SUASANA pertahuan di Jawa Barat rupanya agak berbeda: bukan
"merakyat" seperti di Jakarta, tapi lebih berupa perusahaan
besar dan maju. Beberapa orang dari mereka itu merupakan,contoh
sukses.
"Saya punya rumus Ultra untuk sukses," kata Oyib bin Rukma.
"Artinya: Ulet, Tabah dan Trampil." Ketika masih bocah, Oyib
berjualan tahu di terminal bis Sumedang. Kemudian bekerja pada
Kho Bu Jie, pengusaha tahu terkenal di situ. "Tidak diupah tidak
apa. Yang perlu saya belajar mendapat ilmu tahu," tuturnya. Ini
20 tahun lalu.
Kini Oyib, 42 tahun, pengusaha tahu terbesar di Sumedang dan
Bogor. Bahkan pabriknya di Bogor, di tanah 6.000 m2, punya
kompleks perumahan untuk 80 orang buruh yang digaji rata-rata Rp
30.000 per bulan --ditambah uang makan dan pengobatan.
Pabrik tahunya di Sumedang beromset 1,5 ton/hari.
Pemasarannya meliputi Bandung dan kota-kota sekitar. Sedang yang
di Bogor khusus untuk mensuplai Jakarta: setiap hari sekitar 1,5
- 2 ton tertelan di sini. "Tahu tidak bisa tahan lama," kata
Oyib, menjelaskan mengapa pabriknya mendekati kawasan konsumen.
Tahu mentah hanya tahan 12 jam. Kalau sudah digoreng, 24 jam.
Dari 200 pengusaha tahu Sumedang--yang tahunya dikenal
gurih-hanya ada 4 orang nonpri. Ini bisa menunjukkan bakat orang
Sunda di bidang pertahuan, dibanding Jawa yang lebih suka tempe.
Primer Kopti kawasan Sumedang baru dibuka 12 November
kemarin--dan Oyib si juragan karuan saja terpilih sebagai ketua.
Anggota Kopti kini sudah 62 orang. "Mereka mau masuk koperasi
karena harga kedelai lebih murah di Kopti," ujar Uday Hudaya,
sekretaris. Selisih harga memang sampai Rp 60. Tapi, seperti
kata Nandang Suryadimulya (29tahun), pengusaha, "stok Kopti itu
sedikit." Hanya 1/5 dari keperluan. Karena itu hampir semua
pengusaha di Bandung masih terikat oleh pihak penyalur kedelai.
Mubes Tahu-Tempe
Di Bandung, di Jalan Cibuntu, ada pabrik tahu dan tempe yang
punya pasaran cukup baik. Uking, 64 tahun, sejak 1930 terkenal
akan "tahu Andir" nya: biasa digoreng tanpa minyak, berwarna
kuning, gurih dan sedap sekali dimakan dengan sambal kecap.
"Sebelas anak saya semuanya saya sekolahkan dengan uang tahu,"
ujar Uking mantap.
Modernisasi pembuatan tahu dan tempe? "Saya pernah mencoba
cara peragian riset ITB," kata Nandang, pemilik terbesar pabrik
tahu dan tempe di Bandung. "Hasilnya, ah lebih bagus buatan
tradisional." Nandang bahkan berkata dari segi biaya, cara ITB
lebih mahal Rp 1.000 setiap kuintalnya. Karena itu pengusaha
tahu dan tempe yang pernah mencoba cara ITB cuma tahan 2 bulan.
Memang, cara ITB lebih bersih. Tapi dari segi 'rasa' kurang.
Pentingnya 'rasa' itu lebih-lebih bila diingat, bahwa di
sektor tempe, Jawa Barat dikatakan kalah dari Jakarta. Orang
Jakarta gemar makan tahu Bandung dan Sumedang sebaliknya mereka
bilang tempe Jakarta lebih enak.
Ah, barangkali itu juga dipikirkan para peserta mubes
tahu-tempe, yang diadakan oleh para produsen se-Jawa Barat 20
November ini. Nandang yang jadi ketua panitianya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini