Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SKANDAL keuangan yang memicu krisis ekonomi mendorong banyak ahli ekonomi menganalisis dan melihat kembali praktik kapitalisme yang menguasai dunia kini. Salah satunya, tentu, Joseph E. Stiglitz, profesor di Columbia University, Amerika Serikat, yang pernah menjadi penasihat Bank Dunia. Sebagai ekonom Keynesian, Stiglitz keras terhadap kapitalisme dan liberalisme yang percaya peran pemerintah tak diperlukan dalam mekanisme pasar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti buku-bukunya terdahulu yang mengecam sistem kapitalisme dan liberalisme, dalam buku barunya ini, The Road to Freedom, Stiglitz menyodorkan jalan baru keluar dari kubangan sistem ekonomi dan politik itu. Ia menyebutnya “kapitalisme progresif”. Untuk konteks Eropa, Stiglitz menamai jalan baru yang ia tawarkan “kapitalisme sosial-demokrat”. Dengan kata lain, kapitalisme ala Stiglitz bukan skema baru, bahkan mungkin terlambat karena krisis iklim akibat kapitalisme sedang terjadi sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kapitalisme progresif juga menuntut syarat. Pada dasarnya, Stiglitz percaya bahwa kebebasan adalah fondasi utama dalam menopang sistem politik dan ekonomi yang adil. Kapitalisme “murni” yang, misalnya, dianjurkan Friedrich Hayek dan Milton Friedman menciptakan sistem ekonomi dan politik yang tidak adil. Bagi Stiglitz, kapitalisme ala Hayek dan Friedman telah menciptakan generasi Gordon Gekko, tokoh film Wall Street, yang percaya “serakah itu baik”.
Di situ memang pokok soalnya. Ketika peran negara surut, kita bertarung dalam persaingan bebas berebut kue ekonomi. Kebebasan itu makin menjadi ketika “pemerintah tidur” sehingga persaingan menjadi tak adil: mereka yang memiliki sumber daya akan menekan mereka yang lebih tak punya sumber daya. Maka yang kaya akan makin kaya, sementara yang miskin makin merana dalam kefakirannya.
Joseph E. Stiglitz. business.columbia.edu
Jalan baru yang ditawarkan Stiglitz itu menjadi jalan tengah dua ideologi ekonomi yang berseberangan: sosialisme yang merayakan peran negara dan kapitalisme yang menentangnya. Kapitalisme progresif ala Stiglitz adalah menyeimbangkan peran negara dan pasar agar mereka yang lebih lemah bisa berdaya dengan bantuan tangan kekuasaan. Masalahnya, adakah kapitalisme yang progresif?
Tawaran Stiglitz itu berangkat dari prinsip tak ada kebebasan yang sempurna. Ketika seseorang mendapat kebebasan, pasti ada pihak lain yang terbatasi kebebasannya. Ia meminjam tamsil Isaiah Berlin, filsuf University of Oxford, Inggris, yang mengatakan kebebasan pada serigala memicu kematian domba. Karena itu, peran pemerintah melalui regulasi dalam pelbagai aspek menjadi afirmasi kepada domba agar kebebasannya terlindungi dari kebebasan serigala yang lebih kuat.
Konsep ini tidak baru. Paul Collier, dalam The Future of Capitalism (2018), juga menganjurkan perbaikan kapitalisme melalui tanggung jawab resiprokal antara pemerintah dan warga negara, antara perusahaan dan karyawan, hingga respek timbal balik antarindividu. Dengan tanggung jawab timbal balik ini, keserakahan mereka yang lebih kuat bisa dicegah.
Pemerintah Indonesia sudah mempraktikkan kapitalisme progresif ala Stiglitz. Kita punya badan usaha milik negara yang menjalankan tanggung jawab layanan publik. BUMN bertugas melayani publik dengan merambah bisnis yang tak bisa dijangkau oleh swasta karena tak ekonomis. BUMN maskapai penerbangan, misalnya, melayani rute jarang penumpang untuk memberikan layanan transportasi kepada mereka yang tinggal di pelosok.
Masalahnya, konsep ini berantakan ketika diterapkan di Indonesia. BUMN menjadi “sapi perah” kekuasaan untuk membiayai aktivitas politik yang mahal. Korupsi membuat “kapitalisme progresif” tidak berjalan seperti yang dibayangkan Stiglitz.
Maka syarat “kapitalisme progresif” ala Stiglitz menuntut syarat lain yang lebih fundamental, yakni demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik. Sementara kapitalisme dalam liberalisme melahirkan kebebasan tak terbatas sehingga menjadi arena keserakahan, kapitalisme progresif tetap membuka keserakahan karena yang publik di sana menjadi bancakan para pembuat kebijakan.
Stiglitz tak membahas Indonesia secara khusus. Jika ia melihat skema korupsi di Indonesia yang kian canggih, mungkin ia akan urung menganjurkan jalan alternatif ini. Atau ia perlu membuat buku baru yang berangkat dari studi kasus Indonesia. Di sini, demokrasi melahirkan oligarki, klientelisme, dan patronase yang makin memupuk keserakahan. Kebebasan dalam bisnis bersekongkol dengan kekuasaan absolut melalui regulasi yang mengabaikan pelayanan publik.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
The Road to Freedom: Economics and the Good Society; Penulis: Joseph E. Stiglitz; Tahun Terbit: 2024; Penerbit: W.W. Norton & Company; Tebal: 356 halaman