MENYELEKSI calon murid baru bukan hanya masalah Indonesia. Para orangtua di Singapura kini ramai menanggapi kebijaksanaan penerimaan murid baru untuk taman kanak-kanak dan kelas I SD. Kriteria seleksi baru, yang dinyatakan oleh Goh Keng, Swee, menteri pendidikan Singapura, bulan lalu, memprioritaskan anak dari ibu yang sudah tamat universitas, yang mempunyai lebih dari dua anak. Kebijaksanaan itu bersumber dari sebuah pidato kenegaraan Perdana Menteri Lee Kuan Yew, Agustus lalu. Waktu itu Perdana Menteri Lee memberikan "tanda bahaya" karena meninkatnya jumlah anak-anak dalam keluarga yang orangtuanya tidak mendapat pendidikan tinggi. Bahaya ini "akan terasa dalam satu generasi mendatang, dalam waktu 2 tahun," katanya. Catatan terakhir, 30% ibu-ibu yang bukan sarjana mempunyai empat anak atau lebih. Sementara itu, hanya 1,5% dari para ibu sarjana yang mempunyai lebih dari empat anak. Lee Kuan Yew memang tak jelas-jelas menyatakan bahwa anak seorang ibu yang sarjana memiliki potensi menjadi pintar lebih besar daripada anak dari ibu bukan sarjana. Tapi statistik menunjukkan, 49% anak para ibu yang sarjana masuk dalam 10% siswa berprestasi timggi. Anak dan para ibu yang hanya berpendidikan sekolah menengah atas, yang masuk kelompok 10% itu hanya 35%. Dan anak para ibu yang berpendidikan di bawah sekolah menengah atas, yang termasuk 10% anak pintar itu cuma 14%. Reaksi segera muncul. Surat pembaca di harian The Straits Times 29 Januari lalu banyak mengkritik kebijaksanaan itu. Misalnya, seorang bapak mengeluarkan isi hatinya: "Akan ada tekanan mental bagi orangtua yang bukan sarjana, dan anak-anak mereka bisa menjadi rendah diri." Yang lain menulis: "Belum tentu yang bukan sarjana tidak mampu menjadi sarjana, karena tak semua orang ingin menjadi sarjana. Tapi bagaimana kalau mereka mengharapkan anak-anak mereka mendapatkan pendidikan yang baik?" Sebuah surat, agaknya dari seorang ibu, isinya: "Apa dikira ibu yang sarjana dijamin pasti bisa mengadakan lingkungan belajar yang baik? Saya banyak melihat ibu-ibu yang bukan sarjana bisa menyediakan suatu lingkungan belajar yang sangat baik buat anak-anak mereka." Beberapa hari sebelumnya, di surat kabar yang sama, Menteri Goh Keng Swee, menjelaskan. Pemerintah, katanya, tak bermaksud mengatakan bahwa dari orangtua yang tak berpendidikan tinggi pasti lahir anak-anak yang tak begitu pintar. Yang jelas, bila si ibu seorang sarjana, ia akan mampu membantu anak-anaknya memahami pelajaran sekolah dan mampu membelikan buku mereka. Memang, ada perubahan yang mendasar akibat kebijaksanaan ini. Dulu yang diutamakan oleh sekolah adalah anak kedua yang kakaknya sudah sekolah di situ. Prioritas kedua bagi anak tunggal atau anak dua bersaudara, yang orangtuanya telah melakukan sterilisasi. Kurang lebih kebijaksanaan ini untuk menyetop ledakan anak sekolah. Kini, prioritas pertama pada anak dari ibu yang sarjana, yang paling sedikit ibu itu sudah punya tiga anak. Baru prioritas kedua pada anak kedua yang kakaknya sudah masuk di sekolah itu. Dan, anak dari ibu yang sarjana yang waktu itu punya dua anak. Prioritas selanjutnya bagi anak tunggal atau anak kedua dari para orangtua berpendidikan sekolah menengah atas yang sudah melakukan sterilisasi. Dasar kebijaksanaan baru, agaknya, dimaksudkan untuk mencari bibit unggul sebanyak mungkin. Seperti dikatakan oleh Goh Keng Swee, "Beberapa tahun lagi Singapura harus bisa menemukan jenis pekerjaan baru, bila mau survive." Dan itu memerlukan anak-anak pintar yang dipersiapkan sejak sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini