Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Kuliner Legendaris Pisang Plenet, 66 Tahun Berkiprah di Semarang

Jajanan khas ini telah 66 tahun ikut meramaikan dunia kuliner kaki lima di kota atlas itu.

21 Juli 2018 | 05.59 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Hidanga pisang plenet khas Semarang di Jalan Pemuda, Semarang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pisang plenet menjadi salah satu pilihan cemilan santai selain lunpia bila Anda sedang berlibur ke Semarang, Jawa Tengah. Jajanan khas ini telah 66 tahun ikut meramaikan dunia kuliner kaki lima di kota atlas itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelum aneka ragam masakan kekinian berbahan baku pisang diciptakan, pisang plenet lebih dulu eksis. Pembuatnya pertama kali adalah Javar, yang kini diteruskan oleh anaknya, Toerdi, 82 tahun, dan cucunya Triyono, 54 tahun. Javar mempopulerkan pisang plenet pada 1952.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tempo menjajal racikan penganan era Soekarno yang diklaim pertama di Indonesia itu pada Kamis, 19 Juli 2018, bersama tim Mal Ciputra. Di tepi Jalan Pemuda, tepatnya di kompleks rumah toko bekas Toko Hien, gerobak pisang plenet milik keluarga Toerdi nangkring.

Ini bukan satu-satunya lapak pisang plenet. Keluarga Toerdi juga membukanya di kompleks Pasar Semawis dan Jalan Gajah Mada.

Saat itu sudah menjelang sore pukul 15.00. Generasi ketiga pemegang tampuk usaha, Triyono, sedang asyik memasak dibantu anak perempuannya dan sang ayah, Toerdi.

Triyono bertugas memelenet pisang, sedangkan anaknya kebagian tugas membakar. Sementara itu, Toerdi membuka gerobak sendiri di sebelahnya. Gerobak Toerdi lebih klasik, terbuka, dan tanpa kaca etalase.

Seperti namanya, pisang plenet adalah pisang yang dipelenet alias dipipihkan. Alat pemipihnya menggunakan akrilik. Setelah dipipihkan, pisang-pisang itu dibakar. Lantas diberi beraneka ragam rasa, seperti selai nanas, cokelat, gula halus, dan mentega.

Konon, pisang tersebut tercipta akibat rasa bosan Javar terhadap penganan tradisional yang itu-itu saja, misalnya pisang goreng, tahu, tempe, singkong, dan umbi-umbian. Menurut Toerdi, lalu diciptakanlah pisang plenet dari hasil coba-coba. Pisang ini termasuk modern pada masanya. Namun dijajakan dengan cara klasik, yakni dijual berkeliling menggunakan pikulan.

Saat itu pembakarannya menggunakan tungku alias anglo tanah liat. Apinya berasal dari arang. Sekarang sudah lebih modern meski tetap menggunakan bahan bakar yang sama.

Pada awal beredarnya dulu, pisang plenet hanya memiliki rasa selai nanas, mentega, dan gula. Lantas rasa-rasa anyar muncul beberapa tahun setelahnya.

Pisang yang digunakan sejak tempo dulu hingga kini sama, yakni pisang kepok. Pisang kepok cocok dimasak dengan cara dibakar atau digoreng. Sebab teksturnya tidak lembek. Orang Jawa menyebutnya mengkel atau sedikit keras.Toerdi, generasi kedua penjual pisang plenet di Jalan Pemuda, Semarang

Pisang plenet mulai memiliki lapak tetap pada 1962 hingga 1963 di depan Toko Hien, Jalan Pemuda. Juga di Semawis, kompleks kuliner Semarang.

Rasa pisang plenet dipertahankan konsisten dari era ke era. Maka itu, generasi terakhir pemegang tampuk usaha pisang akan mengajarkan cara memasak dan membagikan resep turun-temurun ke generasi selanjutnya.

Selain rasa, atribut pelengkap yang menggambarkan identitas legenda pisang plenet tak dihilangkan. Misalnya pemasangan lampu petromax di gerobak pisang.

Sejumlah tokoh, baik artis dan pejabat, kata Triyono, pernah mampir ke lapaknya. Namun ia tak mengingat nama para pesohor yang pernah singgah itu. "Wisatawan dari luar negeri juga banyak yang ke sini," ujar Triyono.

Bila ingin menjajal rasa pisang yang khas dan selalu dirindukan warga Semarang itu, Anda bisa berkunjung mulai pukul 10.00 hingga 22.00. Triyono dan Toerdi akan bergantian memasak pisang itu di Jalan Pemuda. Sedangkan di cabang lainnya bakal dimasak oleh keluarga mereka yang lain.

Adapun harga per porsi dibanderol Rp 10 ribu. Anda bisa meminta tambahan topping meses atau keju.

FRANCISCA CHRISTY ROSANA

Francisca Christy Rosana

Francisca Christy Rosana

Lulus dari Universitas Gadjah Mada jurusan Sastra Indonesia pada 2014, Francisca mulai bergabung di Tempo pada 2015. Kini ia meliput untuk kanal ekonomi dan bisnis di Tempo.co.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus