Beberapa minggu sebelum ia meninggal Senin dinihari pekan lalu,
Oejeng Suwargana menyerahkan sebuah tulisannya untuk TEMPO. Kami
sedang mempertimbangkan pilihan waktu yang tepat memunculkan
tulisan itu, ketika berita dukacita itu sampai. Inilah tulisan
tersebut, yang sayang sekali tak bisa lagi almarhum saksikan
sendiri:
BANYAK yang bergirang hati membaca berita dalam suratkabar
ibukota 5 Februari 1979, bahwa Dirjen Pendidikan Dasar dan
Menengah memutuskan untuk kembali mengadakan Ujian Negara secara
nasional. Sebaliknya ada juga yang tidak dapat menyetujui
keputusan itu.
Masalah ujian sangat menarik perhatian masyarakat. Betapa tidak,
sebab hari depan seseorang bisa ditentukan oleh hasil ujiannya.
Ujian sekolah di Indonesia mempunyai tiga macam fungsi. Pertama,
yang bersifat normatif individual. Artinya dipakai untuk
mengukur kemampuan maksimal tiap siswa setelah mengikuti
pelajaran menurut kurikulum yang tertentu. Untuk ujian macam itu
sekarang lebih lazim dipergunakan istilah EBTA = Evaluasi
Belajar Tingkat Akhir. Diploma yang diberikan disebut STTB =
Surat Tanda Tamat Belajar. Di luar negeri ujian yang bersifat
normatif individual itu biasa disebut "achievement test."
Kedua, ujian itu mempunyai fungsi yang bersifat normatif
komunal. Artinya dipakai untuk mengukur prestasi hasil
pendidikan sekolah yang bersangkutan secara keseluruhan,
sehingga dapat diketahui perbandingan prestasinya dengan sekolah
yang lain. Di Amerika Serikat sudah biasa orang menyelenggarakan
ujian untuk mengetahui perbandingan taraf hasil rata-rata yang
dicapai oleh tiap selolah dalam suatu wilayah sekolah. Mereka
ingin mengetahui apa yang mereka sebut "school district average.
"Adakalanya diperbandingkan dengan hasil rata-rata tiap sekolah
dalam suatu negara bagian, untuk mengetahui "state average. "
Kemudian diperbandingkan dengan hasil rata-rata tiap sekolah di
seluruh negeri, yang disebut "national average."
Jadi dapat difahami jika di Indonesia juga Pemerintah ingin
mengetahui hasil prestasi rata-rata dari tiap sekolah yang ada
di Indonesia dengan mengadakan Ujian Negara yang sama bobotnya
di seluruh Nusantara. Dengan demikian Ujian Negara itu tidak
hanya berfungsi untuk mengukur kemampuan anak didik secara
individual saja, tetapi dimanfaatkan juga untuk mengetahui taraf
pendidikan di sekolah itu secara keseluruhan. Itu penting
sekali, di antaranya untuk menjaga agar supaya anak yang pandai
tidak menjadi korban kwalitas sekolah yang dimasukinya. Bisa
saja murid itu mendapat nilai ujian umum yang buruk sekali.
Bukan karena ia itu bodoh, tetapi oleh karena taraf pendidikan
di sekolahnya terlalu rendah.
Di samping itu masih ada lagi fungsi ujian di Indonesia yang
bersifat selektif. Artinya dipakai untuk memilih siswa yang
ingin melanjutkan pelajaran. Seleksi itu perlu diadakan karena
tempat yang tersedia tidak cukup untuk menampung semua peminat,
meskipun semuanya lulus ujiannya. Dengan sendirinya supaya
terjamin keadilannya, murid yang diseleksi itu menghendaki
supaya diuji dengan ujian yang sama. Karena itu tidak mungkin
'Test Masuk" itu bersifat "Ujian Sekolah" yang bahan ujiannya
disusun oleh Kepala Sekolah beserta Stafnya, yang tentu saja
tidak akan dapat menjamin kesamaan bobotnya. Di luar negeri
pemilihan siswa untuk menentukan kelanjutan jurusan studinya
dilakukan dengan mengadakan ujian khusus yang disebut "aptitude
test."
Menteri P dan K dahulu pada tanggal 18 Maret 1969 mengeluarkan
instruksi untuk mengganti Ujian Negara dengan Ujian Sekolah,
disertai ketetapan bahwa "penyelenggaraan Ujian Sekolah itu
harus dilaksanakan oleh dan menjadi tanggungjawab sepenuhnya
dari Kepala Sekolah beserta Stafnya termasuk penyusunan
ujiannya."
Banyak orang yang menentang instruksi Menteri P dan K itu, di
antaranya PB PGRI. Dengan bantuan PD PGRI Jawa Barat, yang pada
waktu itu diketuai oleh Basyuni Suryamiharja, sekarang Ketua
Umum PB PGRI, pada permulaan tahun 1970 di Bandung
diselenggarakan "Seminar Ujian dan Test Masuk Sekolah." Menteri
P dan K yang diundang untuk menghadiri seminar itu diwakili oleh
Dirjen Pendidikan Prof. dr. ir. Bachtiar Rifai. Para pembicara
yang terdiri atas Dr. Oteng Sutisna, Oejeng Soewargana, dan drs.
Suhud, mengemukakan berbagai macam argumentasi untuk meyakinkan
kekeliruan kebijaksanaan Menteri P dan K. Uraian mereka kemudian
diterbitkan sebagai buku beriudul "Masalah Ujian dan Test Masuk
Sekolah" yang tahun 1974 dikeluarkan oleh Penerbit Sanggabuwana.
Semua pembicara terutama meragukan kesahihan (validity) dari
bahan ujian jika disusun oleh Kepala Sekolah beserta Stafnya.
Oleh Dep P dan K sendiri berulang kali diberitabukan bahwa lebih
dari setengahnya tenaga pengajar itu sebenarnya tidak memenuhi
syarat wewenang yang ditetapkan oleh Pemerintah. Di luar P. Jawa
sebagian dari Guru SD adalah lulusan SD, sedang Guru SMP hanya
tamatan SMP saja. Di samping itu Kepala Sekolah beserta Stafnya
yang hanya mengetahui keadaan di sekolahnya saja, mustahil bisa
mendapat cukup bahan perbandingan. Karena itu mustahil mereka
akan dapat menyusun bahan ujian yang terjamin kesahihannya.
Padahal validitas itu harus dinilai dari segi objektivitas.
Selain dari itu harus terpercaya pula kebenarannya, dan harus
terjamin kegunaannya.
Di luar negeri bahan ujian tidak disusun oleh sembarang Kepala
Sekolah, akan tetapi oleh lembaga yang khusus diadakan untuk
tujuan itu. Di negeri Belanda misalnya oleh CITO = Centraal
Instituut voor Toets Ontwikkeling (Lembaga Pusat Penyusunan
Test) yang berkedudukan di Arnhem. Sekolah di Inggeris sudah
mempunyai tradisi ratusan tahun untuk memakai bahan ujian umum
yang disusun oleh 3 universitas utama di Inggeris, yaitu: London
Cambridge dan Oxford University. Hingga saat ini, meskipun sudah
merdeka dan terpisah dari Inggeris, banyak Negara Persemakmuran
yang tetap mempergunakan bahan ujian umum susunan ketiga
universitas tadi. Jika mempergunakan "General Certificate of
Education Standard Test" dari ketiga universitas tersebut tadi,
siswa yang lulus itu mempunyai hak untuk diterima di sekolah
yang sederajat di Inggeris maupun di semua Negara Persemakmuran.
Begitu kuat anggapan orang akan kesahihan dari bahan test itu!
Di Amerika Serikat ada ETS = Educational Test Services, sebuah
lembaga yang mengkhususkan diri untuk melayani sekolah yang
memerlukan berbagai macam bahan ujian, berkedudukan di
Princeton, New Jersey, merupakan bagian dari Princeton
University. Di samping itu ada beberapa perguruan tinggi yang
telah lama mempunyai tradisi tiap tahun mengadakan penelitian
(riset) yang seksama. Mereka menyusun bahan ujian, yang diakui
kesahihannya di seluruh negeri. Yang terkenal di antaranya dari:
Columbia Teachers College di New York, Stanford Uniersity di
Palo Alto, California, Ohio State University di Columbus, Ohio
dan dari Laboratonum Pendidikan University of Illinois di
Carbondale, Illinois Lembaga-lembaga ilmiah seperti itulah yang
menyuUII bahan ujian itu, dan . . . bukan sembarang Kepala
Sekolah beserta Stafnya.
Di samping itu baiklah diperhatikan, bahwa di manamana sekarang
ini sudah menjadi kebiasaan bagi guru untuk memberi pelajaran
tambahan, yang biasa disebut "les", kepada murid yang mampu
untuk memberi imbalan honorarium. Mengingat kebiasaan itu,
instruksi agar supaya bahan ujian itu disusun sendiri oleh
Kepala Sekolah beserta Stafnya bisa disalahgunakan, sehingga
yang mendapat angka bagus itu hanya murid yang diberi "les
ekstra" saja.
Juga jangan dilupakan, bahwa jika bahan ujian itu harus dibuat
sendiri oleh Kepala Sekolah beserta Stafnya, mereka itu tidak
akan sungguh-sungguh mengikuti kurikulum dan memakai buku wajib
yang dibagikan oleh Dep P dan K, sebab .... pada akhirnya bahan
test yang akan dipakai untuk mengukur kemampuan murid itu tokh
mereka sendiri yang akan menyusunnya.
Sebenarnya Ujian Sekolah itu di mana-mana tidak pernah
dilaksanakan seperti diinstruksikan oleh Menteri P dan K. Untuk
menjamin kesinambungan pendidikan tidak ada sekolah Pemerintah
maupun Swasta yang benar-benar mengadakan Ujian Sekolah. Di DKI
Jakarta misalnya semua sekolah SD, SMP maupun SMA, tiap tahun
menyelenggarakan ujian pada waktu yang sama, dengan
mempergunakan bahan ujian yang sama pula, yang biasanya dibuat
oleh Kanwil Dep P dan K. Ujian bersama, pada waktu yang sama
dengan memakai bahan ujian yang sama yang dilakukan di mana-mana
di seluruh lndonesia, lebih lazim disebut "Ujian Lokal" atau
"Ujian Rayon", akan tetapi tidak pernah dilaksanakan sebagai
Ujian Sekolah menurut instruksi Mentri P dan K. Ini dapat
difahami sebab tidak ada sekolah yang berani menanggung risiko
harus menghadapi kemarahan masyarakat (termasuk anakdidik
sekolah itu sendiri yang tidak lulus), jika mereka menguji
dengan ujian yang berbeda, tau "mengukur dengan ukuran yang
tidak sama."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini