Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Lepra Bertambah, Mereka Bebas

Penderita lepra tak perlu diasingkan lagi. Sudah ada obatnya, dan penularannya tidak gampang. Bila makan bergizi, lingkungan bersih, penyakit terhindar. Metode baru diajarkan di Ujungpandang. (ksh)

19 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK tahun 1972 pemerintah sudah akan membebaskan penderita lepra. Pusat pemencilan penderita lepra (leprosaria) yang bertebaran di Indonesia akan dikosongkannya. Semua itu nantinya digunakan sebagai rumahsakit saja -- tempat penderita lepra, yang sudah sembuh, menjalani operasi plastik untuk mengembalikan bagian tubuh mereka yang rusak dimakan penyakit. Usaha ke arah itu, biar pun lambat, tampak bisa dilaksanakan. Bagaimana? Obat penyembuhnya sudah ada. Penularan penyakit tersebut tidak secepat yang dibayangkan orang awam. Pemerintah menyediakan tenaga cukup untuk mengawasi pemakaian obat Dianodiphenysulfone -- obat lepra -- bagi para penderita. Biaya nampaknya lancar. Sejak 1969, Leprosy Mission dari Inggeris memberikan bantuan sebesar US$480.000. Bantuannya ditambah lagi pekan lalu dengan US$750.000, dalam bentuk peralatan kedokteran, obat-obatan dan tenaga ahli. Sejak pertengahan 1975, Departemen Kesehatan membuka Pusat Latihan Kusta Nasional di Ujungpandang. Calon ahli lepra dikirim ke sekolah itu yang dibangun dengan bantuan Danish Save The Children Organization, sebesar US$500.000. Di pusat latihan tersebut, ada seorang ahli asal Belanda -- namanya Zuiderhoek, yang berpengalaman melawan lepra di berbagai negara. "Biaya pengobatan seorang penderita di leprosaria dapat digunakan buat mengobati paling sedikit 50 penderita di luar," ulasnya. Para peserta pusat latihan itu nanti dikerahkan mencari penderita. Dengan mereka mencari, jumlah penderita yang dulu diperhitungkan 200.000 di seluruh Indonesia, diduga akan bertambah drastis. Metode pencarian penderita selama ini masih lemah. Buktinya, survai yang diadakan di kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng dan Bulukumba (pertengahan 1975) -- dipimpin Zuiderhoek dan dr Sandy Ritung -- memperoleh angka yang mengagetkan. Penderita lepra diketahuinya melonjak 15 permil dari hanya 1 permil menurut perhitungan lama. Di situ, demikian pengakuan beberapa tenaga Indonesia yang mengikuti Survai tersebut, dipakai metode untuk menemukan penderita dengan lebih teliti. Yang dilihat tidak hanya tangan atau kuping yang sudah merah membengkak, tapi juga bintik-bintik putih yang mirip panu. Kalau digaruk tak bersisik, kalau ditusuk tak berasa, itu namanya si empunya badan sedang diintai lepra. Anak-anak sekolah juga menjadi sasaran pengamatannya. Bahwa penyakit ini bisa diatasi, Rumah Sakit Sitanla, Tangerang, yang jadi usat rehabilitasi lepra membuktikannya. Di sana berdiam 1010 penderita, yang sebagian besar sudah sembuh, hanya 10% yang dalam tingkat masih bisa menular. Para penderita yang sudah negatif memang berkeliaran ke pasar atau bioskop yang terletak di depan RS tersebut, tapi penderita baru yang berasal dari Tangerang sendiri tak ada. "Kalau anda makan yang bergizi dan hidup dengan bersih, anda akan terhindar dari penyakit ini," kata dr Berbudi, Direktur RS Sitanala. Mereka Betah RS Sitanala -- dengan tanah seluas 54 Ha -- merupakan pusat pengobatan dan rehabilitasi terbesar di Indonesia. Para penderita yang sudah sembuh sekalipun cacat, nampaknya betah tinggal di situ. Ada tanah tempat bercocok-tanam, ada alat pertukangan dan percetakan. Hasil mereka dikumpulkan melalui koperasi. Mereka bisa membangun rumah di atas tanah yang masih kosong dalam kompleks rumahsakit. Di situ mereka hidup, sedangkan yang muda-muda menemukan jodohnya dan beranak-pinak dalam perumahan yang sederhana tapi bersih dan berlistrik. Penderita yang sudah sembuh di situ secara bergiliran menjalani operasi. "Prioritas utama adalah tangan, baru kemudian anggota tubuh yang lain. Yang penting supaya mereka bisa bekerja," kata dr Berbudi. Seminggu paling tidak diadakannya 4 kali operasi plastik. Berbudi sendiri sesungguhnya bukanlah dokter bedah, hanya dokter umum yang menambah pengetahuannya dalam bedah plastik untuk lepra selama setahun di India. "Habis kalau ditunggu dokter bedah, sampai kapan penderita lepra bisa ditolong," katanya. Pengobatan dan operasi plastik di rumahsakit tersebut dilaksanakan dengan cuma-cuma. Meskipun tidak melaksanakan operasi plastik, RS dr Soetomo di Surabaya banyak menerima penderita lepra. Menurut Kepala Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Prof Moh. Ibeni Ilias penderita yang sudah berada dalam tingkat tidak menular diobatinya sebagai pasien luar. Hanya yang menular yang dirawat di rumahsakit itu. Bagi para penderita lepra yang berada di berbagai pusat penampungan, pulang ke kampung halaman tampaknya masih merupakan kesulitan. Mungkin sanak saudara tak mau menerima. Lagi pula lapangan pekerjaan belum terjamin. Tapi Rumah Sakit Kusta Kawatuna di Palu, Sulawesi Tengah, bagaimana pun akan memulangkan 35 penderita lepra yang mendekam di situ. Pengobatan mereka akan dilanjutkan oleh Puskesmas setempat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus