Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejak dekade lalu, banyak pakar komunikasi memprediksi media cetak, termasuk majalah, mati dalam waktu dekat.
Pada kenyataannya, sejumlah majalah yang terbit sejak 1950-an masih ada dan punya pembaca setia.
Ada Panjebar Semangat di Surabaya, Basis di Yogyakarta, dan Mangle di Bandung.
Di usia kepala enam, ada satu kebiasaan yang sulit dilepaskan Nita Yunita sejak muda. Warga Buahbatu, Bandung, itu hampir selalu membaca Mangle, majalah lokal berbahasa Sunda, sebagai pengantar tidur. Rubrik favoritnya adalah carpon (akronim dari carita pondok atau cerita pendek), cerita bersambung, dan profil. "Saya senang membaca dalam bahasa Sunda," kata Nita, 63 tahun, pada Senin, 29 Januari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Membaca berita merupakan bagian dari keseharian Nita. Pada era digital ini, dia tetap memilih media cetak. "Lebih enak baca koran dan majalah karena lebih lengkap dan iklannya tidak mengganggu," ujarnya. Alasan lainnya, koran dan majalah mengkurasi informasi sehingga dia tidak hanyut di tengah banjir informasi ala media online.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nita berlangganan koran Pikiran Rakyat dan majalah Tempo sejak puluhan tahun lalu. Kalau kebetulan tukang koran langganannya membawa Mangle, dia beli secara eceran.
Kantor redaksi Majalah Mangle di Bandung, Jawa Barat. Google Maps
Mangle merupakan majalah hiburan dan budaya yang terbit sejak 1957. Awalnya majalah itu terbit bulanan, kemudian bergeser jadi mingguan sejak 1960-an. Bagi pembaca seperti Nita, Mangle menjadi bacaan alternatif di saat media lain sibuk membahas isu politik dan kabar selebritas.
Mangle menjadi bantahan atas prediksi banyak pakar komunikasi pada sekian dekade lalu bahwa media cetak, koran dan majalah, akan mati dalam waktu dekat. Di The Conversation, Julian Novitz, dosen komunikasi dan media Swinburne University of Technology, Melbourne, menuliskan bahwa majalah-majalah mapan, seperti Vogue dan The New Yorker, berhasil mempertahankan jumlah pembaca globalnya. Di Amerika Serikat saja, misalnya, muncul seratusan judul majalah baru per tahun.
Di Indonesia, Mangle tidak sendirian. Ada Panjebar Semangat yang terbit sejak 1933 di Surabaya dan majalah Basis di Yogyakarta sejak 1951.
Majalah kebudayaan Basis. Dok. TEMPO/ M Cholid
Hanya, pembacanya memang tidak seramai sebelum era Internet. Di toko buku besar, seperti Gramedia, majalah cetak memang masih tampak terpajang meski raknya terus menyusut dan kurang aktual. Di Gramedia Mall Ciputra, Jakarta Barat, misalnya, ada tiga rak dengan panjang masing-masing 1 meter yang kebanyakan memajang majalah gaya hidup dan arsitektur. Kebanyakan merupakan edisi November dan Desember 2023. Majalah edisi terbaru yang tersedia hanya Herworld Indonesia dan Tempo. Seorang anggota staf mengatakan kebanyakan majalah itu memang tidak terbit secara rutin.
Ada pula cabang Gramedia yang tak lagi menjual majalah. Misalnya di Grand Indonesia, Jakarta Pusat. "Sudah sejak 2023 enggak ada," kata seorang anggota staf. Pencoretan majalah dari daftar penjualan mereka didasari terus berkurangnya volume transaksi dan seiring dengan penyusutan luas toko, dari dua lantai jadi satu lantai.
Data Perpustakaan Nasional menyatakan jumlah terbitan majalah cetak memang terus menyusut, meski tidak benar-benar hilang. Berdasarkan data terakhir, per 2021, ada 35 majalah cetak yang aktif.
Terus berkurangnya jumlah majalah cetak, seperti ditulis dalam situs web Perpustakaan Nasional, tidak terlepas dari meluasnya pengaruh teknologi digital. Meski begitu, Perpustakaan Nasional menyatakan media cetak punya keunggulan ketimbang media online. Di antaranya, konten yang lebih kredibel karena melalui proses penyuntingan guna memastikan akurasi informasi, penyajian bacaan lebih mendalam, dan bersentuhan langsung dengan produk yang memberikan respons emosional tersendiri bagi pembaca.
Percetakan majalah mingguan berbahasa Jawa, Panjebar Semangat (Penyebar Semangat), di Surabaya, Jawa Timur. TEMPO/STR/Fully Syafi
Rachmah Ida, guru besar ilmu komunikasi Universitas Airlangga, mengatakan kedalaman berita dan variasi konten merupakan nilai kreatif sekaligus kelebihan media cetak. "Sebaliknya, media digital lebih menekankan kecepatan," ujarnya. Ida mengatakan media cetak masih memiliki ruang pembaca setia, di antaranya kelompok orang yang tidak terbiasa menggunakan perangkat digital.
JIHAN RISTIYANTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo