Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Menangkap penyelundup, dengan dan...

Untuk mengikis penyelundupan, pemerintah memberi uang premi bagi petugas yang berhasil menggagalkan penyelundupan. tapi riau belum dapat pembagian. ternyata, jumlahnya tidak sama untuk setiap instansi. (sd)

3 November 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUK mengikis penyelundupan yang sudah jadi penyakit kronis, pemerintah memakai perangsang. Berdasarkan ketentuan yang sudah diatur Menteri Keuangan, para petugas yang berhasil mengagalkan penyelundupan akan diberi premi. Dibayarkan setelah perkara divonis dan barang sitaan usai dilelang. Porsinya adalah 45% dari hasil pelelangan. Sisanya disetor untuk negara. Dari jumlah itu, 40% untuk petugas penangkap, seperti: Bea Cukai, Polri, atau petugas lainnya. Yang 2,5% untuk petugas penuntut perkara Kejaksaan) dan 2,5% lagi untuk petugas yang mengadili perkara (Pengadilan). Ini semuanya diharapkan akan menggalakkan para petugas untuk menjaga sumber pendapatan negara. Tetapi lain teori, lain pula prakteknya. Di daerah Riau yang termasuk paling rawan dalam hal penyelundupan, cerita tentang uang premi lebih banyak menimbulkan rasa mangkel, apalagi merangsang. Kenapa? "Belum pernah sekalipun kenal uang premi itu, kecuali kasus penyelundupan pasir timah," kata seorang jaksa di Tanjung Pinang. Ia sudah beberapa tahun bertugas disitu dan beberapa kali berhasil membekuk penyelundup. Ia bahkan pernah menangkap sejumlah 46 karung tekstil, 3 tahun lalu. Perkaranya pun sudah divonis. Tapi sampai sekarang masih gigit jari saja. "Betul-betul ada premi itu, atau cuma angin sorga," ujarnya sinis. "Ada sih ada, tapi boleh dihitung dengan jari," kata Bay Mastur SH, seorang hakim di Pengadilan Tanjung Pinang. Ia banyak menyidangkan perkara penyelundupan. Seorang Kapten Polisi di Kabag Intelpam Kores 404 Kepulauan Riau juga hanya angkat bahu. Ia sudah setahun bekerja. Banyak perkara sudah dihantarkannya, namun yang bernama premi itu baru sekedar cerita. "Entah, kalau nanti-nanti," katanya dengan tertawa. Seretnya premi sebenarnya disebabkan karena sulitnya urusan pelelangan barang-barang bukti. Menurut pembantu TMro, Rida K. Liamsi, pelelangan besar hanya terjadi pada 1978 dengan omzet Rp 200 juta. Padahal tumpukan barang hasil lelangan di dalam gudang kabarnya mencapai harga Rp 3 milyar. Sedang dalam periode 1979 ini belum kedengaran sepotong barangpun yang ditawarkan. "Ada yang sampai 6 bulan, bahkan setahun, belum beres-beres juga," kata Laksamana Sudomo ketika sempat berkunjung ke Pekanbaru bulan lalu. Ia menyaksikan sendiri di gudang Bea Cukai Tanjung Balai (Karimun) bagaimana menggunungnya barang bukti yang sudah divonis 3-4 tahun yang lalu. Ia berjanji akan membicarakan soal itu lebih lanjut kepada Departemen Keuangan, Perdagangan dan Kejaksaan. Sementara itu dalam menguber premi, tampaknya para petugas lebih bergairah melacak penyelundupan pasir timah. "Preminya besar dan uangnya cepat keluar," kata Santun Napitupulu SH, hakim di Tanjung Pinang. Sebagai misal ia menunjuk kasus timah La Onga, dengan omzet 10 ton, pertengahan tahun lalu. Waktu itu Pengadilan Negeri Tanjung Pinang kebagian premi Rp 600 ribu. Pada kesempatan lain, Bay Mastur SH terus terang mengakui pengadilan sempat mengantongl premi dari pasir timah sebesar Rp 1,5 juta. Padahal waktu itu pengadilan hanya berhak menerima 15%. Adapun 15% lainnya untuk kejaksaan dan 40% untuk petugas penangkap. Waktu itu satu kasus penyelundupan pasir timah yang berhasil divonis, dalam tempo 2 bulan preminya sudah muncul. Cara pembagian premi merupakan cerita yang berlain-lainan di masing-masing instansi Banyak instansi merasakannya sebagai rezeki sesat yang harus dibagi serata mungkin. "Saya punya cara sendiri," kata Muri SH, ketua Pengadilan Tanjung Pinang. Di sana mulai dari tukang sapu, tukang ketik mendapat bagian. Kejaksaan Tanjung Pinang juga berbuat serupa. Bahkan di kalangan Bea Cukai juga berlaku pembagian yang samar. Tentang bagian masing-masing tetap dirahasiakan. "Pokoknya lebih besar dari premi hasil menyidangkan tekstil, " kata Santun . Jumlah Premi berbeda Di Jakarta, Kepala Bagian (Kabag Keamanan Perum Angkasa Pura, Mayor TNI-AU Sudibjo, selaku komandan Satpam Pelabuhan Udara Halim dan Kemayoran menjelaskan, beberapa perusahaan letlerbangan asing telah minta bantuannya memperketat penelitian. Dalam kasus kepergoknya beberapa usaha penyelundupan emas belakangan ini, Sudibjo menganggapnya sebagai prestasi para petugasnya. Sudah 2 kali petugas Satpam ini menangkap penyelundupan emas. Yang pertama di tahun 1976, meliputi 12 kg emas yang gagal diselundupkan masuk wilayah Indonesia oleh salah seorang penumpang dari Singapura. Kedua di bulan September yang lalu, sebanyak 37 kg emas nyaris lolos diselundupkan ke luar negeri. Untuk prestasi di tahun 1976 petugas Satpam memperoleh premi dari pemerintah pada Agustus 1979. Besarnya, Sudibjo tidak mau membocorkan. "Pokoknya sesuai dengan presentasi yang dijanjikan," ujarnya. Kemudian ia menambahkan "Tapi kita nggak ngarep-arep premi dalam tugas ini. Itu nomor dualah. Ia tidak sependapat bahwa premi bisa mengakibatkan para petugas mempunyai pamrih dalam tugasnya. "Itu sudah saya katakan. Premi itu nomordua," katanya. Premi tersebut diakui oleh Sudibjo tidak sama jumlahnya. "Yah, pokoknya bagi yang menangani langsung jelas berbeda jumlahnya, tapi seluruh anggota dapat bagian," kata Sudibjo. Tentang apakah ia sudah menerima premi untuk suksesnya yang kedua, Mayor itu menjawab secara tak langsung. "Karena angdulu kita juga terima, maka sekarang kita monitor pula." Hary Suwanto (46 tahun) Komandan Peleton di Halim menceritakan bagaimana terjadinya pembekukan penyelundup 3 tahun yang lalu. Sekitar pukul 9.30 dari pesawat SIA seorang penumpang turun dengan tingkah mencurigakan. Hary mengincernya dengan tekun. Pnumpang itu tak berhasil mengelabui petugas imigrasi, karena paspornya sudah kadaluwarsa. Ia dipersilahkan ke ruang tunggu untuk dikembalikan ke Singapura. "Ini kok aneh," fikir Hary. Ia terus memperhatikan. Orang itu gelisah bolak-balik menenteng tas kian-kemari. Dua rekan Hary kemudian memeriksanya Handy Metal Detector di tangan petugas menyampaikan alarm, tanda ada barang keras ditubuh penumpang. "Tapi anehnya orang itu tampak tenang-tenang ketika dibawa ke ruang periksa," lanjut Hary. Setelah ditanya, orang itu mengaku membawa Coin. Tapi setelah digertak, ia mengaku bawa gold (emas). Hary terperanjat, lalu meraba tubuh orang itu. Ketemu 9 batangan emas a 1 kg yang melilit di perutnya. "Disusun seperti tempat magasin dan sudah diatur rupanya," kata Hary mengingat-ingat. Setelah digeledah lagi, di pergelangan kakinya ditemukan 2 batangan emas lagi. Total kemudian tak kurang dari 12 kg emas. Toh orang itu tampak tetap tenang. Bahkan ia menawarkan sogokan. "Pertama ia bilang agar kita menerima uang sebesar sertus ribu rupiah yang ia bawa," kata Hary. Setelah ditolak, ia menawarkan 2 batang. Hary purapura menerima, "Boleh, tapi jangan di sini, di kantor saya disana," katanya sambil menunjuk arah Posko yang tak jauh dari terminal. "Saya sengaja berbuat demikian karena kalau di ruang periksa itu saya hanya sendirian," kata Hary menjelaskan, "jadi lebih baik saya periksa orang itu di kantor dan banyak saksinya." Sesampainya di Posko, kemudian Hary langsung memeriksa kembali lantas menyerahkan penyelundup itu ke pihak administratur pelabuhan. Ditanya bagaimana perasaannya ketika ditawari dua batang emas Hary menjawab: "Saya sama sekali tak terpengaruh, fikiran panjang saya masih normal.'' Sebuah jawaban ksatria yang mudah-mudahan juga bisa dilakukan oleh semua petugas pembekuk penyelundup. Hary terjun ke ABRI sejak tahun 1951. "Saya cari yang wajar saja," katanya menjelaskan. Terhadap premi yang diterimanya bulan Agustus yang lalu, ia hanya kasih komentar: "Soal premi itu kan materiil sifatnya. Saya lebih meghargai yang bersifat spiritual untuk mendorong tugas." Ia tak mau menyebutkan berarti jumlah yang diterimanya. "Cukup berarti untuk keperluan membiayai rumah tangga, pokoknya," tambah Hary. Ia mengaku terus terang, baru sekali itulah ia dicoba disogok penyelundup. Dengan adanya premi sekarang, Hary tidak tahu apakah penyelundupan makin surut atau malahan meningkat. Lelaki yang sudah punya 9 orang anak ini hanya bisa berkata: "Saya fikir penyelundup harus menyadari, bahwa kewaspadaan kita selalu akan mencium perbuatan mereka." Lebih dari itu, yang bisa diketahui dari lelaki ini adalah bahwa ia pendiam dan mengaku kurang senang dengan publikasi yang menyangkut dirinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus