Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Kuda beling, jaran air aki

Kehidupan pemain jaran kepang umumnya susah, tapi punya kepintaran makan padi, mengunyah beling, minum air aki, dan sebagainya, ada yang bermain keluar negeri. (sd)

4 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAU kemenyan menyengat hidung. Suara gendang dan gong terdengar bertalu-talu, ditingkah tetabuhan lainnya--di sebuah arena yang dikelilingi puluhan orang. Di tengah-tengah arena itu seorang lelaki berdiri kaku dengan kedua kakinya mengangkang. Mengenakan pakaian warna-warni, dan berkacamata hitam, ia "mengendarai" kuda kepang --kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman bambu. Napasnya mendengus-dengus. Seorang lelaki lain berdiri garang dengan sebatang cambuk di ungan kanan. Matanya hujam, mulutnya berkomat-kamit. Berkali-kali dilecutnya kaki pemain kuda lumping itu. Dan tiba-tiba sang kuda melompat-lompat ganas, lalu berlarian mengelilingi arena, sementara pawangnya menglkuti dan sesekali mencambuk dengan keras. Dengan satu isyarat, kuda jalang itu pun : berhenti. Pada saat itulah pemainnya mengunyah padi, beling dan minum air comberan .... Sejak muda Partosugino, 19 tahun, sudah suka bermain jaran kepang atau jaran dor alias kuda kepang atau kuda lumping. Ayahnya, Trimorejo, dikenal sebagai salah seorang tokoh reog di Ponorogo, Jawa Timur. "Saya memang senang melakukan hal-hal aneh dan berbahaya yang jarang dilakukan orang lain," kata Parto. Kini ia memimpin grup reog Sederbana di Sala, beranggotakan delapan orang --termasuk istrinya sendiri.dan Sumini, anak gadisnya. Menurut Parto, adegan makan pecahan kaca itu bukan permainan sulap yang didukung gerak-gerik tipu. "Benar-benar dikunyah, ditelan, masuk perut. Yang dikunyah juga benar-benar beling,! katanya bersungguh-sungguh. Sejak muda, begitu ceritanya, ia sudah dilatih ayahnya bersemadi terutama pada malam Jumat Kliwon. Setelah mantap betul, lantas berpuasa Senin-Kamis, tidur di makam-makam atau di pembuangan sampah dan mempelajari-mantra-mantra. Pada taraf inilah Parto berlatih makan beling. "Mula-mula dimakan dengan hati-hati, agar mulut, lidah dan gusi tidak tergores. Pada hari-hari pertama mulut berdarah, tapi selanjutnya jadi biasa," katanya. Parto mengaku tidak pernah sakit karena menelan beling. "Sebab saya mengunyahnya sampai lembut betul," sahutnya. Tapi teruuma berkat latihan yang ia lakukan sejak muda dan mantra-mantra. Grup reog Sederhana sering berkeliling di beberapa kota di Jawa Tengah. Selama seminggu mereka menerima antara Rp 20.000 sampai Rp 40.000, yang dikumpulkan dari penonton-penonton yang mengelilingi arena pertunjukan. Sekarang mereka lebih senang bermain di Sala saja, misalnya, menghibur turis-turis asing di hotel-hotel. Sekali main, selama dua jam, imbalannya Rp 50.000. Musim panen grup ini setahun sekali adalah di arena Maleman Sriwedari, pasar malam yang berlangsung selama bulan puasa. Dulu bermain sebulan penuh di pasar malam itu mereka mendapat imbalan Rp 20.000 semalam. Tahun lalu mereka hanya main dua kali, sebab panitia ingin memberi kesempatan kepada grup kesenian yang lain. Di hari-hari sepi, Partosugino yang bertubuh kurus tapi tampak berotot kuat ini pada siang hari mengisi waktunya dengan menarik becak. Dan di malam hari dengan anak dan istrinya, ia ngamen dari warung ke warung dengan iringan gitar. Hasilnya bisa sampai Rp 5.000 semalam. Sumini, anak gadisnya, selain bisa nembang lagu-lagu Jawa mengikuti petikan sitar ayahnya, juga sudah mahir bermain kuda kepang. Ia juga pernah dicambuk ayahnya berkali-kali--di arena pertunjukan. Parto sendiri yang memiliki kepandaian lain, seperti bermain silat, menabuh gendang dan memakan heling, juga bisa mengupas buah kelapa hanya dengan gigi. Tapi suatu hari ia mengalarni peristiwa pahit. Selama berjamjam kelapa yang dikupasnya tak kunjung selesai. Dan mulutnya terasa sakit ketika mengunyah beling. "Rupanya ada orang yang mengganggu permainan saya dengan ilmu gaib," tuturnya. Parto lanus memusatkan pikirannya, membaca mantra, dan tak lama kemudian lancarlah pertunjukannya. Meski begitu ia tidak mau balik menyerang. "Biarlah Gusti Allah yang menghukum. Saya kan sekedar cari makan," katanya dengan tenang. Tajin, 53 tahun, pemain kuda kepang dari Yogyakarta, sehari-hari juga menarik becak. Ia tidak mengandalkan nafkahnya hanya dari kesenian rakyat yang juga disebut jatilan itu. "Sekali main paling banter mendapat Rp 1.500. Itu pun belum tentu sebulan sekali main," katanya. Sejak 1968 ia bergabung dengan grup Krido Manunggal yang dibentuk pada 1924. Sayang grup ini tidak punya pawang sendiri, sehingga bila bermain harus meminjam pawang dari grup lain. Padahal pawang amat penting: dialah yang menjaga keselamatan pemain, mengarahkan pertunjukan, dan melawan gangguan ilmu hitam dari luar yang bisa mengacaukan pertunjukan. "Kami memang lebih mementingkan unsur kesenian daripada pertunjukan lain yang seram-seram," kata Tajin. Meski begitu, kuda-kuda lumping pada grup ini selalu disimpan di tempat-tempat khusus, lengkap dengan sesajiannya. "Lagi pula buat apa bermain dengan adegan yang aneh-aneh kalau main yang wajar saja tetap menarik banyak penonton?" tambahnya. Para pemain kuda lumping selalu mengenakan kacamata hitam. Menurut Partosugino dari Sala, "itu kan hanya supaya seram saja." Tapi bagi Tajin, penutup mata itu ternyau mampu menambah semangatnya. "Dengan begitu saya kan bisa melirik cewek-cewek yang nonton," ujarnya sambil tertawa. Bagi pemain lain, kacamata sekedar untuk berlindung dari debu. Krido Manunggal, sebuah grup jatilan di Desa Tingal, Borobudur, Jawa Tengah, juga hanya menonjolkan tari kuda lumping sebagai kesenian, tidak disertai hal-hal aneh. Bahkan para pemainnya tidak mengenakan sepatu atau kacamata. Minggu lalu grup ini bermain dalam sebuah upacara pemindahan pasar Borobudur. Menurut Lukmadi, 40 tahun, salah seoang pemainnya, di desanya tidak ada pemain kuda lumping makan beling. "Saya dan teman-teman lain juga belum pernah, misalnya, bermain lantas kesurupan. Latihannya juga tidak harus bertapa atau berpuasa," katanya. Ia juga menganggap kesenian itu sekedar "pengabdian sosial". Para seniman rakyat ini memang benar-benar rakyat kecil. Begitu pula Sudiwiyono, 45 tahun, pawang kuda lumping grup Oglek Taruban dari Kulon Progo, Yogyakarta. Ia buruh tani. Di musim kemarau ia menjadi tukang kayu mengerjakan perbaikan rumah. Rumahnya kecil, berdinding gedek, berlantai tanah. "Main kuda kepang memang hanya sambilan saja, tidak bisa untuk membiayai hidup," katanya. Grup ini sering ditanggap oleh panitia-panitia hari besar atau orang-orang yang punya hajat, juga instansi-instansi pemerintah setempat. Sekali main mereka mendapat imbalan Rp 70.000 dibagi rata 35 orang anggotanya. Sudiwiyono sendiri, pimpinannya, mendapat Rp 3.000 sampai Rp 5.000. Pernah keliling Jawa Tengah, Oglek Taruban beberapa kali main dalam festival kesenian rakyat di Yogyakarta, bahkan juga main di TIM, Jakarta, pada 1979. Seperti pawang lainnya, sebelumnya Sudi juga nyepi alias bertapa, berpuasa dan sebagainya. "Seorang pawang harus mampu membantu kekuatan batin para pemain, misalnya dengan mantra," katanya. Teruuma pada adegan-adegan tertentu bila pemain benar-benar kesurupan. "Kalau pemain sampai terluka karena makan beling, misalnya, cukup saya jilat saja. Luka bisa kering dan sembuh seketika," katanya mantap. Rumah Hadisiswanto, 25 tahun, penari kuda lumping dari Banjarsari, di pinggir Metro, Lampung Tengah, juga berdinding gedek, beralas tanah, beratap daun enau. Bahkan hampir rubuh. Sejak masih duduk di bangku SD ia sudah bermain jatilan. Tak sempat menamatkan SMP, Hadi harus membantu orang tuanya membiayai sekolah kelima adiknya. Sekali main, grup kuda kepang Budaa Putra, terdiri dari 15 orang, mendapat Rp 20.000, "hanya cukup untuk beli sabun saja," katanya. Kadang-kadang Hadi juga diundang mengajar grup-grup jatilan yang lain, dengan bayaran Rp 150.000 sebulan. Tapi orang tuanya masih punya sawah seluas tigaperempat hektar. Bila pasaran sepi, Hadi membantu mengerjakan sawah. Di bulan Suro, bulan purnama menurut kalender Jawa, grup ini libur. Meskipun Budaya Putra juga menampilkan adegan-adegan kesurupan, para pemainnya tidak mengenakan kacamata hitam. "Itu sudah kuno. Dan bagi saya kacamata itu malah bisa membahayakan, misalnya, kalau terjadi keributan di antara penonton. Kalau kacamatanya pecah kan membahayakan mata," katanya. "Karena itu para pemain Budaya Putra saya larang memakai kacamata," tambahnya. Menurut Hadi, membakar kemenyan atau adegan-adegan keras itu hanya sebagai pemantes saja, "sebagai bumbu agar penonton datang lebih banyak lagi." Hadi mengaku pernah menjadi gemblak -- semacam 'pacar" bagi pawang alias gambuh yang juga disebut warok. Konon hubungan antara kedua insan sejenis itu, sesama lelaki, bisa meningkat seperti antara suami-istri. Sang warok pun konon bisa jatuh cemburu bila si gemblak, yang biasanya bertampang cakap, berjalan bersama lelaki lain. Tapi menurut Tukio, 63 tahun, gambuh di grup Budaya Putra, hubungan intim itu "hanya untuk mempererat persaudaraan saja." MENGAPA warok bisa "jatuh cinta" pada pemuda tampan, yang kemudian dijadikan gemblak, ada ceritaya. Dua orang saudara sekandung, masing-masing Patih Tumapel dan Patih Madiun, memperebutkan seorang putri Kerajaan Kediri. Sama-sama ampuh, tidak ada yang menang tidak ada yang kalah, meskipun masing-masing sudah luka parah, bahkan alat vital mereka terputus. Akhirnya ayah mereka campurtangan melerai. Konon karena alat vitalnya putus itulah warok yang sakti itu lebih menyukai lelaki daripada perempuan. Itu cerita Supapan, 50 tahun, pawang grup reog Suko Budidoyol Surabaya. Setelah nglakoni (bertapa) sebagaimana lazimnya calon pawang, Supapan mampu mengangkat grupnya lebih populer. Bukan hanya adegan makan beling atau padi, tapi juga minum air aki. Masih ditmbah dengan reog dan akrobat: orang digantung tidak mati, orang digilas mobil atau sepeda motor di atas papan berduri paku tidak hancur. Pendeknya seru. Grup ini pernah menghibur para karyawan RS Karangmenjangan, Surabaya. Setelah adegan makan beling, seorang dokter yang agaknya penasaran memeriksa para pemain. "Ternyata dokter sendiri kagum, karena mereka sehat-sehat saja," ujar Supapan yang hanya berpendidikan SD kelas 11. Suko Budidoyo yang sejak 1971 diubah namanya menjadi Beringin Shakti (karena dibina oleh DPP Golkar) juga sering mengisi acara-acara resmi seperti ketika menyambut kedatangan Presiden Pakistan Zia-ul Haq di Surabaya belum lama ini. Sering pula menghibur turis, Beringin Shakti yang- beranggota 30 orang, me'masane tarif Rp 100.000 untuk dalam kota dan Rp.150.000 untuk luar kota. Grup ini agaknya memang laris. "Kami sudah keliling Indonesia, juga serin main di Taman Mini. Bahkan pada 1977 main di Prancis," tutur Supapan bangga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus