson, ilmuwan Harvard Medical School, tentang meditasi bisa menjadi jembatan yang bagus. Selama 30 tahun, Benson mengamati efek meditasi dan doa pada pasien yang berobat di klinik The Mind Body Medical Institute di Boston, AS. Citra jaringan saraf pasien selama bermeditasi direkam dengan mesin MRI atau citra resonansi magnetis. Hasil MRI menunjukkan meditasi mengaktifkan bagian otak yang disebut sistem limbik, yang mengatur kesadaran seseorang akan diri, waktu, dan lingkungannya. Area yang disebut pula sentra emosi ini juga merupakan komando keseimbangan antara fisik dan psikologis. Nah, dengan aktifnya sistem limbik, metabolisme tubuh secara menyeluruh juga bergerak menuju keseimbangan sekaligus mewujudkan kesembuhan. Bagi Benson, ada dua cara untuk menafsirkan fenomena pengaktifan limbik lantaran meditasi dan doa ini. Tafsiran pertama, yang muncul adalah semata reaksi kimiawi di antara sel-sel otak. Rangkaian kalimat teduh, musik yang nyaman, dan suasana tenang menekan produksi hormon adrenalin yang memicu kecemasan. Sebaliknya, produksi hormon epinefrin yang meredakan stres jadi meningkat. Walhasil, aliran darah lancar, tekanan darah menurun, beban jantung berkurang, dan otomatis sistem kekebalan terpacu bekerja. Sehat pun datang. Tafsiran yang kedua, Benson melanjutkan, berlaku bagi Anda yang religius. ”Proses aktivasi sel otak tadi,” katanya, ”datang dari Tuhan yang kita panggil lewat meditasi dan doa.” Dwijo Saputro, psikiater di Rumah Sakit Graha Medika, Jakarta, menggarisbawahi peran doa sebagai penenang kegelisahan batin. ”Rasa marah dan benci jadi hilang. Peluang kesembuhan pun otomatis meningkat,” katanya. Sebagai catatan, faktor benci dan marah (hostility) berkorelasi kuat dengan kematian mendadak pada penderita penyakit jantung . Agar beroleh hasil terbaik, Dwijo menekankan, doa sebaiknya digenapi dengan pengobatan konvensional. Benar, ada saatnya doa sanggup bertarung tunggal melawan penyakit. Hanya, biasanya hal ini berlaku untuk gejala psikosomatik, penyakit yang bersumber dari kegelisahan, seperti alergi, jerawat, gatal-gatal, sesak napas, rematik, eksem, hipertensi, dan mag. Batin tenang, gatal-gatal pun hilang. Lain halnya penyakit yang sumbernya nonpsikis, misalnya demam berdarah, yang tetap harus dibasmi dengan obat antibiotik. Penyakit semacam ini tak bisa hilang hanya dengan doa. Cara kerja doa memang misterius. Dwijo, pendeta dan anggota Badan Pekerja Lengkap Sinode Gereja Bethel Indonesia, sering menyaksikan doa yang langsung dijawab Tuhan dengan pemberian kesembuhan mendadak. Namun kerap pula orang berdoa tanpa kunjung mendapat jawaban. ”Bisa saja malah dia tidak sembuh,” katanya, ”tapi, minimal, berdoa membuat jiwa lebih tenang. Syukur-syukur dia mau bertobat meninggalkan gaya hidup yang menjadi sumber penyakit.” Mardiyah Chamim, Hilmansyah, Wahyu Mulyono (Tempo News Room)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus