UNTUK mengikis penyelundupan yang sudah jadi penyakit kronis,
pemerintah memakai perangsang. Berdasarkan ketentuan yang sudah
diatur Menteri Keuangan, para petugas yang berhasil mengagalkan
penyelundupan akan diberi premi. Dibayarkan setelah perkara
divonis dan barang sitaan usai dilelang.
Porsinya adalah 45% dari hasil pelelangan. Sisanya disetor untuk
negara. Dari jumlah itu, 40% untuk petugas penangkap, seperti:
Bea Cukai, Polri, atau petugas lainnya. Yang 2,5% untuk petugas
penuntut perkara Kejaksaan) dan 2,5% lagi untuk petugas yang
mengadili perkara (Pengadilan). Ini semuanya diharapkan akan
menggalakkan para petugas untuk menjaga sumber pendapatan
negara.
Tetapi lain teori, lain pula prakteknya. Di daerah Riau yang
termasuk paling rawan dalam hal penyelundupan, cerita tentang
uang premi lebih banyak menimbulkan rasa mangkel, apalagi
merangsang. Kenapa? "Belum pernah sekalipun kenal uang premi
itu, kecuali kasus penyelundupan pasir timah," kata seorang
jaksa di Tanjung Pinang. Ia sudah beberapa tahun bertugas disitu
dan beberapa kali berhasil membekuk penyelundup. Ia bahkan pernah
menangkap sejumlah 46 karung tekstil, 3 tahun lalu. Perkaranya
pun sudah divonis. Tapi sampai sekarang masih gigit jari saja.
"Betul-betul ada premi itu, atau cuma angin sorga," ujarnya
sinis.
"Ada sih ada, tapi boleh dihitung dengan jari," kata Bay Mastur
SH, seorang hakim di Pengadilan Tanjung Pinang. Ia banyak
menyidangkan perkara penyelundupan. Seorang Kapten Polisi di
Kabag Intelpam Kores 404 Kepulauan Riau juga hanya angkat bahu.
Ia sudah setahun bekerja. Banyak perkara sudah dihantarkannya,
namun yang bernama premi itu baru sekedar cerita. "Entah, kalau
nanti-nanti," katanya dengan tertawa.
Seretnya premi sebenarnya disebabkan karena sulitnya urusan
pelelangan barang-barang bukti. Menurut pembantu TMro, Rida K.
Liamsi, pelelangan besar hanya terjadi pada 1978 dengan omzet Rp
200 juta. Padahal tumpukan barang hasil lelangan di dalam gudang
kabarnya mencapai harga Rp 3 milyar. Sedang dalam periode 1979
ini belum kedengaran sepotong barangpun yang ditawarkan.
"Ada yang sampai 6 bulan, bahkan setahun, belum beres-beres
juga," kata Laksamana Sudomo ketika sempat berkunjung ke
Pekanbaru bulan lalu. Ia menyaksikan sendiri di gudang Bea Cukai
Tanjung Balai (Karimun) bagaimana menggunungnya barang bukti
yang sudah divonis 3-4 tahun yang lalu. Ia berjanji akan
membicarakan soal itu lebih lanjut kepada Departemen Keuangan,
Perdagangan dan Kejaksaan.
Sementara itu dalam menguber premi, tampaknya para petugas lebih
bergairah melacak penyelundupan pasir timah. "Preminya besar dan
uangnya cepat keluar," kata Santun Napitupulu SH, hakim di
Tanjung Pinang. Sebagai misal ia menunjuk kasus timah La Onga,
dengan omzet 10 ton, pertengahan tahun lalu. Waktu itu
Pengadilan Negeri Tanjung Pinang kebagian premi Rp 600 ribu.
Pada kesempatan lain, Bay Mastur SH terus terang mengakui
pengadilan sempat mengantongl premi dari pasir timah sebesar Rp
1,5 juta. Padahal waktu itu pengadilan hanya berhak menerima
15%. Adapun 15% lainnya untuk kejaksaan dan 40% untuk petugas
penangkap. Waktu itu satu kasus penyelundupan pasir timah yang
berhasil divonis, dalam tempo 2 bulan preminya sudah muncul.
Cara pembagian premi merupakan cerita yang berlain-lainan di
masing-masing instansi Banyak instansi merasakannya sebagai
rezeki sesat yang harus dibagi serata mungkin. "Saya punya cara
sendiri," kata Muri SH, ketua Pengadilan Tanjung Pinang. Di sana
mulai dari tukang sapu, tukang ketik mendapat bagian. Kejaksaan
Tanjung Pinang juga berbuat serupa. Bahkan di kalangan Bea Cukai
juga berlaku pembagian yang samar. Tentang bagian masing-masing
tetap dirahasiakan. "Pokoknya lebih besar dari premi hasil
menyidangkan tekstil, " kata Santun .
Jumlah Premi berbeda
Di Jakarta, Kepala Bagian (Kabag Keamanan Perum Angkasa Pura,
Mayor TNI-AU Sudibjo, selaku komandan Satpam Pelabuhan Udara
Halim dan Kemayoran menjelaskan, beberapa perusahaan
letlerbangan asing telah minta bantuannya memperketat
penelitian. Dalam kasus kepergoknya beberapa usaha penyelundupan
emas belakangan ini, Sudibjo menganggapnya sebagai prestasi para
petugasnya.
Sudah 2 kali petugas Satpam ini menangkap penyelundupan emas.
Yang pertama di tahun 1976, meliputi 12 kg emas yang gagal
diselundupkan masuk wilayah Indonesia oleh salah seorang
penumpang dari Singapura. Kedua di bulan September yang lalu,
sebanyak 37 kg emas nyaris lolos diselundupkan ke luar negeri.
Untuk prestasi di tahun 1976 petugas Satpam memperoleh premi
dari pemerintah pada Agustus 1979. Besarnya, Sudibjo tidak mau
membocorkan. "Pokoknya sesuai dengan presentasi yang
dijanjikan," ujarnya. Kemudian ia menambahkan "Tapi kita nggak
ngarep-arep premi dalam tugas ini. Itu nomor dualah. Ia tidak
sependapat bahwa premi bisa mengakibatkan para petugas mempunyai
pamrih dalam tugasnya. "Itu sudah saya katakan. Premi itu
nomordua," katanya.
Premi tersebut diakui oleh Sudibjo tidak sama jumlahnya. "Yah,
pokoknya bagi yang menangani langsung jelas berbeda jumlahnya,
tapi seluruh anggota dapat bagian," kata Sudibjo. Tentang apakah
ia sudah menerima premi untuk suksesnya yang kedua, Mayor itu
menjawab secara tak langsung. "Karena angdulu kita juga
terima, maka sekarang kita monitor pula."
Hary Suwanto (46 tahun) Komandan Peleton di Halim menceritakan
bagaimana terjadinya pembekukan penyelundup 3 tahun yang lalu.
Sekitar pukul 9.30 dari pesawat SIA seorang penumpang turun
dengan tingkah mencurigakan. Hary mengincernya dengan tekun.
Pnumpang itu tak berhasil mengelabui petugas imigrasi, karena
paspornya sudah kadaluwarsa. Ia dipersilahkan ke ruang
tunggu untuk dikembalikan ke Singapura.
"Ini kok aneh," fikir Hary. Ia terus memperhatikan. Orang itu
gelisah bolak-balik menenteng tas kian-kemari. Dua rekan Hary
kemudian memeriksanya Handy Metal Detector di tangan petugas
menyampaikan alarm, tanda ada barang keras ditubuh
penumpang. "Tapi anehnya orang itu tampak tenang-tenang
ketika dibawa ke ruang periksa," lanjut Hary. Setelah ditanya,
orang itu mengaku membawa Coin. Tapi setelah digertak, ia
mengaku bawa gold (emas). Hary terperanjat, lalu meraba tubuh
orang itu. Ketemu 9 batangan emas a 1 kg yang melilit di
perutnya. "Disusun seperti tempat magasin dan sudah diatur
rupanya," kata Hary mengingat-ingat.
Setelah digeledah lagi, di pergelangan kakinya ditemukan 2
batangan emas lagi. Total kemudian tak kurang dari 12 kg emas.
Toh orang itu tampak tetap tenang. Bahkan ia menawarkan sogokan.
"Pertama ia bilang agar kita menerima uang sebesar sertus ribu
rupiah yang ia bawa," kata Hary. Setelah ditolak, ia menawarkan
2 batang. Hary purapura menerima, "Boleh, tapi jangan di sini,
di kantor saya disana," katanya sambil menunjuk arah Posko yang
tak jauh dari terminal.
"Saya sengaja berbuat demikian karena kalau di ruang periksa itu
saya hanya sendirian," kata Hary menjelaskan, "jadi lebih baik
saya periksa orang itu di kantor dan banyak saksinya."
Sesampainya di Posko, kemudian Hary langsung memeriksa kembali
lantas menyerahkan penyelundup itu ke pihak administratur
pelabuhan.
Ditanya bagaimana perasaannya ketika ditawari dua batang emas
Hary menjawab: "Saya sama sekali tak terpengaruh, fikiran
panjang saya masih normal.'' Sebuah jawaban ksatria yang
mudah-mudahan juga bisa dilakukan oleh semua petugas pembekuk
penyelundup. Hary terjun ke ABRI sejak tahun 1951. "Saya cari
yang wajar saja," katanya menjelaskan.
Terhadap premi yang diterimanya bulan Agustus yang lalu, ia
hanya kasih komentar: "Soal premi itu kan materiil sifatnya.
Saya lebih meghargai yang bersifat spiritual untuk mendorong
tugas." Ia tak mau menyebutkan berarti jumlah yang diterimanya.
"Cukup berarti untuk keperluan membiayai rumah tangga,
pokoknya," tambah Hary. Ia mengaku terus terang, baru sekali
itulah ia dicoba disogok penyelundup.
Dengan adanya premi sekarang, Hary tidak tahu apakah
penyelundupan makin surut atau malahan meningkat. Lelaki yang
sudah punya 9 orang anak ini hanya bisa berkata: "Saya fikir
penyelundup harus menyadari, bahwa kewaspadaan kita selalu akan
mencium perbuatan mereka." Lebih dari itu, yang bisa diketahui
dari lelaki ini adalah bahwa ia pendiam dan mengaku kurang
senang dengan publikasi yang menyangkut dirinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini