Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Makan terlalu cepat atau terlalu lama sebenarnya tidak baik untuk kesehatan. Tapi, kebanyakan orang memiliki waktu berbeda untuk menghabiskan makanannya. Bagaimana dengan makan 20 menit?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belakangan, muncul kontroversi terkait waktu makan menyusul diterbitkannya aturan makan maksimal 20 menit di warung makan atau warteg, pedagang kaki lima, lapak jajanan, dan sejenisnya selama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4 di Jawa dan Bali yang berlaku hingga 9 Agustus 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Khusus di DKI Jakarta, pengunjung yang ingin makan di tempat wajib menunjukkan surat vaksin. Banyak pelaku usaha yang menyangsikan aturan tersebut. Namun bagaimana dari sisi kesehatan jika makan dalam waktu 20 menit? Ahli Gizi Tan Shot Yen menerangkan sejatinya 20 menit adalah waktu yang cukup untuk makan.
“Waktu makan 20 menit lama buat disela minum, buat iris kentang pelan-pelan, kunyah baik-baik, cukup porsi,” ujarnya.
Apalagi, secara alamiah di menit ke-20, muncul hormon kolesistokinin, dopamin, dan leptin, yang memberi sinyal kenyang pada tubuh. Jika diberi waktu 20 menit, menurutnya tidak perlu makan dengan terburu-buru karena bisa menimbulkan efek yang kurang baik seperti kembung karena biasanya udara ikut masuk, tersedak, hingga makanan yang tidak bisa tercerna dan diserap dengan baik.
Meski demikian, Tan sejatinya tidak sepakat dengan dibukanya kembali makan di tempat selama pandemi Covid-19, walaupun itu berlaku di luar ruang sebab risiko penularan tetap bisa terjadi selama ada pengunjung lain di sana.
“Buka masker 1 detik pun risiko penularan bisa terjadi, apalagi pakai ngomong. Outdoor kalau sebelah kiri kanannya orang juga ngeri,” katanya.
Dia menyarankan agar warung makan, kafe, atau restoran sebaiknya selama angka kasus masih tinggi tetap tidak melayani makan di tempat dan makanan dibungkus dan dibawa pulang. Bila perlu, para pengelola warung makan membuat inovasi ala penjual nasi kucing. Artinya, makanan sudah dibungkus dan diberi keterangan mengenai isi di dalamnya, dengan demikian bisa meminimalisir kontak antara pembeli dan penjual.
“Tinggal ambil, enggak pakai tanya, kasih harga bujet,” jelas Tan.
Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, berpendapat dalam kondisi penyebaran Covid-19 yang masih serius, makan langsung di warung hingga restoran sebaiknya dihindari. Dia menyarankan agar makanan lebih baik dibungkus dan dibawa pulang.
"Kita harus lihat risikonya lagi tinggi," ujarnya. Kalau pun terpaksa harus makan di tempat, harus pilih yang di luar ruang dengan jarak antara pengunjung yang jauh serta adanya sirkulasi udara yang baik. Kecepatan angin di atas 50 km/jam. Sekali lagi, penularan melalui udara, Delta ini luar biasa efektif, lebih baik menurut saya take away saja," ujarnya.