SUSU hewan dan kencing manusia telah melayarkan Imam Supardi ke batas prestasi yang dicita-citakan para sarjana. Dokter yang berkecimpung dalam mikrobiologi itu, 4 Februari lalu di depan dewan penguji di Universitas Padjadjaran, Bandung, berhasil mempertahankan disertasinya tentang cara guru mendiagnosa infeksi saluran air kemih - dengan pemeriksaan kuman kencing - dengan nilai "sangat memuaskan". Selama ini, pemeriksaan bakteriuri (kuman dalam air seni) dilakukan melalui pembiakan bakteri dan pemeriksaan mikroskopis. Kesimpulan yang ditarik dari pemeriksaan ini berdasarkan indikasi yang ditunjukkan banyaknya leukosit (butir darah putih). Munculnya butir darah putih dalam air seni itu menunjukkan tampilnya reaksi tubuh untuk melumpuhkan bakteri yang masuk. Tetapi, menurut Imam Supardi, 45, walaupun bakteriuri cenderung disertai leukosituri (butir darah putih dalam air seni) "namun metode tersebut tidak menamin kepastian tentang adanya bakteriuri yang infektif (mengakibatkan infeksi)." Metode lain yang juga serin dilakukan untuk mengetahui adanya infeksi saluran kencing ialah dengan meneteskan nitrat. Bila air seni yang tertetes mitrat berubah warna menjadi merah jambu, berarti ada kuman yang gentayangan. "Dengan kata lain, infeksi saluran kencing benar ada, tapi cara ini kurang peka" kata Imam Supardi, dokter lulusan Universitas Padjadjaran kelahiran Bandung. Kedua metode itu dikritik Imam Supardi. Malahan dia sampai pada kesimpulan bahwa pemeriksaan macam itu - seperti yang dilakukan sampai sekarang bisa menyesatkan. Terutama karena kelalaian-kelalaian yang biasa terjadi di laboratorium. Misalnya air seni baru diperiksa setelah beberapa lama. Padahal, bertambah lama air seni tersimpan bertambah berkembang biak si kuman. Sedangkan kalau yang diamati adalah leukosit, butir darah putih ini akan mati sendiri dengan kecepatan 15% per jam. "Bisa-bisa orang sehat disebut sakit, atau orang sakit disebut sehat," katanya. Jalan Imam Supardi mencapai gelar doktor itu sebenarnya bukan semata-mata karena pengamatannya yang tajam terhadap metode pemeriksaan laboratorium yang berlaku. Melainkan, lebih banyak karena dasar pikiran dia yang ingin menemukan metode yang murah dan gampang. Misalnya, selain kedua metode itu ada juga dengan sistem ronsen. Tetapi ongkosnya mahal bukan main. Sampai Rp 20.000. Dan di daerah terpencil, mana mungkin dilaksanakan pemeriksaan macam ini? Sementara itu, pemeriksaan dengan pembiakan dan pemeriksaan mikroskopis memerlukan biaya besar. Tabung reaksi botol, pipet, sterilisasi kering, lemari pengeram, dan lain-laim bisa menghabiskan Rp 2 juta. Kebutuhan akan metode yang mudah dan gampang semakin mendesak Imam Supardi, karena penderita radang saluran air kemih diperhitungkan mencapai 5,2% dari seluruh penduduk. Jalan sukses akhirnya membayang ketika dia tahu bahwa cairan biru metilen selama ini telah dipergunakan untuk mengetes ada tidaknya bakteri dalam susu sapi segar yang telah dipasteurisasikan. Dalam penelitiannya yang berlangsung satu setengah tahun itu, dia menemukan bahwa "bakteri yang ada di susu hampir sama dengan bakteri yang menyebabkan infeksi pada saluran air kemih." Macam bakteri yang ada di susu dan air seni, menurut Imam Supardi, adalah Escherichia coli, Enterobacteraerogenes, Pseudomanas aeruginosa, Proteus, Stafilokokus dan Streptokokus. Inilah yang kemudian menuntunnya kepada penemuan cairan biru metilen untuk pemeriksaan infeksi saluran kencing. Dalam berbagai percobaan yang dilakukan Imam, cairan biru ltu ternyata meyakinkan, meskipun metode pembiakan dan pemeriksaan mikroskopis dengan segala perlengkapannya yang berharga mahal itu masih tetap unggul - tentu saja dengan syarat air seni segera diperlksa. Metode ini digunakan sebagai standar oleh Imam. Namun, hasil pemeriksaan dengan meneteskan cairan nitrat ternyata lebih buruk dibanding dengan cara meneteskan larutan biru, penemuan Imam. Terbukti dari 44 bahan yang dinyatakan positif mengandung bakteriuri infektif, menurut Imam, metode larutan biru yang diperkenalkannya itu bisa menemukan 38 bahan. Sementara dengan cairan nitrat hanya 23 bahan. Untuk lebih meyakinkan, dia cobakan pula larutan biru itu untuk mendeteksi apakah ada kuman pada 55 bahan yang steril. Hasilnya, ya, lima puluh lima. Tetapi dengan nitrat hanya ditemukan 48 bahan! Dari hasil penelitian itu pula Imam menganjurkan agar tes nitrat tidak dipergunakan lagi. Cairan biru metilen ini dibuat dengan mencampurkan 100 mg serbuk metilen berwarna biru ke dalam 100 ml air sulingan steril, ditambah 10 ml alkohol. Bila warna biru dari air kencing yang sudah ditetesi metilen itu menghilang sebelum enam jam, itu berarti yang punya kencing menderita infeksi karena kuman. Jika kuman yang ditemukan tidak berarti, "walaupun ditunggu sampai 24 jam tidak akan terjadi perubahan warna biru sama sekali." Semakin cepat warna biru itu hilang, berarti semakin banyak kuman yang terhalang. "Penemuan biru metilen ini sudah lama. Tetapi pemakaiannya untuk urine, baru Imam yang menemukan," ujar Dr. Tanwir Yazid Mukawi, kepala Bagian Patologi RS Hasan Sadikin, Bandung, dosen FK Universitas Padjadjaran. Berbagai kalangan menyebutkan, metode larutan biru ini akan sangat membantu. Terutama untuk daerah terpencil yang tidak memiliki laboratorium. Terlebih-lebih untuk puskesmas-puskesmas di balik-balik gunung. Bubuk metilen sendiri relatif gampang dibeli. "Temuan Imam ini praktis, sederhana murah, dan tidak memerlukan tenaga ahli sehingga bisa digunakan di daerah-daerah, seperti puskesmas," kata Dr. Sujono Hadi, ahli penyakit dalam, penyanggah Imam, kepada Mara Oloan Siregar dari TEMPO. "Yang dibutuhkan hanya air kencing dan biru metilen."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini