Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Todung Mulya Lubis
Pengacara dan Aktivis Hak Asasi Manusia
SELAMA kurang-lebih 20 tahun terakhir ini, wacana hukum ekonomi ditandai dengan pro dan kontra tentang monopoli, oligopoli, dan persaingan tidak sehat. Banyak kalangan yang secara terang-terangan meminta agar Indonesia segera membuat antitrust act dengan melihat pengalaman negara-negara industri yang sudah lama memberlakukannya, seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Masyarakat Ekonomi Eropa. Malah, Golkar, yang pada zaman Orde Baru memegang kendali negeri ini, pernah kelepasan melontarkan perlunya Indonesia memiliki undang-undang antimonopoli. Golkar sendiri kemudian bungkam mengenai hal itu seolah pernyataan itu hanya suatu keteledoran. Tapi, pada zaman transisi ini, beberapa pembaruan hukum ekonomi dilakukan sepertinya untuk menutup kesalahan dan dosa pada zaman Orde Baru. Salah satu yang dilahirkan, pada 5 Maret 1999, adalah apa yang disebut UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dan pada 5 Maret 2000 ini, UU No. 5/1999 tersebut akan secara efektif berlaku.
Tak bisa dibantah bahwa UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat itu perlu karena kita tak ingin perekonomian negara ini hanya dikuasai oleh segelintir pengusaha yang memiliki pangsa pasar yang monopolistis dan oligopolistis. Struktur pasar seperti itu tidak hanya merugikan mekanisme pasar, yang seharusnya dituntun oleh kompetisi yang sehat, tapi juga akan merugikan pengusaha kecil dan konsumen. Pada gilirannya, yang rugi adalah juga para buruh dan negara karena pasar pada akhirnya tak dapat berperan optimal. Dalam jangka panjang, struktur perekonomian kita akan diwarnai dengan kesenjangan yang tajam, dan tidak sehat. Pertanyaannya adalah apakah UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ini mampu menghilangkan monopoli dan oligopoli dengan segala produk turunannya yang bervariasi: price fixing, price discrimination, dumping, market division, kartel, dan berbagai persekongkolan jahat lainnya. Saya khawatir akan harapan yang terlalu muluk karena pengalaman empiris di dunia membuktikan betapa sukarnya posisi dominan yang monopolistis dan oligopolistis itu dihilangkan. Malah, kecenderungan mutakhir yang kita saksikan adalah berkembang-biaknya mega-merger dengan alasan klasik efisiensi. Zaman e-mail ini malah mendorong semua industri raksasa, suka atau tidak suka, melakukan mega-merger seperti yang terjadi pada industri perbankan, asuransi, komunikasi, media, farmasi, dan sebagainya. Terakhir, kita membaca rencana mega-merger antara American Online Inc. (AOL) dan Time-Warner yang konon melahirkan raksasa bisnis dan revolusi internet. Undang-undang antitrust kelihatannya tak berdaya menghentikan semua itu. UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat melalui pasal 4, 13, 17, 18, 25, dan 27 mengatur apa yang disebut posisi dominan yang monopolistis dan oligopolistis. Penguasaan pangsa pasar 50 persen untuk monopoli dan 75 persen untuk oligopoli banyak dikritik oleh pelaku bisnis karena dianggap sebagai parameter yang keliru dalam mencegah persaingan usaha tidak sehat. Seharusnya parameter yang diberlakukan bukan posisi dominan, melainkan justru perilaku bisnis yang tidak jujur. Sebab, dalam zaman sekarang ini, sangat sulit menghilangkan posisi dominan karena keunggulan modal, manajerial, dan teknologi yang sebagian akan dilindungi (dan dikecualikan) oleh UU Paten dan berbagai rezim pengaturan internasional seperti GATT, GATS, dan TRIPs. Indonesia sebagai anggota World Trade Organization akan dipaksa menundukkan diri pada perangkat hukum ekonomi yang pada dasarnya akan lebih menguntungkan industri raksasa. Secara umum, UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sudah cukup memadai untuk mulai diberlakukan agar kita bisa memulai suatu kerja besar menata perekonomian kita yang sudah porak-poranda tanpa hukum dan etika karena selama ini ditopang oleh berbagai kemudahan dan kekuasaan. Ekonomi KKN atau crony capitalism yang rapuh itu memang akan hancur dan terkristal menjadi industri baru yang harus lebih sehat. Saya melihat bahwa UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ini cukup memadai untuk dijadikan dasar penataan karena banyak hal yang diatur, dari oligopoli, penetapan harga, diskriminasi harga, dumping, pembagian wilayah, kartel, trust, integrasi vertikal, interlocking directors (dan komisaris), konspirasi, sampai pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan sanksi (hukuman) yang bakal dijatuhkan. Persoalan kita adalah bagaimana menafsirkan pasal demi pasal dari undang-undang ini, yang kelihatannya membuka peluang bagi berbagai tafsir (multi-interpretasi). Celakanya, penjelasan undang-undang ini tidak banyak membantu, sehingga dalam perjalanannya bukan mustahil kita akan terganjal dengan banyak hambatan. Adalah tugas Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk membuat tafsir yang pas dengan kebutuhan obyektif pasar sesuai dengan semangat undang-undang ini. Pekerjaan ini tentu tidak mudah karena pada satu sisi harus mendorong terciptanya iklim bisnis yang lebih sehat tanpa monopoli dan oligopoli, tapi pada sisi lain harus juga mendorong pertumbuhan ekonomi, termasuk memasukkan modal asing, agar roda ekonomi negeri ini yang mandek bisa berputar kembali. Fitrah pengusaha, terutama pengusaha raksasa internasional, adalah untuk mencari profit sebesar-besarnya dengan tingkat efisiensi yang optimal, dan ini bukan mustahil mengarah pada posisi dominan yang monopolistis dan oligopolistis. Selain itu, persaingan glogal yang semakin sengit sekarang ini mensyaratkan suatu teknologi yang canggih yang mampu menekan ongkos produksi, sehingga berbagai pemotongan harga akan dilakukan, dan hal ini bukan mustahil dianggap sebagai bentuk persekongkolan jahat yang tidak sehat. Bayangkan, dalam kondisi sekarang ini, perekonomian Indonesia mesti bersaing dengan Cina, Korea Selatan, Thailand, dan Malaysia? Di sinilah kecermatan dan kebijaksanaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha diuji. Sebab, dalam kondisi obyektif tertentu, posisi dominan 50 persen atau 75 persen bisa jadi merupakan suatu realitas yang alami terjadi tanpa rekayasa jahat, apalagi karena usaha para pesaing memang tidak capable sama sekali. Posisi natural monopoly karena keunggulan teknologi yang terus-menerus diperbarui bisa membuat suatu posisi dominan yang tak tergoyahkan. Agaknya, suasana seketika (circumstantial situation) harus dicermati secara hati-hati dan pas. Inilah dilema yang tak mudah bagi Komisi. Dalam kaitan dengan hal itu, Komisi harus bersikap tegas terhadap yang terang-terangan melanggar undang-undang ini. Konglomerat bisnis yang secara curang menguasai pangsa pasar, menjadikan dirinya dominan, dan membuat barriers to entry bagi para pesaingnya harus dihukum, baik perdata maupun pidana. Penguasaan pasar harus dipangkas, dan sebagian dari industri itu harus dialihkan atau dilikuidasi (divestiture). Akan sangat menarik apa langkah Komisi, misalnya, terhadap penguasaan industri instant noodle, yang sekarang ini praktis dimonopoli oleh Indofood. Akan sangat menarik, misalnya, melihat tindakan Komisi terhadap posisi dominan di berbagai sektor bisnis lainnya seperti semen, terigu, dan kendaraan bermotor. Namun, perlu juga dicatat, selain Komisi, peran lembaga pengadilan termasuk Mahkamah Agung akan menjadi sangat instrumental. Jangan undang-undang ini menjadi lumpuh seperti UU Kepailitan akibat lembaga pengadilan dan Mahkamah Agung gagal dan tak memahami semangat pembaruan ekonomi yang tengah dilakukan, atau karena dikalahkan oleh berbagai praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kita ingin lembaga pengadilan dan Mahkamah Agung hadir sebagai penjaga dari keadilan dan pembaruan ekonomi di negeri ini, jangan sebaliknya: menjadi penjaga dari kesenjangan ekonomi dan berbagai persekongkolan jahat. Terakhir, tentu yang tak kalah pentingnya adalah semangat litigasi dari para pesaing yang selama ini dicurangi oleh berbagai barriers to entry. Gugat para pengusaha yang monopolistis dan oligopolistis di Komisi, pengadilan, dan Mahkamah Agung, agar tercipta pengawasan yang efektif, agar tercipta suatu yurisprudensi hukum yang bisa dijadikan acuan di masa depan. Kepada para LSM, seharusnya mereka juga tampil sebagai penjaga semangat pembaruan ekonomi yang sehat, dan kalau perlu, melalui semangat class action, mengajukan gugatan kepada mereka yang selama ini telah merugikan keadilan dan masyarakat karena berbagai bentuk persekongkolan jahat para pengusaha Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |