SEJAK tahun 1972 pemerintah sudah akan membebaskan penderita
lepra. Pusat pemencilan penderita lepra (leprosaria) yang
bertebaran di Indonesia akan dikosongkannya. Semua itu nantinya
digunakan sebagai rumahsakit saja -- tempat penderita lepra,
yang sudah sembuh, menjalani operasi plastik untuk mengembalikan
bagian tubuh mereka yang rusak dimakan penyakit. Usaha ke arah
itu, biar pun lambat, tampak bisa dilaksanakan.
Bagaimana? Obat penyembuhnya sudah ada. Penularan penyakit
tersebut tidak secepat yang dibayangkan orang awam. Pemerintah
menyediakan tenaga cukup untuk mengawasi pemakaian obat
Dianodiphenysulfone -- obat lepra -- bagi para penderita.
Biaya nampaknya lancar. Sejak 1969, Leprosy Mission dari
Inggeris memberikan bantuan sebesar US$480.000. Bantuannya
ditambah lagi pekan lalu dengan US$750.000, dalam bentuk
peralatan kedokteran, obat-obatan dan tenaga ahli.
Sejak pertengahan 1975, Departemen Kesehatan membuka Pusat
Latihan Kusta Nasional di Ujungpandang. Calon ahli lepra dikirim
ke sekolah itu yang dibangun dengan bantuan Danish Save The
Children Organization, sebesar US$500.000.
Di pusat latihan tersebut, ada seorang ahli asal Belanda --
namanya Zuiderhoek, yang berpengalaman melawan lepra di berbagai
negara. "Biaya pengobatan seorang penderita di leprosaria dapat
digunakan buat mengobati paling sedikit 50 penderita di luar,"
ulasnya.
Para peserta pusat latihan itu nanti dikerahkan mencari
penderita. Dengan mereka mencari, jumlah penderita yang dulu
diperhitungkan 200.000 di seluruh Indonesia, diduga akan
bertambah drastis.
Metode pencarian penderita selama ini masih lemah. Buktinya,
survai yang diadakan di kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto,
Bantaeng dan Bulukumba (pertengahan 1975) -- dipimpin Zuiderhoek
dan dr Sandy Ritung -- memperoleh angka yang mengagetkan.
Penderita lepra diketahuinya melonjak 15 permil dari hanya 1
permil menurut perhitungan lama.
Di situ, demikian pengakuan beberapa tenaga Indonesia yang
mengikuti Survai tersebut, dipakai metode untuk menemukan
penderita dengan lebih teliti. Yang dilihat tidak hanya tangan
atau kuping yang sudah merah membengkak, tapi juga bintik-bintik
putih yang mirip panu. Kalau digaruk tak bersisik, kalau ditusuk
tak berasa, itu namanya si empunya badan sedang diintai lepra.
Anak-anak sekolah juga menjadi sasaran pengamatannya.
Bahwa penyakit ini bisa diatasi, Rumah Sakit Sitanla,
Tangerang, yang jadi usat rehabilitasi lepra membuktikannya. Di
sana berdiam 1010 penderita, yang sebagian besar sudah sembuh,
hanya 10% yang dalam tingkat masih bisa menular.
Para penderita yang sudah negatif memang berkeliaran ke pasar
atau bioskop yang terletak di depan RS tersebut, tapi penderita
baru yang berasal dari Tangerang sendiri tak ada. "Kalau anda
makan yang bergizi dan hidup dengan bersih, anda akan terhindar
dari penyakit ini," kata dr Berbudi, Direktur RS Sitanala.
Mereka Betah
RS Sitanala -- dengan tanah seluas 54 Ha -- merupakan pusat
pengobatan dan rehabilitasi terbesar di Indonesia. Para
penderita yang sudah sembuh sekalipun cacat, nampaknya betah
tinggal di situ. Ada tanah tempat bercocok-tanam, ada alat
pertukangan dan percetakan. Hasil mereka dikumpulkan melalui
koperasi. Mereka bisa membangun rumah di atas tanah yang masih
kosong dalam kompleks rumahsakit. Di situ mereka hidup,
sedangkan yang muda-muda menemukan jodohnya dan beranak-pinak
dalam perumahan yang sederhana tapi bersih dan berlistrik.
Penderita yang sudah sembuh di situ secara bergiliran menjalani
operasi. "Prioritas utama adalah tangan, baru kemudian anggota
tubuh yang lain. Yang penting supaya mereka bisa bekerja," kata
dr Berbudi. Seminggu paling tidak diadakannya 4 kali operasi
plastik.
Berbudi sendiri sesungguhnya bukanlah dokter bedah, hanya dokter
umum yang menambah pengetahuannya dalam bedah plastik untuk
lepra selama setahun di India. "Habis kalau ditunggu dokter
bedah, sampai kapan penderita lepra bisa ditolong," katanya.
Pengobatan dan operasi plastik di rumahsakit tersebut
dilaksanakan dengan cuma-cuma.
Meskipun tidak melaksanakan operasi plastik, RS dr Soetomo di
Surabaya banyak menerima penderita lepra. Menurut Kepala Bagian
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Prof Moh. Ibeni Ilias penderita
yang sudah berada dalam tingkat tidak menular diobatinya
sebagai pasien luar. Hanya yang menular yang dirawat di
rumahsakit itu.
Bagi para penderita lepra yang berada di berbagai pusat
penampungan, pulang ke kampung halaman tampaknya masih merupakan
kesulitan. Mungkin sanak saudara tak mau menerima. Lagi pula
lapangan pekerjaan belum terjamin. Tapi Rumah Sakit Kusta
Kawatuna di Palu, Sulawesi Tengah, bagaimana pun akan
memulangkan 35 penderita lepra yang mendekam di situ. Pengobatan
mereka akan dilanjutkan oleh Puskesmas setempat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini