KONON seorang perwira remaja gagal melaksanakan tugas. Sebabnya:
prasarana yang tersedia tak lengkap. Lewat dua kali penelitian
yang dilakukan pihak Akabri (Akademi Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia), 1978-1979 dan 1980-1981, terungkap: banyak
kasus kegagalan perwira lulusan Akabri sejak 1969. Kecenderungan
menggantungkan diri pada kelengkapan fasilitas itu, misalnya --
dan bukan 'menciptakan sendiri' prasarana atau menempuh keadaan
darurat -- tentu merupakan tanda kelemahan.
Danjen Akabri Letjen Henuhili, pada Rapim (rapat pimpinan)
Akabri 1981 -- awal Mei di Surabaya -- mengakui: "Lulusan Akabri
belum seperti yang diharapkan," katanya. Penelitian pun
sebenarnya dilakukan tiap tahun, dalam usaha pembenahan. Hanya
saja memang belum seintensif penelitian yang hasilnya
diungkapkan di atas.
Kepada TEMPO, Letjen Henuhili, didampingi Kepala Penelitian dan
Pengembangan, Kepala Pendidikan dan Latihan dan Kepala Dinas
Penerangan Markas Komando Akabri, mengungkapkan beberapa
kenyataan, pekan lalu.
Limabelas tahun terakhir ini, misalnya, terjadi
perubahan-perubahan yang mau tak mau melibatkan ABRI juga. Dan
Akabri tentu harus menyesuaikan diri.
Perubahan itu meliputi, antara lain, perbedaan suasana antara
tahun-tahun revolusi dan sesudahnya. Misalnya, angkatan 45
adalah generasi yang dibentuk ketika bangsa Indonesia mempunyai
tujuan pokok bersama yang jelas dan harus dilaksanakan dengan
cepat. "Dulu itu, jika kesatuan harus bergerak, kita tak
berpikir makannya bagaimana," tutur Danjen berusia 53 tahun itu.
"Tapi sekarang tidak bisa. Harus ada rencana matang, pasukan ini
harus bergerak begini, begini. " Dan Akabri haruslah
menghasilkan perwira sesuai dengan tuntutan zaman.
"Kemampuan memberikan alasan, semakin penting." Dan itu masalah
lain. "Tak bisa main 'harus begini'. Ini ada masalah, mari kita
bicarakan, begitu seharusnya," katanya lebih lanjut.
Jadi dua penelitian memang dijuruskan untuk mengetahui, apakah
bekal memang telah diberikan dengan cukup Dan tak
tanggung-tanggung, dua kali penelitian memang melibatkan banyak
pihak -- meski baru meliputi Kowilhan I, II dan III. Satu
Kowilhan lagi, IV (Maluku dan Irian Jaya) belum diteliti.
Pertama dilakukan kepada pihak pengguna perwira senior tempat
para lulusan ditugaskan -- yang berjumlah sekitar 900 orang.
Kedua pihak lulusan sendiri. Dari 7.399 lulusan Akabri
1969-1978, diambil sebagai responden sekitar 2.200. Ditambah
sejumlah dosen. Selain daftar pertanyaan yang harus dijawab para
responden, pun dibentuk satu tim dari Markas Komando Akabri yang
langsung terjun mewawancarai.
Pertanyaan di situ dititikberatkan terutama pada kemampuan
akademi, profesi teknik dan pendidikan jasmani -- untuk para
perwira lulusan. Sedang untuk perwira pengguna ditambah lagi
yang menyangkut sikap mental.
Bagi kelompok kedua, para perwira pengguna, pertanyaan memang
terperinci dan menarik. Misalnya, soal toleransi sosial dalam
kehidupan beragama di kalangan perwira remaja itu. Soal
menghargai orang lain, dan tingkah laku yang bisa menyakiti
sesama. Lalu soal mendahulukan tugas daripada kepentingan diri.
Menyangkut soal keprajuritan, ditanyakan misalnya kewibawaan
mereka yang diamati itu terhadap anak buah. Juga keberanian
menegakkan norma kebenaran. Pun kesanggupan bertahan dari godaan
serta mengatasi rintangan dan penderitaan. Menyangkut soal harga
diri, antara lain: kebanggaan untuk tidak melakukan tindak
tercela.
Sepatu Luar Negeri
Yang berhubungan dengan kepemimpinan kemampuan menilai,
menyimpulkan dan memecahkan masalah. Tentu saja tak ketinggalan
kemampuan keprajuritan sendiri -- baik dalam hal peraturan
maupun ketrampilan.
Hasilnya: banyak hal ternyata dinilai "harus ditingkatkan".
Kemampuan mengambil keputusan dan kreativitas memecahkan
masalah, misalnya, sangat kurang. Mereka, ternyata, cepat putus
asa. Tak hanya itu: kesadaran memelihara kesehatan jasmani dan
penampilan dalam pergaulan (dinas maupun dalam masyarakat)
sebagai perwira ABRI pun, dinilai belum bermutu.
Contoh kecil diceritakan Danjen yang menduduki jabatannya sejak
29 Desember 1980 ini. Katanya, kini banyak perwira remaja yang
lebih suka memakai sepatu mahal bikinan luar negeri -- daripada
sepatu pembagian dari kesatuan Juga soal rambut: banyak yang tak
berpotongan ABRI lagi, crew cut. Dari mana perwira remaja itu
memperoleh uang pembeli sepatu mahal, entahlah.
Di bidang akademis, penilaian perwira pengguna dan perwira
lulusan sendiri ternyata klop. Bahasa Inggris, kemampuan
menulis, dan diskusi, diakui lemah. "Selama sekitar empat tahun
Akabri ternyata tak bisa memberikan kecakapan berbahasa Inggris.
Padahal kita punya laboratorium bahasa," kata Henuhili pula.
Agaknya pasal utamanya memang kesadaran meningkatkan kemampuan
itu -- yang memang kurang. Satu contoh. Di Akabri bagian Laut
pernah pada hari tertentu pelajaran hanya diberikan sampai pukul
12.00. Selebihnya para taruna diberi keleluasaan menambah ilmu
di perpustakaan dan berlatih di laboratorium bahasa. Hari
pertama, perpustakaan dan laboratorium penuh. Selanjutnya makin
berkurang, berkurang, dan akhirnya hanya dua tiga taruna.
Contoh yang jelas lagi: hampir separuh perwira muda yang
mendaftar ke PTIK, gugur dalam tes pengetahuan umum dan menulis
karangan (TEMPO, 21 Maret).
Lebih 30%
Ada yang kemudian perlu dirombak. Yakni kurikulum -- seperti
disebut dalam saran para responden dari lulusan Akabri 10 tahun
itu. Mereka menganggap, di Akabri beberapa kuliah dirasa belum
cukup intensif. Misalnya, latihan memikul tanggungjawab dalam
korps taruna, bisa ditingkatkan. Bimbingan kepemimpinan bisa
lebih dimantapkan, untuk lebih menanamkan kepercayaan diri. Di
bidang akademis, tiga hal yang disebut terdahulu diminta
peningkatannya: bahasa Inggris, menulis laporan dan diskusi.
Tapi Letjen Henuhili menganggap, kemunduran Akabri bukan semata
soal Akabri sendiri. "Kita harus menganggap Akabri ini lembaga
pendidikan yang wajar saja," katanya -- yang bisa dipengaruhi
segala yang terjadi di luarnya. Akabri bukan lembaga yang
"kebal"."Perwira yang kita hasilkan adalah hasil masyarakat
sendiri."
Danjen itu setuju dengan penilaian Rektor UI, Prof. Dr. Mahar
Matdjono-bahwa lulusan SMA kita makin menurun kualitasnya. "Dan
yang masuk Akabri adalah sebagian dari mereka Juga."
Lalu motivasi mereka yang masuk Akabri -- yang ternyata lemah.
"Tapi kalau kita berpegang pada motivasi yang benar, yaitu yang
kira-kira senada dengan pasal 30 UUD 1945, ya tak ada yang
diterima," kata Henuhili sambil tertawa. Pasal tersebut
berbicara tentang hak dan kewajiban warganegara untuk ikut
mempertahankan negara. "Banyak yang masuk Akabri karena
pendidikannya tak membayar."
Lebih dari itu Danjen pun mengakui: tingkah para perwira senior
yang melenceng dari garis Sapta Marga, bisa mempengaruhi baik
para taruna yang masih dalam pendidikan maupun para perwira
remaja yang baru lulus. Misalnya kasus perwira ABRI yang
korupsi. Yang berbuat tak semena-mena. Atau lainnya. "Mereka itu
melihat, dan menilai. Lho, kok perwira ABRI berbuat begitu,"
tutur Henuhili yang kelahiran Magelang ini.
Tapi memang begitu mencemaskankah nilai lulusan Akabri selama
1969-1978 itu? "Tentu tidak," katanya. "Tapi sedikit sekali,
kira-kira 30% lebih, yang dinilai memuakkan."
Toh kenyataan ini menggembirakan: pimpinan akademi tak segan-
segan mengemukakan kekurangan itu -- satu tanda bahwa semangat
menjaga standar tak kendur di Akabri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini