Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DERETAN potret buku dengan latar alam terbuka terpajang pada halaman profil akun Instagram @bacaanalya milik Alya Putri. Tiap unggahannya dilengkapi tulisan resensi buku pada bagian caption atau takarir, yang panjangnya bisa memenuhi layar telepon seluler.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak Juli 2020, Alya rutin membagikan koleksi bacaan favoritnya di media sosial. Ada lebih dari 2.000 unggahan di akun tersebut. Namun yang terpampang kebanyakan sampul buku atau penampakan tangan yang memegang buku. Potret dirinya jarang terlihat di akun dengan 73 ribu pengikut tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alya Putri adalah pencinta buku yang aktif membuat konten seputar perbukuan di media sosial atau populer dengan sebutan bookstagram alias selebgram buku. Ini sebutan bagi pencinta buku dan pegiat literasi yang gemar berbagi konten kegiatan membaca serta aktivitas lain yang berhubungan dengan perbukuan di Instagram.
Saat membuat konten, Alya tak asal memotret buku. Ia memikirkan konsep foto, eksekusinya, hingga teks untuk takarir agar pesan yang dia bawa sampai kepada pembaca.
Alya Putri. Dok Pribadi
Setidaknya ada beberapa hal yang Alya siapkan sebelum mengunggah. Hal itu adalah menentukan isi konten, mengatur waktu pengunggahannya, mencari latar tempat, menjadwalkan sesi foto buku, dan memotret dengan berbagai sudut pandang.
Sesekali Alya juga membuat video Reels. “Tapi biasanya pas akhir pekan. Karena video itu, menurut aku, kalau salah take, kan diulang lagi dari awal,” kata perempuan 27 tahun tersebut.
Mulanya Alya hanya iseng membagikan rekomendasi buku yang tidak banyak orang baca, terutama nonfiksi. Tapi, seiring dengan waktu, jumlah pengikutnya bertambah dan akun Alya pun menjadi rujukan bagi pencinta buku. “Enggak kepikiran jadi selebgram bidang literasi,” ujarnya.
Foto buku-buku yang dia unggah didominasi genre nonfiksi. Di antaranya Usus yang Menakjubkan karangan Giulia Enders, Keteraturan Hidup ala Filosofi Islami tulisan Mattori Muhammad, dan Sejarah Nusantara karya Alfred Russell Wallace.
Alya tergerak untuk memperkenalkan buku-buku nonfiksi kepada khalayak luas karena seleranya terhadap genre tersebut. Selain itu, dia mengamati sudah cukup banyak selebgram buku yang membahas buku fiksi.
Alya mengungkapkan, buku nonfiksi selama ini dianggap membosankan, isinya berat, dan tak terlalu menyenangkan. Untuk menarik minat pembaca, tenaga ahli di Pemerintah Provinsi Jakarta ini mengemas konten perbukuan dengan menarik. Misalnya memfoto buku dengan latar tanaman dan tempat-tempat publik serta minim penggunaan properti.
Dalam satu unggahan, Alya menyertakan beberapa bagian halaman yang memuat poin-poin penting. Selain foto yang sederhana dan menarik, takarir menjadi kekuatan kontennya. Alya merangkai kata-kata yang mencakup penjelasan singkat tentang isi buku, mengaitkannya dengan hal-hal yang relevan atau sedang menjadi tren, serta menilai buku tersebut.
Dulu Alya berpikir bahwa mengunggah kegiatan membaca di media sosial termasuk pamer. Tapi, setelah menjadi selebgram buku, ia merasakan berbagai dampaknya. Ia kini, antara lain, tertarik mengikuti acara buku serta mengetahui info tentang toko buku dan akses membaca gratis yang legal. Aktivitasnya juga menambah relasi dengan sesama pegiat literasi, baik di dalam maupun luar negeri.
Selebgram buku yang membuat konten perbukuan seperti Alya Putri kini makin banyak. Selain bermunculan akun baru, jumlah konten seputar perbukuan di dalam negeri meningkat. Di Instagram, tagar #bookstagramindonesia memiliki lebih dari 400 ribu unggahan. Jumlah tersebut naik hampir dua kali lipat dibanding pada 2021 dengan 263 ribu unggahan.
Tagar #bookstagramindonesia di media sosial Instagram. Tempo/Jati Mahatmaji
Selebgram lain yang sudah lama meramaikan konten perbukuan adalah Sintia Astarina. Sintia menerangkan, ketika dia pertama kali membuat akun khusus konten perbukuan pada 2016, bookstagram lebih banyak berasal dari luar negeri. Maka saat itu Sintia pun lebih sering menggunakan bahasa Inggris dalam unggahannya.
Belakangan, Sintia menambahkan, banyak akun bookstagram baru. Salah satu penyebabnya adalah kian banyak orang yang berani mengekspresikan diri. “Berani menunjukkan, ini lho yang gue baca. Mereka juga berani kasih rekomendasi,” kata bookstagram dengan akun @sintiwithbooks tersebut.
Komunitas baca juga makin solid dan orang yang suka membaca makin banyak. Jadi, Sintia mengimbuhkan, para pembaca merasa aman dan nyaman ketika menunjukkan kecintaannya pada buku.
Sebagai kreator konten literasi, Sintia tak hanya rajin membaca buku. Setelah membuat ulasan, ia biasanya mengajak pengikutnya berdiskusi. Harapannya adalah buku tersebut didengungkan lebih luas. “Tak mesti membuat orang langsung tertarik, tapi setidaknya mereka ikut terpapar,” ucap perempuan 30 tahun ini.
Sintia Astarina ketika mengungah kegiatan membaca bukunya di Jakarta, Juni 2022. Dok Pribadi
Sintia tak memfokuskan jenis buku tertentu yang bakal menjadi bahan kontennya. Buku yang dia ulas beragam karena bacaannya selalu berkembang dari waktu ke waktu. “Dulu suka majalah anak-anak dan komik. Makin ke sini mulai suka novel, sastra, terus aku jatuh cinta pada puisi,” tuturnya.
Dia biasa mengemas resensi bukunya dalam bentuk carousel atau foto salindia. Fotonya pun dia buat sederhana, yaitu pose tangan memegang buku dengan latar tumpukan buku. Walau sederhana, Sintia memperhatikan keselarasan warna pada tiap unggahannya. Foto ataupun video yang dia buat memiliki penekanan warna kuning sehingga memberi kesan hangat.
Sintia juga menekankan isi ulasan pada takarir. Pilar kontennya bukan hanya resensi. Sintia cukup sering membuat video berdurasi pendek tentang tempat-tempat perbukuan, seperti perpustakaan, kafe buku, dan toko buku yang belum diketahui orang banyak.
Setiap video yang dia unggah menjangkau lebih dari 10 ribu penonton. Bahkan ada video yang dilihat 1 juta penonton, seperti konten tempat sewa buku dan toko buku bekas di Surabaya. Padahal jumlah pengikutnya hanya sekitar 57 ribu akun.
Sintia tak menyangka kedua video itu bakal ramai. Ia juga senang karena tercipta interaksi di unggahannya lewat ratusan komentar. Ada yang bernostalgia hingga mendoakan sang pemilik usaha.
Konten Reels yang dia unggah sebetulnya hanya berisi gabungan potongan video pendek. Namun Sintia mengemasnya menjadi video yang estetik dengan pemilihan tone kekuningan serta latar musik yang sedang populer. Penjelasan lengkap video tak lupa ia sematkan pada bagian takarir.
Sintia pun membuat konten perbukuan di platform lain. Konsepnya disesuaikan dengan platform tersebut. Di X, misalnya, formatnya menampilkan foto dan teks lalu dirangkai menjadi sebuah utas. Di akhir utas, ia sertakan tautan akun bookstagram-nya.
Adapun di blog, Sintia memuat resensi buku beserta foto yang lebih banyak dan lengkap ketimbang di Instagram. “Nanti bisa embed akun IG (Instagram) ke blog aku. Jadi, kalau ada orang-orang yang main ke blog aku, mereka bisa berkunjung ke IG,” ucapnya. Lantaran mengelola akun media sosialnya sendirian, Sintia kini hanya berfokus membuat konten Instagram.
Dunia bookstagram mempertemukan Sintia dengan banyak orang, dari sesama kreator, penulis, hingga penerbit. Menurut dia, bertemu dengan orang-orang sefrekuensi dapat menambah kebahagiaan.
Selain itu, karena dia rajin membaca buku dan membuat resensinya, kemampuan analisisnya makin terasah. Apalagi bila buku bacaannya nonfiksi, Sintia terkadang ingin mempraktikkan tipnya. “Atau ketika membaca buku puisi ada kata-kata yang aku tidak mengerti, dan aku asosiasikan dengan latar belakang penulis, aku merasa melatih otak aku lebih tajam,” ujarnya.
•••
LAIN platform, lain pula istilahnya. Di TikTok, kreator konten literasi dan pemengaruh di bidang perbukuan dikenal dengan sebutan booktok. Penyajian kontennya juga berbeda dengan bookstagram yang cukup sederhana.
Syarif, kreator konten yang menjadi booktok sejak 2022, mengungkapkan bahwa penyajian konten perbukuan di TikTok cukup kompleks karena harus mengkombinasikan audio dan visual.
Dalam kontennya, Syarif menggunakan pendekatan penyampaian cerita untuk menarik minat audiens. Ia juga mengemas konten dengan menambahkan berbagai unsur kreatif, seperti efek suara, musik kekinian, dan emoji. Boleh dibilang, menyimak video-video resensi buku pemuda 24 tahun itu terasa seperti mendengarkan teman yang sedang bercerita.
Topiknya juga bukan hanya resensi buku. Syarif kerap membuat konten keseharian, tapi masih berkaitan dengan buku bacaannya. Ada pula konten tentang kumpulan buku yang sudah dia baca dalam satu waktu. Kemudian konten reading update yang membahas buku yang sedang dia baca hingga menyaksikan pemutaran film yang diangkat dari novel.
Syarif, pembuat konten buku, di akun Tiktok pribadinya. Dok Pribad
Syarif menuturkan, konten khusus ulasan buku biasanya ia buat menjadi dua-tiga video dalam sebulan. Ia sendiri sibuk bekerja di salah satu instansi pemerintahan di Jakarta. Karena itu, ia menilai tak semua orang punya kecepatan membaca yang sama.
Persiapan membuat video resensi buku juga cukup memakan waktu. Syarif mengatakan butuh satu pekan untuk membuat satu video resensi. Langkah awalnya tentu saja membaca buku.
Kemudian, setelah melahap 30-40 persen isi buku, ia bakal meriset dan menentukan apakah buku tersebut layak dibahas di media sosial atau tidak. “Kalau menarik, aku unggah dan ambil beberapa poin,” tuturnya.
Jenis buku yang dia ulas juga beragam. Syarif mengaku tak ada yang spesifik. Sebab, jenis buku yang ia baca tergantung suasana hati. Walau begitu, ia cukup berhati-hati dalam memilih bacaan yang hendak dia angkat ke media sosial. Salah satu pertimbangannya adalah latar dan rekam jejak penulis buku.
Tak hanya menyajikan video, ada kalanya Syarif mengunggah konten ulasan dengan model foto slide atau salindia. Itu pun tergantung situasi. “Kadang ada beberapa buku yang kutipannya ngena. Untuk itu, saya memilih posting gambar,” ucap Syarif.
Karena dikemas dengan kreatif, konten-konten Syarif pun mampu membangun interaksi dengan audiens. Bahkan, tanpa Syarif nimbrung di kolom komentar, para pengikutnya bisa berbalas tanggapan hingga tercipta diskusi.
Syarif mengungkapkan, ia awalnya tak memiliki intensi khusus menjadi seorang booktok. Pada 2020, saat pertama kali bermain TikTok, pemuda berambut ikal itu hanya membuat video tentang kehidupan pribadinya.
Setahun kemudian, dia pertama kali mengunggah konten tentang kumpulan buku yang sudah ia baca dalam sebulan. “Tiba-tiba naik tuh konten. Engagement-nya oke banget. Nembus 50 ribu penonton saat itu,” ujarnya.
Karena ramai, Syarif lantas membuat beberapa konten perbukuan, dari resensi hingga kegiatan pergi ke bazar buku. Respons penonton cukup positif. Karena itu, sejak 2022, ia mulai serius menggarap akunnya secara profesional sebagai booktok. Bahkan ia sampai mengikuti pelatihan spesialis media sosial agar kontennya lebih terarah.
Seiring dengan meningkatnya jumlah pengikut, para penerbit dan penulis mengajak Syarif berkolaborasi, seperti mengundangnya ke acara-acara buku, menjadi pembicara, ataupun menjadi pembaca pertama. “Karena dikenal, jadi buka banyak peluang,” katanya.
•••
KEHADIRAN para kreator konten literasi membantu Dewi Ananda dalam menentukan bacaannya dan mengenal karya sastra dari penulis asing. Dewi menuturkan, sebagian besar buku bacaannya merupakan “racun” dari ulasan para bookstagram.
Menurut Dewi, ulasan mereka lebih tepercaya ketimbang penerbit. “Karena lebih jujur dan personal mengungkap isi buku,” tutur perempuan 33 tahun ini.
Dari akun bookstagram @destesita, misalnya, Dewi mengenal sastra Cina. Terakhir kali, ia berkenalan dengan karya penulis Cina, Yu Hua, yang berjudul Brothers dari akun tersebut. Lalu, bila ingin membaca buku yang kritis dan luas jangkauannya, ia mencari rekomendasi dari kreator konten literasi @sylvietanaga.
Dewi tergoda membeli buku rekomendasi mereka karena relevan dengan yang sedang dia hadapi. “Jadi match dengan yang aku butuhkan dan inginkan untuk dibaca saat itu,” ujarnya. Alasan lain, faktor ulasan yang baik dari mereka.
Dewi mengungkapkan, resensi yang dibuat para bookstagram punya pengalaman personal yang relevan dengan bacaannya. Jadi ia bisa ikut tersentuh dan tergerak membeli buku.
Adapun Vindry, 31 tahun, menjadikan ulasan seorang booktuber atau kreator konten perbukuan di akun YouTube, @caricanread, sebagai acuan sebelum membeli buku. Banyak buku yang dia lahap karena racun dari kreator konten literasi asal Amerika Serikat itu. Di antaranya The Buried Giant; Never Let Me Go; Klara and The Sun; The Graveyard Book; Anne of Green Gables; Small Things Like These; The Thief Lord; A Wrinkle in Time; dan Kim Jiyoung, Born 1982.
Selain merasa cara mengulasnya menyenangkan, Vindry mengaku punya selera buku yang sama dengan pengulas tersebut, yaitu novel fantasi. Bahkan, ketika booktuber itu juga membuka akun bookstagram, Vindry merasa cocok dengan salah satu unggahannya yang berisi daftar buku favorit. “Jadi, ketika dia membuat resensi buku lagi, aku teracuni untuk coba baca juga,” ucapnya.
Bukan hanya pembaca, para penulis merasakan manfaat atas kehadiran para kreator konten literasi di media sosial tersebut. Penulis Leila S. Chudori mengaku merasa terbantu lantaran angka penjualan beberapa karyanya melejit. Salah satunya novel Laut Bercerita yang sudah dicetak ulang 78 kali.
Leila mengatakan sambutan pembaca terhadap Laut Bercerita cukup istimewa dibanding karya dia sebelumnya. Saat novel tersebut terbit pertama kali pada Desember 2017, pembacanya lebih banyak dari generasi baby boomer dan X. Sebab, tokoh utama di novel itu, yakni Laut dan Anjani, merupakan generasi X. “Jadi pembacanya waktu itu pembaca yang sudah sadar sejarah dan sudah paham what's going on, serta sudah sangat mengerti isinya,” kata Leila.
Pada 2019-2020, Laut Bercerita mulai menjangkau generasi milenial. Pembahasan tentang novel itu juga mulai sering dijumpai di media sosial. Seiring dengan waktu, Leila mulai merasakan novelnya itu sering dicetak ulang. Bahkan kecepatannya melebihi novel dia yang lain, Pulang, yang sudah 12 tahun tapi baru dicetak ulang 30 kali.
Memasuki masa pandemi Covid-19, para penerbit mulai membatasi cetak ulang buku. Tapi kondisi sebaliknya terjadi pada Laut Bercerita. Leila mengungkapkan, novel karyanya itu boleh dibilang dicetak ulang hampir setiap dua pekan. “Saya dan penerbit sama-sama bingung. Karena hal itu tidak pernah terjadi sebelumnya,” tuturnya.
Selama 2021-2023, novel yang mengambil latar cerita era Orde Baru itu heboh di berbagai platform media sosial, terutama dibahas oleh kalangan generasi Z. Salah satu komunitas pencinta buku yang aktif membahas Laut Bercerita adalah @literarybase di X. “Hampir tiap hari ada saja yang membuat utas tentang Laut Bercerita. Bisa puluhan atau bahkan ratusan orang membicarakannya,” ujar Leila.
Meski merasakan manfaat kehadiran para kreator konten perbukuan, Leila menilai kehadiran mereka di satu sisi mengambil alih posisi kritikus buku. Zaman dulu, pada 1980-an, resensi yang kritis biasanya dibuat oleh para akademikus. Tapi kini peran mereka tergantikan oleh pembaca yang merasa punya otoritas sendiri.
Generasi Z, Leila menjelaskan, cenderung mendengarkan teman ketimbang para kritikus buku. “Jadi tuh rekomendasi dari teman-teman seusia, atau bahkan bukan punya teman, tapi netizen.”
A'yat Khalili merasakan hal serupa. Sebagai penulis, ia menilai keberadaan bookstagram membantu buku-bukunya sampai kepada publik, baik lewat ulasan maupun cara menarik lain. Misalnya memajang sampul dengan potret yang apik dan mendeklamasikan sebagian tulisan di buku dengan artikulasi yang berkesan bagi pembaca.
A’yat Khalili, Januari 2023. TEMPO/M Taufan Rengganis
A'yat mengungkapkan, teknik seperti itu mampu bersaing dalam sirkulasi media yang setiap detik berganti dan bisa menyentuh ruang-ruang pribadi. Kreator konten literasi bisa menjadi pihak yang menghadirkan persuasi, reklame, dan advertensi yang memperluas jangkauan.
“Apalagi dimodifikasi dengan videografi naratif yang dibumbui musik dan kata-kata motivatif,” tutur penulis buku Jika Ada Lain, Selain Aku dan Ketika Perempuan Meninggalkan Laki-Laki tersebut.
A'yat menilai, selebgram buku bisa menjadi pendorong masyarakat untuk menyukai buku dan mengenal berbagai macam buku serta memilihkan buku yang sesuai dengan keinginan pembaca.
Selain itu, mereka bisa menjadi medium promosi yang efektif dalam memancing motivasi dan semangat membaca. Dengan demikian, ia merasa keberadaan mereka perlu dikembangkan dan diperluas agar menumbuhkan cara pandang kritis bagi masyarakat.
Walau begitu, A'yat memandang para selebgram buku di media sosial harus memiliki keluasan referensi tentang buku-buku berkualitas dan layak dibaca publik yang membutuhkan bacaan yang tepat.
Ia mengibaratkan mereka sebagai pemegang kemudi dan kendali yang bisa menentukan arah pembaca. Maka jangan sampai mereka menghadirkan rekomendasi dengan informasi yang minim dan kerdil.
“Para bookstagram harus bisa mengantarkan pembaca dengan pembacaan demi pembacaan yang kritis, recommended dan solutif, tidak diskriminatif dan eksploitatif,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo