Sedang diupayakan dosis aman untuk terapi hormonal mengatasi keluhan. Kini dicari senjata berfungsi ganda. PEREMPUAN tak habis-habisnya diganggu. Ketika mengalami haid, tiap bulan, ia harus membiasakan diri dengan gangguan emosi dan perut mulas. Namun, ketika haid mulai berhenti saat menopause, ia masih juga dirongrong gangguan fisik maupun psikis. Sebagian keluhan yang timbul waktu menopause bisa diatasi. Ini melalui terapi hormonal dengan hormon estrogen dan progesteron atau sintetisnya. Tetapi risiko pengobatan ini cukup besar. Karena dapat mengundang kanker rahim dan kanker payudara. Kerawanan tersebut menarik perhatian beberapa peneliti Denmark untuk menelitinya. Di bawah koordinasi Bagian Kebidanan dan Kandungan Righospital, Konpenhagen, mereka mulai mencari dosis yang aman untuk pengobatan hormonal ini sejak Mei lalu. Melewati masa menopause atau stopnya menstruasi ini memang tak mudah. Beberapa gejala fisiologis akan timbul pada periode ini. Dan sangat mengganggu. Antara lain, gejolak panas di badan dan rona merah di wajah, keringat dingin, sakit kepala, pegal linu di persendian, penyempitan pembuluh darah, berdebar-debar, dan sulit tidur. Ketika menopause tiba, kegiatan seksual pada sebagian wanita terganggu. Ini karena produksi lendir, yang biasanya berfungsi sebagai "pelumas", akan menurun. Sehingga vagina jadi kering. Selain itu, penyakit keropos tulang juga diperkirakan mengancam wanita pada usia mati haid ini. Agaknya, ini merisaukan yang menopausenya datang terlalu awal, di saat kegiatan seksualnya mungkin masih tinggi. Toh, di antara rongrongan itu, yang paling menjengkelkan adalah rasa gerah yang berlebihan yang disebut hot flushes. Dalam sehari, rasa panas di sekujur tubuh bisa datang puluhan kali. Dan gejala tersebut muncul tak kenal waktu. "Bayangkan tidak enaknya bila dalam suatu resepsi, keringat melimpah, dan rasa panas merambat ke seluruh tubuh," tutur Dit Hulgard, 60 tahun. Itu sebabnya pensiunan perawat Righospital ini menjalani terapi hormonal untuk mengatasi rasa gerah, yang bisa datang 25 kali dalam sehari saja. Secara teratur, Dit Hulgard menelan pil mirip pil KB berisi campuran hormon estrogen dan progesteron. Dengan begitu, hormon estrogen dan progesteron- yang ketika menopause tak lagi beredar dalam tubuh- didatangkan lagi dari luar. Akibatnya, seperti pada wanita subur, haid bertamu lagi. "Meskipun risi karena masih berurusan dengan haid, untuk suatu kenyamanan, saya terima risiko ini," ujar Dit Hulgard. Padahal, kenyamanan tersebut dibayangi ancaman kanker rahim dan kanker payudara. Pil hormon memang bisa menggantikan hormon estrogen dan progesteron yang tak lagi diproduksi. Tapi, belum diketahui apakah jumlah hormon yang dimasukkan ke tubuh itu pas dengan kebutuhan. Sebab, kalau jumlahnya berlebihan bisa mengundang datangnya kanker. Ketika estrogen dan progesteron masih diproduksi tubuh, jumlah itu sesuai dengan kebutuhan. Pabrik estrogen, yaitu sel folikel dalam indung telur, hanya akan memproduksi sebatas permintaan. Kalau estrogen yang beredar dalam tubuh berlebihan, progesteron turun tangan. Segera saja progesteron menekan produksi estrogen yang berlebihan. Sehingga keseimbangan hormonal dalam tubuh tetap terjaga. Ini yang terjadi ketika perempuan masih subur. Tetapi, hubungan yang harmonis antara estrogen dan progesteron itu mulai terganggu ketika periode menopause, karena jumlah progesteron tidak banyak. Maka, jika estrogen masih diproduksi, peredarannya tak akan mengalami hambatan. Demikian pula kalau ternyata jumlah pil hormon tak sesuai dengan kebutuhan. Sehingga, jumlah estrogennya yang beredar dalam tubuh terlalu banyak. Itu dapat mengakibatkan reaksi berlebihan pada endometrium sel-sel lapis rahim dan payudara. Perkembangan sel berlebihan ini dikhawatirkan akan menjadi kanker. Dosis yang sesuai dengan kebutuhan tubuh kini sedang dicari tim peneliti di Righospital yang dipimpin Dr. Sven O. Skouby. Beberapa wanita yang sudah mati haid, berusia 40 hingga 60 tahun, dilibatkan menjadi kelinci percobaan. Selama setahun, mereka minum satu tablet hormon per hari. Tablet yang dicobakan itu dalam tiga variasi, antara lain, kombinasi dua miligram estradiolvalerate dengan satu miligram cyproteronacetate. Selama percobaan ini, perubahan klinis yang terjadi terus dipantau perkembangannya. Antara lain, rasa gerah, depresi, dan kekeringan vagina. Secara teratur, perkembangan rahim juga terus diamati dengan alat ultrasonografi. Untuk mengetahui ada kanker atau tidak, jaringan endometrium beberapa pasien diambil. Pengujian lain yang tak ada hubungannya dengan kanker juga dilakukan dalam penelitian ini. Tim peneliti akan mempelajari pengaruh hormon tersebut untuk melawan gejala osteoporosis atau kerapuhan tulang dan gangguan sistemik jantung dan pembuluh darah. Karena itu, banyak tes untuk menguji fungsi jantung dan uji mineral tulang. "Kami ibaratnya sedang mencari senjata yang berfungsi ganda," ujar Sven O. Skouby. Walaupun banyak tes yang harus dijalani, sejauh ini, tak menyurutkan semangat sukarelawan. Mereka memang mendapat uang Rp 150 ribu plus uang transpor untuk sekali datang. Tapi, tampaknya, bukan itu yang dituju. "Mudah-mudahan, saya dapat memberi sumbangan bagi ilmu kedokteran untuk menolong sesama," ucap salah seorang sukarelawan. Banyak yang mengacungkan jempolnya atas keberanian sukarelawan itu. Dan mereka juga tahu bahwa percobaan tersebut mengundang risiko terkena kanker. G. Sugrahetty Dyan K. (Jakarta), Bambang Purwantara ( Kopenhagen)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini