Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Agar kaya, tapi berusaha

Dengan disempurnakannya keppres 14a dengan keppres 18, ada satu jaminan bahwa pelaksanaan proyek betul-betul oleh golongan ekonomi lemah. (eb)

30 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENTERI PU Purnomosidi Hadjisarosa geleng kepala mendapat laporan para Kepala Dinas PU Daerah: Banyak pengusaha golongan ekonomi lemah yang ditunjuk melaksanakan proyek meninggalkan pekerjaannya sebelum selesai. Ini akibat ulah mereka yang hanya mencari untung dari iklim Keppres 14A/1980. Keppres 14A memang bermaksud mengatrol pengusaha golongan ekonomi lemah. Akibatnya meledaklah jumlah pengusaha baru meski nol pengalamannya dalam pemborongan. "Keppres 14A bagi pemborong ekonomi lemah bagaikan ajang walimah (kenduri atau selamatan) --siapa yang datang akan mendapat bagian," kata Kepala DPU Kodya Pekalongan Ir. Toni kepada TEMPO. Inilah kemudian akibat jeleknya "Pekerjaan diserahkan pada orang lain, uangnya tidak dibayarkan," kata Toni. "Bahkan ada yang menyerahkan lagi pada pihak ketiga," tambahnya. Seperti yang diderita Azali, 35 tahun, dari Pekalongan. Ia menerima pelimpahan pekerjaan membangun 4 SD Inpres tahun 1979/1980 di Kabupaten Batang. "Sampai saat ini masih ada Rp 5 juta yang tenggelam di kontraktor yang menang tender," katanya. Meski demikian, ia senang menjadi sub-kontraktor. "Soalnya saya tidak senang keluar masuk kantor, kasak-kusuk, untuk memenangkan tender," katanya. Pengusaha yang bonafid memang tak sedikit yang terpaksa menelan pil pahit akibat ulah pengusaha yang menyalahgunakan Keppres 14A. PT Issa Karya Kontraktor di Medan, misalnya, sebelum keluar Keppres 14 menjadi pemborong utama. Kini mau tak mau hanya puas menjadi sub-kontraktor. "Kami tidak mampu bermain melawan begitu banyak saingan yang kebanyakan punya hubungan dengan orang dalam itu," kata Direktris PT Issa Karya, Darwaty S. Di Medan, sub-kontraktor harus mengeluarkan uang lebih dahulu, 25-30% dari nilai proyek, bagi kontraktor pemenang tender. Perinciannya: 10% untuk keuntungan kontraktor, 4,5% pajak dan sisanya untuk "biaya tak terduga". "Kalau biaya tak terduga sampai 15%, tak tahu kita akan makan apa," kata direktris berusia 27 tahun itu. Sekarang Issa tengah menggarap jalan di Kabupaten Langkat. Siapa kontraktor utamanya? "Tak bisa saya beri tahu. Itu kan etik," ujarnya singkat. Sejak keluar Keppres 14/1979, di Sum-Ut tercatat ada 3.338 kontraktor dan rekanan -- padahal sebelumnya tidak lebih dari 600 buah saja. Dari sekian banyak kontraktor, kurang dari separuh saja mendapat pekerjaan yang bernilai sekitar Rp 120 milyar pada tahun 1980/1981 ini. Tak semua yang memenangni mengangkat tender melimpahkan pekerjaannya pada kontraktor lain. "Saya tidak pernah kasih proyek pada orang lain," kata Arkadius Rasyid, 32 tahun, Direktur PT Nusa Jaya Utama Medan. Sebagai pengusaha lemah, katanya, ia berhasil mendapat lima proyek dari Departemen P & K, Departemen Agama dan PLN bemilai Rp 120 juta. "Kalau masih ada kontraktor yang menyerahkan pekerjaan pada sub-kontraktor, itu mau cari duit sambil goyang kaki," katanya. Yang cukup menderita akibat semacam itu adalah Pelabuhan Poso di Sulawesi Tengah. Untuk menggantikan dermaga kayu lama yang hampir ambruk, tahun anggaran 1979/1980 PT Wahana Bumi Sul-Teng mendapat kepercayaan membuat dermaga baru. Tapi batas waktu (Desember 1980) tidak dipenuhi. Dermaga hanya selesai 37%. "Bagaimana bisa menyelesaikan -- dia tidak punya peralatan," kata Johny Kimbal Syahbandar Poso kepada TEMPO. Ceritanya, PT Wahana Bumi lagi mendapat pekerjaan yang lebih menguntungkan peningkatan Jalan Okes seharga Rp 1,5 milyar. Tender membuat dermaga yang dimenangkannya diserahkan kepada Daniel Dali. Daniel sendiri mengatakan, sejak empat bulan lalu tidak bisa bekerja, karena uang dari kontraktor utama tidak kunjung datang. Karena itu, pembangunan dermaga Poso bernilai sekitar Rp 98 juta itu mandek. Pimpinan Wahana Bumi, Umar Al Idrus menyangkal melimpahkan pekerjaan pada Daniel Dali. "Dali itu hanya pelaksana, bukan sub-kontraktor," kala Umar. Ia berniat mengatasi kemacetan. Berlarut-larutnya kemacetan proyek, yang tidak dikerjakan sendiri pemenang tender, melahirkan Keppres 18, 5 Mei lalu. Pengusaha ekonomi lemah yang menang tender dilarang keras menyerahkan pekerjaannya pada orang lain. Bila ketentuan itu dilanggar, begitu sanksinya, mereka bisa dikeluarkan dari Daftar Rekanan yang Mampu (DRM). "Dengan disempurnakannya Keppres 14A dengan Keppres 18, ada satu jaminan bahwa pelaksanaan proyek betul-betul oleh golongan ekonomi lemah," kata Menteri PPLI Emil Salim selesai melapor pada Presiden Soeharto minggu lalu. "Pengembanan golongan ekonomi lemah bukan berarti membuat mereka kaya tanpa suatu usaha," tambahnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus