Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

gaya-hidup

Masyarakat Masih Malas ke Dokter Gigi, Waspadai Akibatnya

Sakit atau tidak sakit, sebaiknya orang rutin kontrol ke dokter gigi setiap enam bulan sekali. Waspadai dampaknya bila tak pernah memeriksakan gigi.

6 Juni 2022 | 22.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 oleh Kemenkes, sebanyak 94,9 persen masyarakat perkotaan tidak pernah ke dokter gigi dalam setahun terakhir. Dari 57 persen masyarakat yang mengalami masalah gigi dan mulut, hanya 10,2 persen yang berkunjung ke dokter gigi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Spesialis prostodonsi drg. Andy Wirahadikusumah berpesan untuk tidak menunda perawatan atau pengobatan gigi demi mencegah kondisi yang semakin parah dan membuat proses pengobatan menjadi lebih kompleks bahkan berbiaya mahal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kalau sudah sakit giginya itu biasanya masalahnya sudah cukup kronis. Jadi, untuk pengobatannya atau perawatannya juga jadi lebih kompleks,” kata anggota Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) dan Ikatan Prostodonsia Indonesia (IPROSI) itu.

Menurut Andy, langkah pencegahan masalah gigi dan mulut yang sederhana bisa dilakukan sejak awal. Pencegahan tersebut antara lain menyikat gigi secara rutin dua kali sehari dengan cara yang baik dan benar ditambah kontrol rutin setiap enam bulan sekali walaupun tidak ada keluhan.

“Minimal untuk dilakukan pembersihan karang gigi. Itu sebetulnya sudah suatu langkah pencegahan yang sangat baik,” ujarnya.

Menurut pengalaman Andy, setidaknya ada dua tipe pasien, yang rajin berkunjung ke dokter gigi walau tidak ada masalah pada kesehatan gigi dan mulut serta pasien yang datang dalam keadaan sudah sakit. Ia mengatakan tipe pasien pertama biasanya lebih memiliki kesadaran terhadap kesehatan gigi dan mulut sehingga ia juga menekankan pentingnya menjadi tipe pasien pertama itu.

Ia mengatakan masih banyak orang yang merasa lebih baik datang ke dokter gigi ketika sudah sakit karena beranggapan biaya yang lebih murah daripada harus rutin kontrol. Justru sebaliknya, biaya untuk pengobatan dan perawatan menjadi lebih mahal jika pasien sudah mengalami masalah gigi dan mulut.

“Justru nanti kalau datangnya sudah sakit gigi maka biayanya lebih tinggi, perawatannya lebih kompleks, kunjungannya lebih banyak, dan ada kemungkinan giginya yang sakit ini karena kerusakan sudah cukup berat harus dilakukan pencabutan,” papar Andy.

Ketika gigi telah tanggal, masalah bukan berarti sudah selesai. Menurutnya, jika gigi tidak direstorasi maka kemungkinan dapat timbul masalah-masalah lain di kemudian hari. Jika dilakukan pencabutan, gigi memang dapat diganti dengan gigi palsu dengan bentuk semirip mungkin. Namun Andy menekankan gigi palsu, sebagus apapun itu, tidak dapat menggantikan fungsi gigi asli.

“Paling 60 sampai 70 persen fungsinya bisa semirip gigi asli. Kalau bentuk mungkin iya, tapi secara fungsi enggak bisa persis 100 persen seperti gigi asli, sarafnya enggak bisa kita rekonstruksi,” ujarnya.

Penambalan gigi juga bukan sebuah solusi yang bisa dianggap enteng. Jika kerusakan gigi sudah cukup berat, perawatan tidak berhenti pada penambalan saja. Salah satu contoh perawatan lanjutan yaitu perawatan saluran akar gigi untuk membersihkan bagian saluran akar sampai benar-benar bersih dan steril.

“Kalau memang sudah tidak bisa dilakukan lagi perawatan itu, berarti jalan terakhir harus dicabut, harus direlakan giginya. Mau enggak mau karena misalkan dipertahankan mungkin akan terjadi komplikasi yang lebih parah lagi, jadi mau enggak mau harus dilakukan pencabutan,” imbaunya.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus