GURU sekolah, Januari 1980, mengumumkan bahwa Filipina sedang
mencari pelajar yang ingin dibina sebagai atlet atletik. Maka
Lydia, putri polisi Manila bekas petinju, Tatang de Vega,
mencoba mendaftar ke kantor proyek Gintong Alay (mempersembahkan
emas) di Stadion Rizal Memorial.
Di situ gadis berkulit sawo matang dengan wajah agak bulat
diterima Rogelio Onofre, bekas pelari cepat Filipina yang pernah
membuntuti Moh. Sarengat (Indonesia) dan M. Jegathesan
(Malaysia) di Asian Games (Jakarta) 1962. Onofre begitu tertarik
pada gadis ini setelah diuji dalam lari 400 m. "Sekali waktu
saya akan menciptakannya sebagai Chi Cheng baru," katanya. Chi
Cheng adalah pelari wanita tercepat Asia di Asian Games 1978
(Bangkok).
Ternyata Onofre berhasil. Dalam kejurnas (Mei 1980) di Manila,
Lydia mencatat waktu 54.2 detik--lebih cepat dari rekor Asian
Games. Muncul pertama kali di Senayan (September 1980) pada
Kejuaraan Atletik ASEAN 1, Lydia mengejutkan penggemar atletik
di Jakarta, bahkan mengecutkan atlet-atlet dan ofisial Malaysia
dan Thailand. Betapa tidak? Gadis beusia 15 tahun itu bisa
mengalahkan pelari lainnya yang lebih berpengalaman seperti
Usanne Loupinkarn (Thai), Emma Tahaparry (Indonesia) dan Muntaz
Jaffar (Malaysia) di nomor 200 m (24.53 detik). Ia juga juara
400 m (55.83) selain mengantarkan tim Filipina sebagai runner-up
4 x 400 m.
Prestasi Lydia di Jakarta mungkin belum begitu meyakinkan. Tapi
penampilannya sangat mengesankan pada Kejuaraan Atletik Asia di
Tokyo, Mei 1981. Maka ia terpilih sebagai atlet Filipina pertama
yang mewakili Asia ke Piala Dunia di Roma, September lalu.
Dengan bekal pengalaman kejuaraan dunia itu, Lydia yang kini
berusia 16 tahun tak bisa dikejar pelari-pelari cepat Muangthai
dan Malaysia. Di hari pertama lomba atletik SEA Games XI di
Manila ia merebut emas, dan ia melampaui rekor Asian Games.
Dalam nomor 4 x 100 m putri, Lydia membawa tongkat terakhir regu
Filipina. Stadion Rizal Memorial bergetar karena dukungan 20.000
penonton. Ia melompat kegirangan di tengah lapangan, menyambut
karangan bunga yang dipersembahkan seorang pemuda. Presiden
Marcos pun tergerak untuk mencium pipi serta menepuk bahunya.
Ayahnya menemukan sebuah amplop dalam karangan bunga tadi.
Isinya sebuah surat yang berbunyi: "Tak ada yang saya sangsikan
bahwa kau bisa memecahkan rekor dan meraih emas. Menang atau
kalah, kau bagiku tetap nomor satu." Lydia tak membei komentar
atas kata-kata bernada asmara itu. Namun dengan wajah ceria,
gadis kelahiran Bacolod (150 km selatan Manila) itu menyeletuk,
"saya terharu. Saya tak pernah menyenangkan, karena saya sering
salah start ".
Lydia dan rekan-rekannya berlatih minimum 5 jam sehari, enam
hari seminggu sepanjang tahun. Tony Benson, pelatih Gintong Alay
berkata: "Mereka memang berlatih lima jam sehari. Jika mau
berbicara di tingkat dunia, mereka masih perlu berlatih dua kali
lipat." Lydia de Vega yang masih muda penuh semangat itu
tampaknya ingin berbicara lebih jauh lagi di tingkat dunia.
Belum terpikir pacar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini