Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Menormalkan Anak-Anak Itu

Sekilas tentang beberapa sekolah luar biasa. suka duka para pengajar/guru di sekolah luar biasa. guru anak cacat harus sering membantu muridnya mengurus diri. banyak orang tua protes.

18 Juli 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DAHLAN membawa murid-muridnya ke stasiun. Setelah sampai anak-anak itu disuruhnya jongkok dan meraba rel kereta api. "Sudah tahu, rel itu seperti apa? Nah, begitulah," kata Dahlan AS, 36 tahun, setelah kembali di kelas 4 SD/Sekolah Luar Biasa (SLB) di Jalan E.S. Fatmawati Jakarta untuk melanjutkan pelajaran IPA. Dan sejak itu para muridnya yang tunanetra itu pun paham benda apa yang bernama rel kereta api itu. "Habis, mereka tak mungkin dapat membayangkan seperti apa itu rel. Ada yang bilang loncong, bulat, rata, lebar dan lain-lain," tambah Dahlan. Rupanya peragaan untuk menerangkan suatu pelajaran agar diketahui anak-anak yang tak dapat melihat, bukan hanya soal rel. Dahlan juga sulit menerang kan bentuk sapi Australia yang biasa diperah. Setelah memutar akal, ia panggil salah seorang murid laki-laki. Anak itu disuruh merangkak di depan kelas. Si murid pun tahu, sapi berkaki empat. "Nah, coba. Di mana letak susu yang di perah itu?" kata Dalian, tamatan SPG yang mengajar anak tunanetra di Cilandak sejak 1977. Kontan muridnya menunjuk teteknya sendiri. Sang guru buru-buru menunjukkan tempat yang benar. Dahlan, ayah seorang anak itu semula tidak membayangkan bakal mengajar anak buta. Ia tidak pernah masuk bangku Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB). Tapi dari pada lontang-lantung di Jakarta, pemuda asal Aceh itu menerima tawaran kepala SD/SLB di Cilandak. Tahap pertama, ia mempelajari huruf braile dari temannya yang memang mendapat pendidikan khusus. Ia baru tahu, orang buta pun bisa diajar. "Sebab di Aceh, orang buta hanya ongkang-ongkang saja. Kerjanya cuma minta-minta," katanya. Kini, ia tahu dan ikut membantu orang buu mengurus diri sendiri. "Yang buta cuma maunya. Yang lain bisa didimanfaatkan untuk bekera," katanya. Karena itu, Dahlan selalu mengarahkan muridnya agar bisa mengurus diri sendiri. "Mula-mula memang berat, terutama murid yang biasa manja dan serba dilayani," katanya. Sejak SD anak-anak yang tidak bisa melihat itu sudah diajar mencuci pakaian sendiri, mengikat sepatu, membersihkan kelas sampai harus bisa menandai seragam yang perlu dipakainya setiap hari. "Hubungan kasih sayang saya bukan lantaran mereka buta, tapi terutama karena mereka murid saya," katanya. Tapi Nyonya Ning (Ny. Arnasih Nahraeni Suwardjo), 48 tahun dari Yayasan Pendidikan Anak-anak Cacat (YPAC) Hang Lekir III Jakarta Selatan, pernah jengkel berurusan dengan orang tua muridnya yang menderita cacat mental. Berupa tidak, orang tua murid itu kebanyakan tak peduli lagi terhadap anaknya yang dititipkan di asrama karena merasa telah membayar biaya yang ditentukan. Malahan ada yang malu mengunjungi anaknya yang cacat. "Sikap orang tua semacam ini justru tidak membantu perkembangan jiwa anak," katanya. Karena itu pula, sejak 2 tahun lalu sistem asrama dihapuskan di YPAC itu. "Dan yang paling susah bila latihan penyesuaian di sekolah tidak ditunjang dengan latihan di rumah," kata kepala sekolah yang bertugas di YPAC itu sejak 1962. Kecuali guru di sekolah, orang tua juga diminu ikut serta mendidik. Yang membuatnya jengkel antara lain tingkah muridnya dari keluarga kaya. "Kalau ada latihan penyesuaian seperti pramuka, pergaulan dan lain-lain, ada saja alasan sakit ini atau itu agar tidak ikut," kata Ning. Orang tua sering beranggapan, anaknya harus bisa apa saja setelah keluar dari YPAC. "Pada dasarnya, kami hanya ingin mengubah apa yang bisa diubah," kata ibu 4 orang anak itu. Misalnya penderita muscle distrophy -- kemunduran otot -- tidak bisa diapa-apakan lagi. "Hanya pasrah nasib pada Tuhan," katanya. Pengalaman guru musik di YPAC itu,Andik Sumarno, memang agak berbeda dengan Ny. Ning. Musik yang diajarkari adalah Orff Gamelan Therapy Music yang dimaksudkn untuk menunjang penyembuhan. Musik ini dibawa ke sana oleh Ruth Bardacb, staf kedubes AS di Jakarta yang sukarela membantu melatih musik sekiur 1967. Lagu-lagu yang dimainkan dipilihnya dari lagu rakyat. Suatu ketika, musik pun mengalun dengan manis. Tiba-tiba menjadi sumbang. Ada apa? "Ee, ternyata ada yang terkena muscle distrophy, penurunan tenaga drastis sekali," katanya. Ada pula yang salah tabuh nada karena pemainnya menderita saraf. "Secara tak sadar, ia menabuh A, padahal seharusnya G," kata Andik. Untuk mengajar anak cacat, guru tak segan-segan meluangkan waktu khusus untuk seorang murid. "Karenanya, untuk mengajarkan satu mata pelajaran saja, bisa makan waktu berbulan-bulan. Tergantung jenis cacatnya,'! kata Salmiah Pohan, 40 tahun, guru kelas cacat fisik YYPAC Medan. Hal semacam ini sering membuat orang tua murid kesal, bahkan menuduh sekolah di YPAC tidak ada gunanya karena anaknya tidak maju-maju. Menelan Pil Cara mendidik anak tunamental (terbelakang) sangat berbeda dengan yang cacat badan. "Mereka bisa diajar secara bersama," kata Anita Silitonga, teman mengajar Ny. Salmiah. Di tengah murid yang tingkat kecerdasannya sangat rendah, sering timbul hal-hal aneh. Suatu kali, guru lulusan SGPLB bergaji Rp 51 ribu itu harus mengajar anak didiknya menelan pil. Ia rentangkan tangan kanannya sambil memegang pil, dan pelan-pelan menekuknya ke mulut. Beberapa kali dilakukan sampai muridnya bisa menirukan. Setelah semua berhasil memasukkan ke mulut, Ny. Anita bertanya, "Setelah itu langsung di ...." Semua muridnya bengong. Tiba-tiba murid bernana Hasudungan (bukan nama sebenarnya), 14 tahun, dengan suara serak berteriak "Dibondut," artinya ditelan. Jawaban itu benar, tapi teman sekelasnya tetap ribut karena tidak juga mengerti diapakan pil yang telah ada dalam mulutnya. Pengalaman Hadi Sudarso, 44 tahun, guru kawakan sejak 19S6 di YPAC Sala, memang tidak banyak kesulitan dengan orang tua muridnya. Yang rewel justru muridnya sendiri. "Anak yang baru masuk, sering gampang tersinggung atau marah kalau diajari- sesuatu," katanya. Ia tentu harus sabar membimbing anak semacam itu. Akalnya? "Dalam peragaan saya buat diri saya ini juga seperti cacat," katanya. Misalnya pelajaran menulis. Kalau yang diajar kebetulan tidakpunya tangan kanan, ia berusaha menulis dengan tangan kiri. "Dengan tangankiri itu, saya ajari bagaimana memegang pensil, menggerakkan tangan dan menulis," katanya. Yang paling menyenangkan Hadi adalah karena "sekolah anak cacat bukan SMP auu SMA yang jadi rebutan. Dlls tidak ada yang menyogok." "Kalau mau cari citra guru yang buk, penuh pengabdian dan belum dilanda komersialisasi jabatan, ya di lingkungan sekolah untuk anak cacat," tambah sarjana muda IKIP bergaji Rp 105 ribu itu sambil tertawa. Menjadi guru anak cacat kecuali penuh pengabdian, juga harus kreatif dan pintar mencari metode sendiri. "Sebab tidak mesti cocok metode dalam buku dengan kasus yang dihadapi," kata Ny. Sri Slamet, guru YPAC Surabaya. Pengalamannya, ada muridnya selama 2 tahun tidak bisa menulis walau lancar membaca tulisan termasuk koran dan majalah. Ia aduk buku catatan sewaktu kuliah di PGSLB (Pendidikan Guru Sekolah Luar Biasa) dan perpusukaan sekolah. Ia juga mengadakan konsultasi dengan berbagai ahli di lingkungannya. Hasilnya nol. Lantas ia iseng-iseng mengajarinya dengan menuliskan huruf besar-besar."Nah, anak itu pelan-pelan bisa menirukan," kata Sri senang. Kesimpulan Sri: "Menjadi guru anak cacat 5 orang, jauh lebih berat ketimbang menghadapi anak normal 50 orang." Anak cacat harus dilayani sendiri-sendiri. "Artinya, guru anak cacat harus mempersiapkan metoda dan bahan lebih banyak," ujarnya. Prsiapan SD Sugiantinah, 26 tahun, guru kelas 2 SLB -- yang menjadi tempat latihan Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SGP LB) -- Yogyakarta, suatu saat mengajar bilangan 1 sampai 10 untuk muridnya yang cacat mental. Tiba-tiba seorang murid yang sudah berusia 14 tahun berdiri dan berteriak: "pipis". Dengan cepat ia seret muridnya ke kamar mandi diajari cara membuang air dan membersihkannya. Untuk sekolah anak cacat mental, ada jenjang kelas trynable lA sampai 5 B, setingkat persiapan SD. Lulusan 5 tingkat itu dapat melanjutkan ke P1 (persiapan 1) dan P2. Bila lulus, dapat masuk sekolah setingkat SD, khusus untuk cacat menul. "Urltuk umur, tidak ada batasannya. Ada yang sudah 24 tahun masih di tingkat trynable," kata guru yang sudah 5 tahun mengajar di sana. Tiap kelas hanya ada 5 orang murid. "Untuk sekolah luar biasa tiap kelas paling banyak murid," kata Sugiantinah karena "guru SLB tugasnya banyak dan macam-macam." Sebagian pelajaran diberikan dengan peragaan: cara melepas dan memakai baju, menggosok gigi, mandi, makan bersama, buang a* dan makan. "Tak beda seperti mengasuh anak sendiri," kata Sugiantinah yang belum punya anak mesti telah 4 uhun berumah tangga. Mendidik anak cacat mental bagi Sugiantinah kadang-kadang menjadi hiburan. Dengan senang hati ia menggendong muridnya yang berusia 6 tahun ke lapangan untuk berolahraga. Kemudian ia copoti baju muridnya dan diganti dengan kaus. Dalam kelasnya, Sugiantinah lebih menekankan pelajaran sensomotons, melatih ketrampilan anak. Pelajaran tidak lancar karena daya ingat anak cacat menul sangat lemah. "Selain kemampuan anak itu lemah sekali, perkembangan juga lambat," katanya. Namun sangat jelas berbeda, anura yang mengenyam sekolah dan sama sekali tidak pernah menjamahnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus