Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Para peserta Borobudur Meditation Forum bermeditasi di Candi Borobudur dan sekitarnya.
Rangkaian meditasi tersebut mengandung nilai-nilai kebaikan universal dan tidak berkaitan dengan agama.
Pelataran Borobudur pada pagi dan malam hari merupakan tempat yang pas untuk bermeditasi.
Dalam guyuran hujan pagi yang berselimut kabut, 60 orang duduk bersila di sekitar stupa Candi Borobudur. Di puncak tertinggi candi Buddha berusia 1.200 tahun di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, itu, mereka khusyuk mendengarkan mantra-mantra yang memuja Buddha. Doa itu dilantunkan Acharya Changyun, pengajar Vajrayana, umat Buddha Singapura dan Taiwan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Acharya Changyun pada Ahad pagi, 21 Januari 2024, mengumandangkan mantra Bhaisajyaguru dalam iringan denting lonceng. Bhaisajyaguru dikenal sebagai penyembuhan dan pengobatan dalam Buddhisme Mahayana. Mantra itu bermakna Buddha menyembuhkan penderitaan manusia melalui ajarannya. Asisten Biku Changyun menerjemahkan mantra-mantra itu ke bahasa Inggris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peserta meditasi kemudian mengikutinya dengan membaca teks yang berisi doa-doa keselamatan, kesehatan, kesejahteraan, cinta kasih, dan perdamaian. Hujan yang membasahi tubuh mereka kemudian reda. “Ini hujan amrita (keabadian),” ujar Changyun di lokasi.
Meditasi yang dipimpin pengajar Vajrayana umat Buddha Singapura dan Taiwan di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, 21 Januari 2024. TEMPO/Shinta Maharani
Pujaan yang berlangsung di stupa menjadi penutup rangkaian meditasi pagi itu. Sebelum berdoa di stupa, Acharya Changyun dan 60 peserta meditasi mengelilingi candi sesuai dengan arah jarum jam, atau pradaksina, menuju puncak candi. Pradaksina dilakukan dengan mengelilingi relief-relief candi yang punya arti kebajikan yang tinggi. Pradaksina punya arti, bila dalam ritual ada kesalahan, kiranya kesalahan itu bisa disucikan.
Semua peserta memulai meditasi, mengabaikan hawa dingin pagi hari sebelum matahari terbit di Lapangan Kenari Borobudur. Pukul 05.00, lilin-lilin dalam gelas-gelas kecil dinyalakan. Para pendamping Acharya Changyun dari Singapura membagikan lilin dalam gelas itu kepada seluruh peserta meditasi.
Angin berembus sedikit kencang pada pagi yang basah itu setelah diguyur hujan. Mendung yang menutupi langit memayungi Borobudur. Burung-burung bercicit berpadu dengan gema lonceng meditasi.
Satu per satu peserta menutup mata dalam posisi duduk bersila ketika biku pada Mahabodhi Monastery Singapura itu merapal mantra-mantra Buddha. Setelah duduk dalam hawa dingin, pemimpin meditasi bersama asistennya mengajak seluruh peserta berdiri untuk melakukan gerakan tai chi yang berfokus pada kekuatan ketenangan. Gerakan ini memadukan fokus mental dan fisik untuk membangun kekuatan, fleksibilitas tubuh, dan kesadaran.
Meditasi Zen pada Sabtu malam juga dilakoni peserta dengan pembimbing yang berbeda. Perintis Chan Indonesia, komunitas yang berfokus pada meditasi chan—yang juga dikenal dengan Zen—Agus Santoso, memimpin meditasi itu di Svarga Bumi Borobudur yang berjarak 3 kilometer dari Candi Borobudur. Obyek wisata itu dikelilingi hamparan sawah dan pohon kelapa.
Nyaring bunyi jangkrik dan tonggeret mengiringi meditasi Zen yang berlangsung 2,5 jam itu. Meditasi ini bertolak dari tradisi di Cina yang menyebar ke Jepang. Meditasi ini berarti semadi yang mendalam.
Meditasi ini berfokus pada pikiran dengan metode sesuai dengan panduan atau instruksi pembimbing. Instruksi itu menjadi jalan agar pikiran orang yang bermeditasi tidak dibiarkan melamun. “Metode menjadi jangkar untuk meletakkan perhatian,” kata Agus.
Malam itu, Agus mengajak seluruh peserta berbaring pada sesi pertama. Dia juga melakukan body scanning meditation atau meditasi pemindaian tubuh yang berguna membantu peserta waspada terhadap diri sendiri dan mengenali tubuhnya. Pada sesi kedua, Agus mengajak peserta duduk bersila dan menjalani meditasi pemindaian tubuh.
Setelah meditasi, Agus memberi waktu kepada seluruh peserta untuk menceritakan pengalamannya mengikuti meditasi setiap sesi. Dari sekian peserta, pengalaman mereka berbeda-beda. Ada yang punya pengalaman diganggu kelelawar dari atap ruangan. Kelelawar itu menjatuhkan kedondong, tapi peserta itu tetap berusaha fokus bermeditasi meski ada perasaan takut. Ada juga peserta yang mengantuk dan tidak ingat rentetan pemindaian tubuh.
Penasihat Borobudur Writers & Cultural Festival, penyelenggara Borobudur Meditation Forum, Biku Budi Utomo Ditthisampanno, menyebutkan forum meditasi ini menjadi ajang pelatihan mengembangkan spiritualitas dalam batin. Meditasi mengajarkan konsentrasi dan praktik berkesadaran. “Mengajarkan kebijaksanaan dan menerima segala sesuatu apa adanya,” ujarnya.
Menurut Ditthisampanno, meditasi tidak berbicara agama dan nilai-nilainya bersifat universal. Inti dari meditasi adalah berkonsentrasi pada obyek tertentu dan berkesadaran. Meditasi bermanfaat untuk kehidupan manusia sehari-hari, misalnya menjadikan mereka tidak gampang marah atau membuat mereka bisa mengontrol emosi dan mengelola stres. “Meditasi bukan hanya sesuatu yang syahdu dalam doa-doa yang penuh penghayatan, tapi juga bicara kekuatan batin,” kata Ditthisampanno.
SHINTA MAHARANI (MAGELANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo