PEMERINTAH Indonesia cukup waspada, rupanya. Tak semua iazah
perguruan tinggi luar negeri berbobot. Maka di Ditjen Pendidikan
Tinggi Departemen P&K ada Panitia Tetap Penilaian Ijazah Luar
Negeri.
Tapi penilaian memang hanya untuk kepentingan Badan Administrasi
Kepegawaian Negara (BAKN). Tujuannya: agar lembaga ini tak
kebingungan menentukan kepangkatan seorang pemegang ijazah luar
negeri. Jadi hanya untuk masalah kepegawaian.
Prof. Asri Rasad, Ketua Panitia, menyimpan sejumlah nama
perguruan tinggi di segala penjuru. Dari daftar itu ia mengukur:
ijazah yang dibawa Dr. Badu misalnya, akan menyebabkannya
dimasukkan ke Golongan III atau IV sebagai pegawai negeri.
Persoalan muncul, bila ternyata ijazah yang dimintakan penilaian
datang dari universitas yang tak ada dalam daftar. Biasanya
Panitia kemudian menyurati universitas tersebut. Artinya
penilaian bisa berlarut-larut.
Biasanya yang datang untuk menilaikan ijazahnya memang pulang
dengan senang: mereka setuju dengan penilaian panitia. Tapi ada
pula kasus yang membuat Kartini Abubakar, Sekreuris Panitia yang
biasanya langsung menghadapi pembawa ijazah, merah mukanya.
Ialah kalau terpaksa mengatakan: ijazah yang anda bawa itu
ternyata di bawah nilai. Walaupun misalnya ijazah sarjana, si
pemilik tak berhak masuk golongan III. Untung, yang begini ini
jarang terjadi.
Kecuali panitia ini menilai ijazah yang dibawa sendiri, dari
Pemda DKI ada juga permintaan. Khusus untuk yang berijazah
insinyur dan yang akan bekerja di DKI, penilaian Panitia ini
merupakan syarat sebelum SIBP (Surat Izin Bekerja Perencana)
dikeluarkan.
Panitia punya 11 konsorsium. Mereka bekerja dengan melihat
daftar plus sedikit wawancara dengan pemegangnva, serta
menimbang jumlah Satuan Kredit Semester (SKS) yang telah
ditempuh si pemegang ijazah. Untuk tingkat sarjana muda
ditetapkan jumlah SKS 110-120. Sarjana 144-160. Sedang doktor
228-233.
Nah. Mungkin ada lulusan yang jumlah SKS-nya di bawah itu -- apa
lagi dari universitas tak terkenal yang rendah tuntutannya --
maka ia pun tak akan "lulus".
Rata-rata dalam sebulan 20 ijazah masuk -- sedang penilaian
dilakukan sebulan sekali. Berarti bila ada "kemacetan", sebuah
ijazah akan tertunda untuk satu atau beberapa bulan.
Ada persyaratan lain bagi pemegang ijazah dokter, dokter gigi
dan apoteker. Setelah dinilai, kalau hendak bekerja si pemilik
harus melakukan 'masa adaptasi' -- di RS Pendidikan Cipto
Mangunkusumo. Biasanya 10 bulan. Tapi untuk dokter spesialis
cukup 6 bulan.
Dan itu penting rupanya. Beberapa tahun lalu terjadi kasus
dengan dokter-dokter lulusan Jerman -- yang dianggap "tidak
diberi pendidikan tentang penyakit tropis". Kurang jelas, itukah
sebabnya kemudian keluar peraturan seperti tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini