Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Melawan Ancaman Antraks

Infeksi antraks di Purwakarta, Jawa Barat, menelan tujuh korban. Untuk melawan antraks, selain divaksinasi, korban harus diberi antibiotik.

30 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAU menyengat terasa menusuk hidung. Asap masih terlihat mengepul di kawasan hutan jati Desa Ciparungsari, Kecamatan Campaka, Purwakarta, Jawa Barat, pekan lalu. Di situlah ribuan ternak burung unta milik PT Cisada Kemasuri harus dibakar setelah dinyatakan positif tertular antraks atau penyakit radang limpa. Gejala antraks di Campaka mulai tercium pada Agustus 1999. Ketika itu, pihak perusahaan curiga terhadap kematian burung peliharaannya yang mencapai 3-5 ekor per hari. Jumlah ini tergolong luar biasa karena selama ini tingkat kematian satwa impor itu paling banter seekor per bulan. ''Kami lalu menghentikan pasokan daging burung unta ke restoran-restoran, mengadakan konsultasi dengan seorang pakar penyakit menular hewan di Institut Pertanian Bogor, lalu menelitinya di Balai Penelitian Penyakit Menular Hewan di Bogor pada November 1999," ujar Beti S., manajer peternakan PT Cisada Kemasuri. Sampel burung unta yang diteliti ternyata memang terinfeksi kuman antraks. Maka, semua ternak asal Afrika itu diputuskan dibakar demi mencegah meluasnya penyebaran kuman. Namun, rakyat setempat yang tergabung dalam peternakan plasma dan menjadi pemilik ternak tersebut rupanya tidak bisa menerima keputusan itu. Mereka lantas menjarah burung itu dan menjadikan dagingnya sebagai santapan. Tindakan ngawur ini jelas bisa berakibat fatal. Sebab, antraks dapat menular ke tubuh manusia dan—bila tidak segera ditangani—akan menyebabkan kematian. Apa sebenarnya antraks? Menurut literatur kesehatan, antraks merupakan penyakit pada binatang buas ataupun hewan peliharaan yang disebabkan oleh kuman Bacillus anthracis. Ada empat jenis penyakit antraks. Yang pertama tipe kulit. Bentuknya seperti luka koreng dengan warna hitam di tengahnya. Antraks jenis ini mudah dikenali secara klinis karena bentuknya sangat spesifik. Angka kematian karena jenis ini relatif kecil. Namun, bila tak segera ditangani lalu terbawa darah atau saluran getah bening, infeksi ini akan menimbulkan radang selaput otak. Tipe kedua disebut gastroide gastinal (antraks saluran pencernaan). Jenis ini biasanya terjadi pada orang yang makan daging atau makanan yang terkena antraks. Dan karena biasanya yang diserang itu limpa, antraks tipe ini disebut sebagai radang limpa. Angka kematian karena antraks gastroide gastinal sangat tinggi, 25-75 persen. Antraks ketiga adalah tipe paru-paru (polmonal). Jenis ini banyak berjangkit di Australia dan Selandia Baru. Di sana, kuman atau spora antraks terhirup melalui wol. Adapun antraks keempat adalah tipe radang otak. Jenis terakhir ini paling berbahaya karena merupakan komplikasi: mula-mula menyerang kulit, lalu—bila tidak segera ditangani—menyebar sampai ke otak dan menyerang selaput otak. Kuman antraks susah sekali diberantas karena sanggup bertahan hidup sampai 60 tahun, baik di atas tanah maupun di sembarang tempat. Jadi, dalam kasus di Campaka, walaupun ternak burung unta itu sudah tumpas, belum tentu kuman antraksnya ikut hilang. Boleh jadi ia seperti Sleeping Beauty, si Putri Tidur, yang tengah bangkit dari tidurnya. Menurut Kepala Subdinas Zoonosis (penyakit hewan yang ditularkan kepada masyarakat) Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Kesehatan Lingkungan Permukiman, Dokter H. Widarso, M.Sc, sudah ada prosedur tetap bagi dokter puskesmas (pusat kesehatan masyarakat) di daerah untuk menangani wabah antraks. Pengobatan antraks dilakukan dengan memberikan antibiotik. Penderita tipe kulit bisa diberi penicillin procaine, tetracycline, atau erythromycin selama tujuh hari (masa inkubasi) atau salep antibiotik. Penderita tipe lain, selain diberi antibiotik, bisa juga dirujuk ke rumah sakit untuk dirawat intensif. Guna mencegah penularan kuman antraks, pertama-tama dilakukan penyelidikan epidemiologi agar karakteristik penyakitnya bisa ditentukan. Penyelidikan dilakukan dengan mengambil spesimen, baik hewan, tanah, maupun keluarga penderita. Kemudian, dilakukan pencarian kasus tambahan untuk menemukan strain yang berbeda dalam dua kali masa inkubasi. Setelah itu, diadakan penyuluhan kepada masyarakat. Buat Indonesia, kasus antraks seperti ini bukanlah yang pertama. Kasus antraks muncul pertama kali di Telukbetung pada 1984. Menurut data Departemen Kesehatan, selama sepuluh tahun terakhir ini antraks menyebar di 11 provinsi—Sumatra Barat, Jambi, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Nusatenggara Timur, Nusatenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Irianjaya—dan di 36 kabupaten/kota madya. Epidemi di Purwakarta, menurut Kepala Dinas Peternakan Purwakarta, drh. Yosi Sukmaja, merupakan epidemi terakut pertama di Indonesia. Sejauh ini, dia belum berhasil memastikan dari mana asal basil penyebab radang limpa itu, apakah dari bibit yang dibawa dari Zimbabwe, Afrika Selatan, atau dari wilayah peternakan di situ sendiri. Antraks memang pernah menyergap dua ekor kambing setempat pada 1980. Walau bisa dilokalisasi dan diatasi, bukan mustahil kumannya tetap bertahan. Untuk mengatasi serangan antraks kali ini, dinas peternakan setempat bersama beberapa lembaga penelitian telah mengisolasi lokasi sampai radius 10 kilometer—disebut ring 1—dan melakukan vaksinasi terhadap semua penduduk dan ternak yang ada di 30 desa terdekat, di antaranya Desa Ciparungsari, Cipinang, Karyamerak, Cibatu, Cirangkong, Cikadu, dan Cirende. Vaksinasi pertama dilakukan dua pekan setelah daerah itu resmi dinyatakan sebagai wilayah endemik. Vaksinasi berikutnya diberikan dua minggu kemudian dan selanjutnya setelah tiga bulan hingga mencapai enam kali dalam satu tahun. Pada daerah yang terletak di ring 2—lebih dari radius 10 kilometer dari episentrum wabah—cukup dilakukan vaksinasi sebanyak dua kali dalam setahun. Adapun sebagai langkah pencegahan, diberikan antibiotik jenis penisilin dan turunannya. Sampai Kamis pekan lalu, menurut Dokter Sidik Utoro dari Dinas Kesehatan Campaka, belum ada korban meninggal. Tapi, menurut Widarso, sudah ada tujuh orang yang diduga terinfeksi: lima di Purwakarta dan dua di Subang. Semuanya sudah diobati. Wicaksono, Arif A. Kuswardono, Upik Supriyatun (Purwakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus