Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIARA Savitri selalu disibukkan oleh banyak kegiatan, dari menggelar acara tentang lupus, berbisnis, hingga mengurus anak. Pendiri Yayasan Lupus Indonesia ini juga mesti berlatih karena tiga bulan lagi akan mendaki salah satu gunung tertinggi di dunia, Kilimanjaro.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setumpuk agenda itu merupakan cara Tiara, 50 tahun, untuk menolak tunduk kepada lupus eritematosus sistemik. Penyakit autoimun ini menyerangnya sejak 1987. Dulu, penyakitnya tergolong berat. Ginjal Tiara pernah bocor dan bobotnya naik dari 55 kilogram menjadi 120 kilogram. Tapi, karena berdisiplin, ia berhasil mencapai masa remisi-kondisi layaknya orang normal-dan tak perlu mengkonsumsi obat. Sembilan belas tahun terakhir, penyakit itu "tidur" dalam tubuhnya. "Pernah beberapa kali flare-up (kumat), kembali terkendali setelah beberapa hari minum obat," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perkara penghentian konsumsi obat kerap jadi bahan obrolan para penyandang penyakit autoimun. Sejak sekitar dua tahun yang lalu, misalnya, ada informasi yang menyarankan penghentian penggunaan steroid-salah satu obat utama lupus. Steroid disebut memiliki banyak efek samping, dari kerapuhan tulang sampai kebutaan. Info yang simpang-siur ini membuat Departemen Penyakit Dalam Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, mengambil tema penghentian obat dalam peringatan Hari Lupus Sedunia, Senin dua pekan lalu.
Lupus, kata dokter spesialis penyakit dalam konsultan alergi imunologi Iris Rengganis, adalah salah satu jenis penyakit autoimun sistemik yang mengakibatkan peradangan kronis. Sistem imun yang semestinya melindungi tubuh justru menyerang organ, antara lain otak, mata, mulut, paru-paru, lambung, hati, kulit, dan rahim.
Ada beberapa obat yang biasanya digunakan untuk mengatasi peradangan akibat sistem imun yang salah sasaran itu. Dokter spesialis penyakit dalam konsultan alergi imunologi Nanang Sukmana mengatakan, kalau penyakit masih ringan, remedinya adalah aspirin dan obat anti-peradangan non-steroid. Bila ada ruam kulit dan sariawan, obat antimalaria bisa ditambahkan. Jika penyakit sudah berat, dibutuhkan steroid.
Dalam situs National Resource Center on Lupus, yang dibuat Lupus Foundation of America, disebutkan bahwa steroid dirancang bekerja seperti hormon alami yang diproduksi oleh badan, terutama kortisol yang bertugas mengatur tekanan darah dan sistem kekebalan tubuh serta menjadi hormon anti-inflamasi terkuat. Pada orang dengan lupus, produksi kortisol terganggu sehingga dibutuhkan kortisol buatan untuk membantu mengatasi peradangan.
Namun penggunaan obat ini berdampak munculnya jerawat, wajah membulat dan bengkak (moon face), perut membuncit tapi lengan dan kaki kecil, berat badan bertambah, kulit gampang memar, agitasi, insomnia, serta depresi. Pemakaian jangka panjang akan meningkatkan risiko infeksi, kerapuhan tulang, kelemahan otot, glaukoma, dan katarak.
Konsumsi obat ini bisa dihentikan asalkan penyakit sudah benar-benar terkendali sampai pasien mencapai kondisi remisi. Untuk sampai pada tahap ini, pasien mesti mematuhi aturan dokter dan menjalankan pola hidup sehat. Kalau penyakit tertangani, dokter akan menurunkan dosis obat itu pelan-pelan. "Jika terlalu cepat menurunkan dosis, penyakit akan kambuh lagi," kata dokter spesialis penyakit dalam konsultan reumatologi Sumariyono.
Dokter nefrologi atau ilmu ginjal dari Milan, Italia, Gabriella Moroni, dan koleganya menemukan bahwa terapi obat terhadap 52 dari 161 pasien lupus yang diteliti bisa dihentikan. Mereka dibagi menjadi dua kelompok. Sebanyak 32 pasien dalam kelompok A rata-rata butuh 98 bulan untuk menghentikan pengobatan. Sedangkan 20 lainnya yang masuk kelompok B hanya perlu sekitar 31 bulan. Ternyata penyakit di kelompok B lebih cepat kambuh ketimbang di kelompok A.
Tiara, yang dulu membutuhkan lebih dari 10 jenis obat sekali minum saat lupusnya kambuh, berbagi tip menuju remisi. Selain mematuhi anjuran dokter, ia selalu mengendalikan emosi, hidup sehat dengan berolahraga 30 menit tiap hari, serta makan makanan bergizi seimbang. Anaknya, Kemal Syakurnanda, 19 tahun, yang terdiagnosis lupus tujuh tahun silam, pun mencapai remisi dengan cara yang sama. Kemal bisa lepas obat dua tahun setelah terdiagnosis. "Saya ketat banget soal itu," kata Tiara.
Nur Alfiyah
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo