Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Kode etik pemasaran mengembalikan bayi kepada ibunya

Who menyetujui kode etik susu formula, yakni mempersempit pemasaran susu buatan. melarang promosi susu buatan, termasuk iklan, hadiah & contoh susu gratis.

30 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH melalui perdebatan yang berkepanjangan (dimulai 1974) akhirnya World Healtb Organization tanggal 21 Mei lalu menerima kode etik mengenai susu formula. Kode etik yang bakal mempersempit pemasaran susu buatan itu diterima melalui pemungutan suara 118 lawan 1 Amerika Serikat satu-satunya negara yang menentang . Kode etik tersebut melarang promosi susu buatan, termasuk iklan, hadiah dan contoh-contoh susu yang diberikan cuma-cuma. Perusahaan susu dilarang mempromosikan produksinya secara langsung kepada wanita hamil ataupun yang telah berkeluarga. Juga memasang poster dan sejenisnya di dalam lingkungan fasilitas pelayanan kesehatan. Memberikan hadiah atau bonus pada tenaga kesehatan yang berhubungan dengan penjualan susu tak dibolehkan. Gambar bayi juga dilarang dipasangkan pada label. Di label harus dicantumkan air susu ibu lebih baik dan susu buatan berbahaya apabila dipakai tak sesuai dengan aturan. Namun kode etik itu tak melarang perusahaan susu buatan memberi penjelasan tentang produksi mereka pada mereka yang bergerak di bidang medis. Yang dilarang adalah promosi langsung pada masyarakat. Negara anggota Organisasi Kesehatan Dunia ini didesak untuk mentrapkan kode etik itu ke dalam peraturan. Dua tahun mendatang WIIO akan meninjau kembali pelak.sanaannya. Amerika Serikat menolak ketetapan tadi dengan dalih itu bertentangan dengan hukum dan undang-undang yang berlaku di sana. Menteri Kesehatan dan Pelayanan Richard S. Schweiker, mengatakan dia sendiri menyokong peningkatan penggunaan air susu ibu tapi khawatir kalau etik itu akan meluas ke hasil produksi lain. "Namun pemerintah Amerika Serikat tidak percaya WHO akan menjadi komisi dagang internasional," katanya. Banyak yang menganggap penolakan AS disebabkan karena mau melindungi kepentingan komersial. Penolakan tadi ternyata menimbulkan reaksi yang cukup hebat di kalangan pejabat AS sendiri. Dua orang pejabat dari Departemen Luar Negeri mengundurkan diri sebagai protes. Kecaman-kecaman pedas datang pula dari para anggota Kongres. Senator Edward Kennedy, yang banyak menaruh perhatian pada masalah kesehatan, menyesali keputusan itu. "Ini adalah salah satu tindakan yang paling memalukan yang pernah diambil di forum internasional," tukasnya. Sebenarnya pada 1979 WHO telah menetapkan ketentuan tentang promosi susu buatan yang pelaksanaannya bersifat sukarela. Ketika itu kaum produsen sepakat untuk mematuhinya. Tetapi ternyata kesepakatan itu, menurut WHO, telah dilanggar sampai 600 kali. Di Muangthai misalnya, produsen susu bayi Snow Brand memasang iklan yang menyebutkan produksinya "hampir sama dengan susu ibu." Dalam berkala Earthscan yang diterbitkan International Insttute for Envirowment and Development disebutkan: sampai tahun 1980 di Indonesia, perawat-perawat yang disewa perusahaan susu Mornaga dan Nestle masih saja mengunjungi para ibu. Sedangkan Mead Johnson menyebarkan contoh susu lewat rumahsakit dan klinik bersalin. Mencret dan Karang Gigi Karena pelanggaran yang berkepanjangan itu, WHO kemudian mengambil sikap yang lebih keras, mengikat para anggotanya dengan kode etik internasional mengenai pemasaran susu buatan untuk bayi. Promosi susu formula yang berlebihan telah mengakibatkan bertambah banyaknya ibu yang meninggalkan kebiasaan menyusui sendiri. Bagi negara-negara terbelakang ini mengakibatkan masalah kesehatan yang cukup gawat. Di sana tidak tersedia air yang cukup bersih untuk mengaduk susu. Karena penduduk masih buta huruf, susu buatan itu kemudian diaduk tidak sesuai dengan aturan pakai. Keadaan ini menurut Dr. Derrick Jelliffe dari University of California, mengakibatkan sekitar 10 juta anak-anak dari Dunia Ketiga menderita berbagai penyakit atau mati. Tiga juta di antaranya mati karena kekurangan gizi. Akibat lain susu formula ini, negara-negara Dunia Ketiga telah mengeluarkan sampai US$ 100 juta/tahun untuk mengimpor susu. Indonesia diperkirakan mengeluarkan sekitar Rp 6 milyar/tahun untuk impor susu. Sedangkan perdagangan susu buatan untuk bayi seluruhnya sekitar Rp 36 milyar/tahun. Sejumlah 60% dari jumlah ini disedot susu buatan Sari Husada, Yogyakarta, yang sebagian sahamnya dimiliki PT Kimia Farma. Yang tak kurang pentingnya: susu buatan tak mempunyai antibodi. Zat yang hanya terdapat pada susu ibu ini punya kemampuan menolak berbagai penyakit. Bayi yang disuguhi susu buatan gampang terserang "sindroma bayi botol", seperti mencret, sakit saluran pernapasan dan kurang gizi. Beberapa negara yang telah menyadari bahaya tadi telah mengambil berbagai langkah untuk menyelamatkan bayi mereka. Di Aljazair, misalnya, susu buatan yang selalu disertai keterangan "hanya susu manusia yang cocok untuk hayi", hanya dipakai dengan resep Dokter. Peru, Jamaica dan Venezuela juga bersikap sama. Sri Lanka tahun lalu telah melarang iklan susu buatan. Colombia dan India memiliki peraturan yang menyangkut pembuatan susu buatan untuk bayi. Di RRC kabarnya susu ibu tetap jadi pilihan utama. Wanita yang bekerja diperkenankan menyusui anak mereka tiga kali sehari. Negara tetangga kita, Papua Nugini ternyata mempunyai kebijaksanaan yang maju. Tahun 1977 negara ini telah memberlakukan apa yang dinamakan "Baby Feed suplies (Control) Act" yang antara lain mengharuskan adanya resep dokter untuk membeli botol susu dan dot bayi. Undang-undang itu dibuat setelah diketahui 69% dari bayi yang meminum susu buatan ternyata berbobot di bawah 80% berat normal. Setelah undang-undang dilaksanakan angka itu turun menjadi 33%. Indonesia sendiri belum pernah mengeluarkan peraturan yang mempersempit ruang gerak susu buatan, kecuali terhadap susu kental manis yang dikenakan peraturan harus mencantumkan keterangan: "Perhatian: Tidak cocok untuk bayi". Peraturan Menteri Kesehatan tahun 1976 ini dikeluarkan untuk mencegah ibu-ibu memberikan susu kental itu kepada anak mereka. Pencampuran yang terlalu encer diduga bisa menyebabkan kebutaan, karena kandungan vitamin A di situ akan tinggal sedikit sekali. Tetapi apakah akan ada peraturan yang mengekang pemasaran susu buatan untuk bayi di sini? Sebuah sumber di Departemen Kesehatan menyebutkan "peraturan yang keras sebagai terjemahan kode etik WHO kelihatannya kurang relevan " Karena, katanya, 80% wanita Indonesia di desa berdasarkan penelitian menyusui anaknya sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus