MENTERI PU Purnomosidi Hadjisarosa geleng kepala mendapat
laporan para Kepala Dinas PU Daerah: Banyak pengusaha golongan
ekonomi lemah yang ditunjuk melaksanakan proyek meninggalkan
pekerjaannya sebelum selesai. Ini akibat ulah mereka yang hanya
mencari untung dari iklim Keppres 14A/1980.
Keppres 14A memang bermaksud mengatrol pengusaha golongan
ekonomi lemah. Akibatnya meledaklah jumlah pengusaha baru meski
nol pengalamannya dalam pemborongan. "Keppres 14A bagi pemborong
ekonomi lemah bagaikan ajang walimah (kenduri atau selamatan)
--siapa yang datang akan mendapat bagian," kata Kepala DPU Kodya
Pekalongan Ir. Toni kepada TEMPO. Inilah kemudian akibat
jeleknya "Pekerjaan diserahkan pada orang lain, uangnya tidak
dibayarkan," kata Toni. "Bahkan ada yang menyerahkan lagi pada
pihak ketiga," tambahnya.
Seperti yang diderita Azali, 35 tahun, dari Pekalongan. Ia
menerima pelimpahan pekerjaan membangun 4 SD Inpres tahun
1979/1980 di Kabupaten Batang. "Sampai saat ini masih ada Rp 5
juta yang tenggelam di kontraktor yang menang tender," katanya.
Meski demikian, ia senang menjadi sub-kontraktor. "Soalnya saya
tidak senang keluar masuk kantor, kasak-kusuk, untuk memenangkan
tender," katanya.
Pengusaha yang bonafid memang tak sedikit yang terpaksa menelan
pil pahit akibat ulah pengusaha yang menyalahgunakan Keppres
14A. PT Issa Karya Kontraktor di Medan, misalnya, sebelum keluar
Keppres 14 menjadi pemborong utama. Kini mau tak mau hanya puas
menjadi sub-kontraktor. "Kami tidak mampu bermain melawan begitu
banyak saingan yang kebanyakan punya hubungan dengan orang dalam
itu," kata Direktris PT Issa Karya, Darwaty S.
Di Medan, sub-kontraktor harus mengeluarkan uang lebih dahulu,
25-30% dari nilai proyek, bagi kontraktor pemenang tender.
Perinciannya: 10% untuk keuntungan kontraktor, 4,5% pajak dan
sisanya untuk "biaya tak terduga". "Kalau biaya tak terduga
sampai 15%, tak tahu kita akan makan apa," kata direktris
berusia 27 tahun itu. Sekarang Issa tengah menggarap jalan di
Kabupaten Langkat. Siapa kontraktor utamanya? "Tak bisa saya
beri tahu. Itu kan etik," ujarnya singkat.
Sejak keluar Keppres 14/1979, di Sum-Ut tercatat ada 3.338
kontraktor dan rekanan -- padahal sebelumnya tidak lebih dari
600 buah saja. Dari sekian banyak kontraktor, kurang dari
separuh saja mendapat pekerjaan yang bernilai sekitar Rp 120
milyar pada tahun 1980/1981 ini. Tak semua yang memenangni
mengangkat tender melimpahkan pekerjaannya pada kontraktor lain.
"Saya tidak pernah kasih proyek pada orang lain," kata Arkadius
Rasyid, 32 tahun, Direktur PT Nusa Jaya Utama Medan. Sebagai
pengusaha lemah, katanya, ia berhasil mendapat lima proyek dari
Departemen P & K, Departemen Agama dan PLN bemilai Rp 120 juta.
"Kalau masih ada kontraktor yang menyerahkan pekerjaan pada
sub-kontraktor, itu mau cari duit sambil goyang kaki," katanya.
Yang cukup menderita akibat semacam itu adalah Pelabuhan Poso di
Sulawesi Tengah. Untuk menggantikan dermaga kayu lama yang
hampir ambruk, tahun anggaran 1979/1980 PT Wahana Bumi Sul-Teng
mendapat kepercayaan membuat dermaga baru. Tapi batas waktu
(Desember 1980) tidak dipenuhi. Dermaga hanya selesai 37%.
"Bagaimana bisa menyelesaikan -- dia tidak punya peralatan,"
kata Johny Kimbal Syahbandar Poso kepada TEMPO.
Ceritanya, PT Wahana Bumi lagi mendapat pekerjaan yang lebih
menguntungkan peningkatan Jalan Okes seharga Rp 1,5 milyar.
Tender membuat dermaga yang dimenangkannya diserahkan kepada
Daniel Dali. Daniel sendiri mengatakan, sejak empat bulan lalu
tidak bisa bekerja, karena uang dari kontraktor utama tidak
kunjung datang. Karena itu, pembangunan dermaga Poso bernilai
sekitar Rp 98 juta itu mandek.
Pimpinan Wahana Bumi, Umar Al Idrus menyangkal melimpahkan
pekerjaan pada Daniel Dali. "Dali itu hanya pelaksana, bukan
sub-kontraktor," kala Umar. Ia berniat mengatasi kemacetan.
Berlarut-larutnya kemacetan proyek, yang tidak dikerjakan
sendiri pemenang tender, melahirkan Keppres 18, 5 Mei lalu.
Pengusaha ekonomi lemah yang menang tender dilarang keras
menyerahkan pekerjaannya pada orang lain.
Bila ketentuan itu dilanggar, begitu sanksinya, mereka bisa
dikeluarkan dari Daftar Rekanan yang Mampu (DRM). "Dengan
disempurnakannya Keppres 14A dengan Keppres 18, ada satu
jaminan bahwa pelaksanaan proyek betul-betul oleh golongan
ekonomi lemah," kata Menteri PPLI Emil Salim selesai melapor
pada Presiden Soeharto minggu lalu. "Pengembanan golongan
ekonomi lemah bukan berarti membuat mereka kaya tanpa suatu
usaha," tambahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini