"SAMPAI ke langit pun akan saya hadapi, bila itu menyangkut
tanggungjawab saya sebagai ketua suatu organisasi", komentar
Zulharmans, Ketua PWI Jaya terhadap putusan perdata yang
menyangkut dirinya. Hakim Abdul Samad SH dua pekan lalu
memerintahkan Z meminta maaf secara terbuka kepada Azhar Achmad
SH, bekas Ketua Lembaga Pembela Wartawan Jakarta melalui dua
buah suratkabar.
Bukan saja Z yang menyatakan naik banding terhadap putusan itu.
Juga M. "Saya tidak senang, meskipun menang", katanya. "Baru
sekali ini, seingat saya, ada putusan pengadilan di mana
tergugat diharuskan minta maaf lewat koran". Dalam gugatannya
tahun lalu AA minta Z diharuskan membayar ganti rugi Rp 500
juta. Bersamaan dengan gugatan perdata, AA juga mengajukan
pengaduan ke kejaksaan.
Sengketa perdata ini bertolak dari masalah batalnya pertemuan
pers degan instansi-instansi penegak hukum tingkat pusat 24 Juni
1976. Waktu itu A ditunjuk sebagai ketua pelaksana pertemuan.
Pada 22 Juni ada surat pembatalan pertemuan dari Ketua PWI Jaya
-- dengan alasan pertemuan tersebut tidak diketahui oleh PWI
Pusat. Keesokan harinya AA mengundurkan diri dari jabatannya
selaku Ketua Lembaga Pembela Wartawan Jakarta.
Dalam siaran persnya, PWI Jaya mengatakan bahwa pembatalan
pertemuan pers tersebut dilakukan karena panitia tidak
melaksanakan garis-garis kebijaksanaan PWI Jaya. Maka untuk
menghindari ekses negatif, setelah berkonsultasi dengan PWI
Pusat dan Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika, PWI Jaya mengambil
sikap demikian. Pelaksanaan pertemuan itu selanjutnya ditangani
PWI sendiri. PWI Jaya menerima pengunduran diri AA.
Atas siaran pers tersebut Azhar minta supaya diadakan rapat
anggota PWI Jaya. Tapi permintaan itu tak mendapat tanggapan. AA
kemudian merasa namanya dicemarkan. Itulah yang mendorongnya
mengajukan gugatan perdata ke alamat Z, Ketua PWI Jaya, dan
Harmoko, Ketua PWI Pusat dan Pemimpin Redaksi Pos Kota. Menurut
dia, Z dan H telah menyalahi prosedur organisasi dengan maksud
mencemarkan nama baiknya.
Para tergugat menolak gugatan tersebut, karena tidak jelas dan
sangat prematur. Z maupun H samasekali tak bermaksud mencemarkan
nama baik yang bersangkutan. Kalaupun PWI mengeluarkan siaran
pers, maksudnya hanya supaya masyarakat jangan sampai salah
mengerti. Para tergugat sekarang balik menggugat AA untuk
membayar pula Rp 500 juta.
Dalam keputusan pengadilan tersebut, hakim mengingatkan Z untuk
membayar uang paksa Rp 50 ribu setiap hari ia lalai melaksnnakan
perintah pengadilan. Juga supaya Z mencabut siaran pers PWI
Jaya, Juni 196, yang menurut pengadilan mencemarkan nama baik
AA. Lalu tentang H, menurut pengadilan, ia tak terbukti ikut
bertanggunawab atas kekisruhan sipil itu. H hanya memuat siaran
pers PWI dalam koran yang dipimpinnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini