BAU kemenyan menyengat hidung. Suara gendang dan gong terdengar
bertalu-talu, ditingkah tetabuhan lainnya--di sebuah arena yang
dikelilingi puluhan orang. Di tengah-tengah arena itu seorang
lelaki berdiri kaku dengan kedua kakinya mengangkang. Mengenakan
pakaian warna-warni, dan berkacamata hitam, ia "mengendarai"
kuda kepang --kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman bambu.
Napasnya mendengus-dengus.
Seorang lelaki lain berdiri garang dengan sebatang cambuk di
ungan kanan. Matanya hujam, mulutnya berkomat-kamit.
Berkali-kali dilecutnya kaki pemain kuda lumping itu. Dan
tiba-tiba sang kuda melompat-lompat ganas, lalu berlarian
mengelilingi arena, sementara pawangnya menglkuti dan sesekali
mencambuk dengan keras. Dengan satu isyarat, kuda jalang itu pun
: berhenti. Pada saat itulah pemainnya mengunyah padi, beling
dan minum air comberan ....
Sejak muda Partosugino, 19 tahun, sudah suka bermain jaran
kepang atau jaran dor alias kuda kepang atau kuda lumping.
Ayahnya, Trimorejo, dikenal sebagai salah seorang tokoh reog di
Ponorogo, Jawa Timur. "Saya memang senang melakukan hal-hal aneh
dan berbahaya yang jarang dilakukan orang lain," kata Parto.
Kini ia memimpin grup reog Sederbana di Sala, beranggotakan
delapan orang --termasuk istrinya sendiri.dan Sumini, anak
gadisnya.
Menurut Parto, adegan makan pecahan kaca itu bukan permainan
sulap yang didukung gerak-gerik tipu. "Benar-benar dikunyah,
ditelan, masuk perut. Yang dikunyah juga benar-benar beling,!
katanya bersungguh-sungguh. Sejak muda, begitu ceritanya, ia
sudah dilatih ayahnya bersemadi terutama pada malam Jumat
Kliwon. Setelah mantap betul, lantas berpuasa Senin-Kamis, tidur
di makam-makam atau di pembuangan sampah dan
mempelajari-mantra-mantra.
Pada taraf inilah Parto berlatih makan beling. "Mula-mula
dimakan dengan hati-hati, agar mulut, lidah dan gusi tidak
tergores. Pada hari-hari pertama mulut berdarah, tapi
selanjutnya jadi biasa," katanya. Parto mengaku tidak pernah
sakit karena menelan beling. "Sebab saya mengunyahnya sampai
lembut betul," sahutnya. Tapi teruuma berkat latihan yang ia
lakukan sejak muda dan mantra-mantra.
Grup reog Sederhana sering berkeliling di beberapa kota di Jawa
Tengah. Selama seminggu mereka menerima antara Rp 20.000 sampai
Rp 40.000, yang dikumpulkan dari penonton-penonton yang
mengelilingi arena pertunjukan.
Sekarang mereka lebih senang bermain di Sala saja, misalnya,
menghibur turis-turis asing di hotel-hotel. Sekali main, selama
dua jam, imbalannya Rp 50.000. Musim panen grup ini setahun
sekali adalah di arena Maleman Sriwedari, pasar malam yang
berlangsung selama bulan puasa.
Dulu bermain sebulan penuh di pasar malam itu mereka mendapat
imbalan Rp 20.000 semalam. Tahun lalu mereka hanya main dua
kali, sebab panitia ingin memberi kesempatan kepada grup
kesenian yang lain. Di hari-hari sepi, Partosugino yang
bertubuh kurus tapi tampak berotot kuat ini pada siang hari
mengisi waktunya dengan menarik becak. Dan di malam hari dengan
anak dan istrinya, ia ngamen dari warung ke warung dengan
iringan gitar. Hasilnya bisa sampai Rp 5.000 semalam.
Sumini, anak gadisnya, selain bisa nembang lagu-lagu Jawa
mengikuti petikan sitar ayahnya, juga sudah mahir bermain kuda
kepang. Ia juga pernah dicambuk ayahnya berkali-kali--di arena
pertunjukan. Parto sendiri yang memiliki kepandaian lain,
seperti bermain silat, menabuh gendang dan memakan heling, juga
bisa mengupas buah kelapa hanya dengan gigi.
Tapi suatu hari ia mengalarni peristiwa pahit. Selama berjamjam
kelapa yang dikupasnya tak kunjung selesai. Dan mulutnya terasa
sakit ketika mengunyah beling. "Rupanya ada orang yang
mengganggu permainan saya dengan ilmu gaib," tuturnya. Parto
lanus memusatkan pikirannya, membaca mantra, dan tak lama
kemudian lancarlah pertunjukannya. Meski begitu ia tidak mau
balik menyerang. "Biarlah Gusti Allah yang menghukum. Saya kan
sekedar cari makan," katanya dengan tenang.
Tajin, 53 tahun, pemain kuda kepang dari Yogyakarta, sehari-hari
juga menarik becak. Ia tidak mengandalkan nafkahnya hanya dari
kesenian rakyat yang juga disebut jatilan itu. "Sekali main
paling banter mendapat Rp 1.500. Itu pun belum tentu sebulan
sekali main," katanya. Sejak 1968 ia bergabung dengan grup Krido
Manunggal yang dibentuk pada 1924. Sayang grup ini tidak punya
pawang sendiri, sehingga bila bermain harus meminjam pawang dari
grup lain. Padahal pawang amat penting: dialah yang menjaga
keselamatan pemain, mengarahkan pertunjukan, dan melawan
gangguan ilmu hitam dari luar yang bisa mengacaukan pertunjukan.
"Kami memang lebih mementingkan unsur kesenian daripada
pertunjukan lain yang seram-seram," kata Tajin. Meski begitu,
kuda-kuda lumping pada grup ini selalu disimpan di tempat-tempat
khusus, lengkap dengan sesajiannya. "Lagi pula buat apa bermain
dengan adegan yang aneh-aneh kalau main yang wajar saja tetap
menarik banyak penonton?" tambahnya.
Para pemain kuda lumping selalu mengenakan kacamata hitam.
Menurut Partosugino dari Sala, "itu kan hanya supaya seram
saja." Tapi bagi Tajin, penutup mata itu ternyau mampu menambah
semangatnya. "Dengan begitu saya kan bisa melirik cewek-cewek
yang nonton," ujarnya sambil tertawa. Bagi pemain lain, kacamata
sekedar untuk berlindung dari debu.
Krido Manunggal, sebuah grup jatilan di Desa Tingal, Borobudur,
Jawa Tengah, juga hanya menonjolkan tari kuda lumping sebagai
kesenian, tidak disertai hal-hal aneh. Bahkan para pemainnya
tidak mengenakan sepatu atau kacamata.
Minggu lalu grup ini bermain dalam sebuah upacara pemindahan
pasar Borobudur. Menurut Lukmadi, 40 tahun, salah seoang
pemainnya, di desanya tidak ada pemain kuda lumping makan
beling. "Saya dan teman-teman lain juga belum pernah, misalnya,
bermain lantas kesurupan. Latihannya juga tidak harus bertapa
atau berpuasa," katanya. Ia juga menganggap kesenian itu sekedar
"pengabdian sosial".
Para seniman rakyat ini memang benar-benar rakyat kecil. Begitu
pula Sudiwiyono, 45 tahun, pawang kuda lumping grup Oglek
Taruban dari Kulon Progo, Yogyakarta. Ia buruh tani. Di musim
kemarau ia menjadi tukang kayu mengerjakan perbaikan rumah.
Rumahnya kecil, berdinding gedek, berlantai tanah. "Main kuda
kepang memang hanya sambilan saja, tidak bisa untuk membiayai
hidup," katanya.
Grup ini sering ditanggap oleh panitia-panitia hari besar atau
orang-orang yang punya hajat, juga instansi-instansi pemerintah
setempat. Sekali main mereka mendapat imbalan Rp 70.000 dibagi
rata 35 orang anggotanya. Sudiwiyono sendiri, pimpinannya,
mendapat Rp 3.000 sampai Rp 5.000. Pernah keliling Jawa Tengah,
Oglek Taruban beberapa kali main dalam festival kesenian rakyat
di Yogyakarta, bahkan juga main di TIM, Jakarta, pada 1979.
Seperti pawang lainnya, sebelumnya Sudi juga nyepi alias
bertapa, berpuasa dan sebagainya. "Seorang pawang harus mampu
membantu kekuatan batin para pemain, misalnya dengan mantra,"
katanya. Teruuma pada adegan-adegan tertentu bila pemain
benar-benar kesurupan. "Kalau pemain sampai terluka karena makan
beling, misalnya, cukup saya jilat saja. Luka bisa kering dan
sembuh seketika," katanya mantap.
Rumah Hadisiswanto, 25 tahun, penari kuda lumping dari
Banjarsari, di pinggir Metro, Lampung Tengah, juga berdinding
gedek, beralas tanah, beratap daun enau. Bahkan hampir rubuh.
Sejak masih duduk di bangku SD ia sudah bermain jatilan. Tak
sempat menamatkan SMP, Hadi harus membantu orang tuanya
membiayai sekolah kelima adiknya. Sekali main, grup kuda kepang
Budaa Putra, terdiri dari 15 orang, mendapat Rp 20.000, "hanya
cukup untuk beli sabun saja," katanya.
Kadang-kadang Hadi juga diundang mengajar grup-grup jatilan yang
lain, dengan bayaran Rp 150.000 sebulan. Tapi orang tuanya masih
punya sawah seluas tigaperempat hektar. Bila pasaran sepi, Hadi
membantu mengerjakan sawah. Di bulan Suro, bulan purnama menurut
kalender Jawa, grup ini libur. Meskipun Budaya Putra juga
menampilkan adegan-adegan kesurupan, para pemainnya tidak
mengenakan kacamata hitam.
"Itu sudah kuno. Dan bagi saya kacamata itu malah bisa
membahayakan, misalnya, kalau terjadi keributan di antara
penonton. Kalau kacamatanya pecah kan membahayakan mata,"
katanya. "Karena itu para pemain Budaya Putra saya larang
memakai kacamata," tambahnya. Menurut Hadi, membakar kemenyan
atau adegan-adegan keras itu hanya sebagai pemantes saja,
"sebagai bumbu agar penonton datang lebih banyak lagi."
Hadi mengaku pernah menjadi gemblak -- semacam 'pacar" bagi
pawang alias gambuh yang juga disebut warok. Konon hubungan
antara kedua insan sejenis itu, sesama lelaki, bisa meningkat
seperti antara suami-istri. Sang warok pun konon bisa jatuh
cemburu bila si gemblak, yang biasanya bertampang cakap,
berjalan bersama lelaki lain. Tapi menurut Tukio, 63 tahun,
gambuh di grup Budaya Putra, hubungan intim itu "hanya untuk
mempererat persaudaraan saja."
MENGAPA warok bisa "jatuh cinta" pada pemuda tampan, yang
kemudian dijadikan gemblak, ada ceritaya. Dua orang saudara
sekandung, masing-masing Patih Tumapel dan Patih Madiun,
memperebutkan seorang putri Kerajaan Kediri. Sama-sama ampuh,
tidak ada yang menang tidak ada yang kalah, meskipun
masing-masing sudah luka parah, bahkan alat vital mereka
terputus. Akhirnya ayah mereka campurtangan melerai. Konon
karena alat vitalnya putus itulah warok yang sakti itu lebih
menyukai lelaki daripada perempuan.
Itu cerita Supapan, 50 tahun, pawang grup reog Suko Budidoyol
Surabaya. Setelah nglakoni (bertapa) sebagaimana lazimnya calon
pawang, Supapan mampu mengangkat grupnya lebih populer. Bukan
hanya adegan makan beling atau padi, tapi juga minum air aki.
Masih ditmbah dengan reog dan akrobat: orang digantung tidak
mati, orang digilas mobil atau sepeda motor di atas papan
berduri paku tidak hancur. Pendeknya seru.
Grup ini pernah menghibur para karyawan RS Karangmenjangan,
Surabaya. Setelah adegan makan beling, seorang dokter yang
agaknya penasaran memeriksa para pemain. "Ternyata dokter
sendiri kagum, karena mereka sehat-sehat saja," ujar Supapan
yang hanya berpendidikan SD kelas 11. Suko Budidoyo yang sejak
1971 diubah namanya menjadi Beringin Shakti (karena dibina oleh
DPP Golkar) juga sering mengisi acara-acara resmi seperti ketika
menyambut kedatangan Presiden Pakistan Zia-ul Haq di Surabaya
belum lama ini.
Sering pula menghibur turis, Beringin Shakti yang- beranggota 30
orang, me'masane tarif Rp 100.000 untuk dalam kota dan
Rp.150.000 untuk luar kota. Grup ini agaknya memang laris.
"Kami sudah keliling Indonesia, juga serin main di Taman Mini.
Bahkan pada 1977 main di Prancis," tutur Supapan bangga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini