Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Terjeratnya slamet gundul

Slamet gundul, pemimpin komplotan perampok nasabah bank berhasil ditangkap di daerah morokrembangan, surabaya. setelah beberapa kali sempat lolos. kini ia ditahan di polwiltabes surabaya.

29 Juni 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selama hampir delapan tahun malang melintang di dunia kejahatan, Slamet Gundul tertangkap. Berikut petualangannya. DEBUT si raja rampok Slamet Gundul, 36 tahun, Minggu pekan lalu kandas di Surabaya. Lelaki berpipi tembam, hidung lebar, tanpa lipatan kelopak mata itu bukanlah rampok sembarang rampok. Selama sewindu ini ia malang melintang di Jakarta dan berbagai kota besar lainnya di Pulau Jawa, dengan rekor sedikitnya 55 kali melakukan perampokan. Hampir selama itu pula ia beberapa kali digerebek polisi, bahkan pernah tertangkap, tapi lolos lagi. Dua tahun lalu, ia bersama tujuh kawanannya dicegat tim tangguh reserse Polda Ja-Teng, Unit Sidik Sakti, ketika mobil yang ditumpangi kawanan itu hendak mengisi bensin di sebuah pompa bensin di Klaten. Tembak-menembak terjadi. Tiga kawanan itu terkapar disambar peluru, seorang di antaranya tewas. Tapi Slamet, yang terluka di kedua bahunya, masih sempat kabur dengan sepeda motor yang dirampasnya ketika itu juga. Sejak itu Direktur Mabes Polri, ketika itu, Koesparmono Irsan memerintahkan jajaran polisi agar menangkap Slamet hidup atau mati. Polda Jawa Tengah menjanjikan hadiah Rp 5 juta bagi anggotanya yang berhasil menangkap perampok nekat dan licin itu. Tapi bukan Slamet namanya bila segera tertangkap. Lelaki bertato naga dan wanita pada lengannya itu selalu lolos. Ia, kabarnya, suka berganti nama. Kadang-kadang ia bernama Slamet Santoso, lain waktu Samsul Gunawan. Di kalangan teman-temannya, Slamet, yang punya nama asli Supriadi itu, biasa dipanggil "Nyo" atau "Gundul", karena suka memotong rambutnya dengan model plontos. Tempat tinggalnya pun selalu pindah-pindah. Belum setahun di Surabaya, misalnya, sudah enam kali ia pindah kontrakan. Baru pada bulan lalu polisi Surabaya mengendusnya. Ketika itu polisi meringkus tujuh kawanan bandit yang beroperasi di Pasar Turi, di antaranya bernama Supriadi. Namun, di pemeriksaan, Supriadi tak terbukti terlibat. Hari itu juga dia dilepas. Sebulan kemudian polisi mendapat info bahwa Supriadi itu tak lain dari Slamet Gundul. Semua petugas disebar ke lapangan sambil mengantungi ciri-ciri Slamet Gundul. Dua rumah kontrakan "Supriadi" di Dukuh Kupang dan Putat Jaya digeledah. Ternyata dia telah raib. Belakangan polisi mendapat kabar bahwa buron itu tinggal di daerah Banyuurip Kidul. Tapi ketika polisi sampai ke situ, gembong perampok itu sudah pindah. Kabar terakhir didapat dua pekan lalu. Penjahat itu, kabarnya, sedang beroperasi di daerah Morokrembangan. Petugas berpakaian preman segera mengurung daerah yang dikenal cukup rawan kejahatan itu. Setelah menunggu selama satu setengah jam, polisi melihat "Supriadi" naik becak dari arah Jalan Perak. Lelaki berkaus merah jambu lengan panjang dengan celana panjang warna hijau itu, begitu turun dari becak, berjalan terburu-buru menuju jalan Krembangan Bhakti. Polisi langsung menghampiri dan menegur dengan ramah. "Kamu Poniman, ya?" tanya petugas, yang sengaja memanggil dengan nama Poniman, teman kecil Slamet Gundul. "Lho, pak ini gimana. Kan saya sudah bebas," jawab Supriadi kepada Kanit Resmob Polwiltabes Surabaya, Kapten Oerip Soegianto. Petugas tetap meng- gelandang Supriadi masuk ke mobil. Ternyata tak salah, ia memang Slamet Gundul. Lelaki berbadan kekar dengan tinggi sekitar 160 cm itu merintis kariernya dari bawah. Dalam pengakuannya kepada polisi, ia memulai debutnya dari mencongkel kendaraan bermotor sampai menodong nasabah bank. Akibat perbuatan itu, ia pernah ditahan 1 bulan di Polres Jakarta Utara, 8 bulan di Polres Jakarta Selatan, dan 4 bulan di Polda Metro Jaya. Malah pada 1987 ia bersama dua kawannya sempat diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Saat itu mereka divonis masing-masing 3 tahun penjara. Tapi, ketika digiring kembali ke mobil tahanan, Slamet mendorong pengawalnya dan segera lari. Petugas hanya sempat memegang seorang bandit, sementara Slamet dan temannya kabur dengan sepeda motor, yang hebatnya sudah menunggu di luar pekarangan pengadilan. Setelah itu, daerah operasi Slamet berpindah ke Jawa Tengah. Hanya dalam setahun, di Semarang, komplotan Slamet dalam berbagai perampokan menjarah Rp 159,5 juta. Di Kendal ia menyabet uang pedagang tembakau Rp 23 juta, juragan ikan Rp 40 juta, dan milik Universitas Islam Sultan Agung Rp 34 juta. Komplotan ini juga menyikat uang Rp 28,5 juta milik nasabah BCA cabang Peterongan dan Rp 34 juta dari karyawan PT Nyonya Meneer. Setelah tembak-menembak dengan polisi di Klaten, pada Juli 1989, Slamet menghilang. Ia, konon, "bertapa" selama enam bulan di tempat kelahirannya, Malang. Setelah itu, ia mulai menjarah Jawa Timur. Kini, di tahanannya di sel Polwiltabes Surabaya, Slamet dijaga ekstraketat. Lima petugas secara bergiliran menjaga selnya. Sebuah kamera dipasang untuk mengintip gerak-geriknya. Petugas pemeriksa selain dari Surabaya juga datang dari Polda Ja-Teng dan Polda Metro Jaya. Toh, seperti kata Kadit Serse Polwiltabes Surabaya, Letkol. Indarto, pemeriksaan gembong perampok itu berjalan alot. Ia, misalnya, membantah mengacung-acungkan granat ketika bentrok dengan polisi di Klaten. Padahal, granat itu sudah ditemukan polisi bersama dua buah batu kali yang konon dipakai Slamet sebagai jimat- hanya dua senjata pistol kaliber 32 dan 38 perampok itu yang masih dicari. Baru setelah polisi mengorek keterangan dari istrinya, Marni, Slamet mengakui perihal granat itu. "Pemeriksaan terhadap Slamet Gundul jangan tergopoh-gopoh. Dia akan bungkam jika dikasari," kata Kapolda Ja-Tim, Mayjen. Koesparmono Irsan. Ketika bertemu TEMPO, Slamet Gundul yang bersorot mata tajam kelihatan tenang. "Saya merasa kejahatan saya ini biasa-biasa saja," katanya enteng. "Tapi saya sekarang sudah kapok dan tak ingin meloloskan diri lagi," tambahnya. Gatot Triyanto, Kelik M. Nugroho, dan Heddy Lugito

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus