Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Syarat kesahihan bahan ujian

Instruksi menteri p & k tgl 18 maret 1969 tentang penyelenggaraan ujian sekolah menjadi tanggung jawab kepala sekolah termasuk penyusunan ujian. validitas bahan ujian diragukan dan banyak segi negatifnya.

19 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beberapa minggu sebelum ia meninggal Senin dinihari pekan lalu, Oejeng Suwargana menyerahkan sebuah tulisannya untuk TEMPO. Kami sedang mempertimbangkan pilihan waktu yang tepat memunculkan tulisan itu, ketika berita dukacita itu sampai. Inilah tulisan tersebut, yang sayang sekali tak bisa lagi almarhum saksikan sendiri: BANYAK yang bergirang hati membaca berita dalam suratkabar ibukota 5 Februari 1979, bahwa Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah memutuskan untuk kembali mengadakan Ujian Negara secara nasional. Sebaliknya ada juga yang tidak dapat menyetujui keputusan itu. Masalah ujian sangat menarik perhatian masyarakat. Betapa tidak, sebab hari depan seseorang bisa ditentukan oleh hasil ujiannya. Ujian sekolah di Indonesia mempunyai tiga macam fungsi. Pertama, yang bersifat normatif individual. Artinya dipakai untuk mengukur kemampuan maksimal tiap siswa setelah mengikuti pelajaran menurut kurikulum yang tertentu. Untuk ujian macam itu sekarang lebih lazim dipergunakan istilah EBTA = Evaluasi Belajar Tingkat Akhir. Diploma yang diberikan disebut STTB = Surat Tanda Tamat Belajar. Di luar negeri ujian yang bersifat normatif individual itu biasa disebut "achievement test." Kedua, ujian itu mempunyai fungsi yang bersifat normatif komunal. Artinya dipakai untuk mengukur prestasi hasil pendidikan sekolah yang bersangkutan secara keseluruhan, sehingga dapat diketahui perbandingan prestasinya dengan sekolah yang lain. Di Amerika Serikat sudah biasa orang menyelenggarakan ujian untuk mengetahui perbandingan taraf hasil rata-rata yang dicapai oleh tiap selolah dalam suatu wilayah sekolah. Mereka ingin mengetahui apa yang mereka sebut "school district average. "Adakalanya diperbandingkan dengan hasil rata-rata tiap sekolah dalam suatu negara bagian, untuk mengetahui "state average. " Kemudian diperbandingkan dengan hasil rata-rata tiap sekolah di seluruh negeri, yang disebut "national average." Jadi dapat difahami jika di Indonesia juga Pemerintah ingin mengetahui hasil prestasi rata-rata dari tiap sekolah yang ada di Indonesia dengan mengadakan Ujian Negara yang sama bobotnya di seluruh Nusantara. Dengan demikian Ujian Negara itu tidak hanya berfungsi untuk mengukur kemampuan anak didik secara individual saja, tetapi dimanfaatkan juga untuk mengetahui taraf pendidikan di sekolah itu secara keseluruhan. Itu penting sekali, di antaranya untuk menjaga agar supaya anak yang pandai tidak menjadi korban kwalitas sekolah yang dimasukinya. Bisa saja murid itu mendapat nilai ujian umum yang buruk sekali. Bukan karena ia itu bodoh, tetapi oleh karena taraf pendidikan di sekolahnya terlalu rendah. Di samping itu masih ada lagi fungsi ujian di Indonesia yang bersifat selektif. Artinya dipakai untuk memilih siswa yang ingin melanjutkan pelajaran. Seleksi itu perlu diadakan karena tempat yang tersedia tidak cukup untuk menampung semua peminat, meskipun semuanya lulus ujiannya. Dengan sendirinya supaya terjamin keadilannya, murid yang diseleksi itu menghendaki supaya diuji dengan ujian yang sama. Karena itu tidak mungkin 'Test Masuk" itu bersifat "Ujian Sekolah" yang bahan ujiannya disusun oleh Kepala Sekolah beserta Stafnya, yang tentu saja tidak akan dapat menjamin kesamaan bobotnya. Di luar negeri pemilihan siswa untuk menentukan kelanjutan jurusan studinya dilakukan dengan mengadakan ujian khusus yang disebut "aptitude test." Menteri P dan K dahulu pada tanggal 18 Maret 1969 mengeluarkan instruksi untuk mengganti Ujian Negara dengan Ujian Sekolah, disertai ketetapan bahwa "penyelenggaraan Ujian Sekolah itu harus dilaksanakan oleh dan menjadi tanggungjawab sepenuhnya dari Kepala Sekolah beserta Stafnya termasuk penyusunan ujiannya." Banyak orang yang menentang instruksi Menteri P dan K itu, di antaranya PB PGRI. Dengan bantuan PD PGRI Jawa Barat, yang pada waktu itu diketuai oleh Basyuni Suryamiharja, sekarang Ketua Umum PB PGRI, pada permulaan tahun 1970 di Bandung diselenggarakan "Seminar Ujian dan Test Masuk Sekolah." Menteri P dan K yang diundang untuk menghadiri seminar itu diwakili oleh Dirjen Pendidikan Prof. dr. ir. Bachtiar Rifai. Para pembicara yang terdiri atas Dr. Oteng Sutisna, Oejeng Soewargana, dan drs. Suhud, mengemukakan berbagai macam argumentasi untuk meyakinkan kekeliruan kebijaksanaan Menteri P dan K. Uraian mereka kemudian diterbitkan sebagai buku beriudul "Masalah Ujian dan Test Masuk Sekolah" yang tahun 1974 dikeluarkan oleh Penerbit Sanggabuwana. Semua pembicara terutama meragukan kesahihan (validity) dari bahan ujian jika disusun oleh Kepala Sekolah beserta Stafnya. Oleh Dep P dan K sendiri berulang kali diberitabukan bahwa lebih dari setengahnya tenaga pengajar itu sebenarnya tidak memenuhi syarat wewenang yang ditetapkan oleh Pemerintah. Di luar P. Jawa sebagian dari Guru SD adalah lulusan SD, sedang Guru SMP hanya tamatan SMP saja. Di samping itu Kepala Sekolah beserta Stafnya yang hanya mengetahui keadaan di sekolahnya saja, mustahil bisa mendapat cukup bahan perbandingan. Karena itu mustahil mereka akan dapat menyusun bahan ujian yang terjamin kesahihannya. Padahal validitas itu harus dinilai dari segi objektivitas. Selain dari itu harus terpercaya pula kebenarannya, dan harus terjamin kegunaannya. Di luar negeri bahan ujian tidak disusun oleh sembarang Kepala Sekolah, akan tetapi oleh lembaga yang khusus diadakan untuk tujuan itu. Di negeri Belanda misalnya oleh CITO = Centraal Instituut voor Toets Ontwikkeling (Lembaga Pusat Penyusunan Test) yang berkedudukan di Arnhem. Sekolah di Inggeris sudah mempunyai tradisi ratusan tahun untuk memakai bahan ujian umum yang disusun oleh 3 universitas utama di Inggeris, yaitu: London Cambridge dan Oxford University. Hingga saat ini, meskipun sudah merdeka dan terpisah dari Inggeris, banyak Negara Persemakmuran yang tetap mempergunakan bahan ujian umum susunan ketiga universitas tadi. Jika mempergunakan "General Certificate of Education Standard Test" dari ketiga universitas tersebut tadi, siswa yang lulus itu mempunyai hak untuk diterima di sekolah yang sederajat di Inggeris maupun di semua Negara Persemakmuran. Begitu kuat anggapan orang akan kesahihan dari bahan test itu! Di Amerika Serikat ada ETS = Educational Test Services, sebuah lembaga yang mengkhususkan diri untuk melayani sekolah yang memerlukan berbagai macam bahan ujian, berkedudukan di Princeton, New Jersey, merupakan bagian dari Princeton University. Di samping itu ada beberapa perguruan tinggi yang telah lama mempunyai tradisi tiap tahun mengadakan penelitian (riset) yang seksama. Mereka menyusun bahan ujian, yang diakui kesahihannya di seluruh negeri. Yang terkenal di antaranya dari: Columbia Teachers College di New York, Stanford Uniersity di Palo Alto, California, Ohio State University di Columbus, Ohio dan dari Laboratonum Pendidikan University of Illinois di Carbondale, Illinois Lembaga-lembaga ilmiah seperti itulah yang menyuUII bahan ujian itu, dan . . . bukan sembarang Kepala Sekolah beserta Stafnya. Di samping itu baiklah diperhatikan, bahwa di manamana sekarang ini sudah menjadi kebiasaan bagi guru untuk memberi pelajaran tambahan, yang biasa disebut "les", kepada murid yang mampu untuk memberi imbalan honorarium. Mengingat kebiasaan itu, instruksi agar supaya bahan ujian itu disusun sendiri oleh Kepala Sekolah beserta Stafnya bisa disalahgunakan, sehingga yang mendapat angka bagus itu hanya murid yang diberi "les ekstra" saja. Juga jangan dilupakan, bahwa jika bahan ujian itu harus dibuat sendiri oleh Kepala Sekolah beserta Stafnya, mereka itu tidak akan sungguh-sungguh mengikuti kurikulum dan memakai buku wajib yang dibagikan oleh Dep P dan K, sebab .... pada akhirnya bahan test yang akan dipakai untuk mengukur kemampuan murid itu tokh mereka sendiri yang akan menyusunnya. Sebenarnya Ujian Sekolah itu di mana-mana tidak pernah dilaksanakan seperti diinstruksikan oleh Menteri P dan K. Untuk menjamin kesinambungan pendidikan tidak ada sekolah Pemerintah maupun Swasta yang benar-benar mengadakan Ujian Sekolah. Di DKI Jakarta misalnya semua sekolah SD, SMP maupun SMA, tiap tahun menyelenggarakan ujian pada waktu yang sama, dengan mempergunakan bahan ujian yang sama pula, yang biasanya dibuat oleh Kanwil Dep P dan K. Ujian bersama, pada waktu yang sama dengan memakai bahan ujian yang sama yang dilakukan di mana-mana di seluruh lndonesia, lebih lazim disebut "Ujian Lokal" atau "Ujian Rayon", akan tetapi tidak pernah dilaksanakan sebagai Ujian Sekolah menurut instruksi Mentri P dan K. Ini dapat difahami sebab tidak ada sekolah yang berani menanggung risiko harus menghadapi kemarahan masyarakat (termasuk anakdidik sekolah itu sendiri yang tidak lulus), jika mereka menguji dengan ujian yang berbeda, tau "mengukur dengan ukuran yang tidak sama."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus