Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Yang Bersidang Sekali Sebulan

Untuk menentukan kepangkatan seorang pemegang ijazah luar negeri, ditjen pendidikan tinggi p & k membentuk panitia tetap penilaian ijazah luar negeri. prof. asri rasad sebagai ketua panitia.

18 Juli 1981 | 00.00 WIB

Yang Bersidang Sekali Sebulan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
PEMERINTAH Indonesia cukup waspada, rupanya. Tak semua iazah perguruan tinggi luar negeri berbobot. Maka di Ditjen Pendidikan Tinggi Departemen P&K ada Panitia Tetap Penilaian Ijazah Luar Negeri. Tapi penilaian memang hanya untuk kepentingan Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN). Tujuannya: agar lembaga ini tak kebingungan menentukan kepangkatan seorang pemegang ijazah luar negeri. Jadi hanya untuk masalah kepegawaian. Prof. Asri Rasad, Ketua Panitia, menyimpan sejumlah nama perguruan tinggi di segala penjuru. Dari daftar itu ia mengukur: ijazah yang dibawa Dr. Badu misalnya, akan menyebabkannya dimasukkan ke Golongan III atau IV sebagai pegawai negeri. Persoalan muncul, bila ternyata ijazah yang dimintakan penilaian datang dari universitas yang tak ada dalam daftar. Biasanya Panitia kemudian menyurati universitas tersebut. Artinya penilaian bisa berlarut-larut. Biasanya yang datang untuk menilaikan ijazahnya memang pulang dengan senang: mereka setuju dengan penilaian panitia. Tapi ada pula kasus yang membuat Kartini Abubakar, Sekreuris Panitia yang biasanya langsung menghadapi pembawa ijazah, merah mukanya. Ialah kalau terpaksa mengatakan: ijazah yang anda bawa itu ternyata di bawah nilai. Walaupun misalnya ijazah sarjana, si pemilik tak berhak masuk golongan III. Untung, yang begini ini jarang terjadi. Kecuali panitia ini menilai ijazah yang dibawa sendiri, dari Pemda DKI ada juga permintaan. Khusus untuk yang berijazah insinyur dan yang akan bekerja di DKI, penilaian Panitia ini merupakan syarat sebelum SIBP (Surat Izin Bekerja Perencana) dikeluarkan. Panitia punya 11 konsorsium. Mereka bekerja dengan melihat daftar plus sedikit wawancara dengan pemegangnva, serta menimbang jumlah Satuan Kredit Semester (SKS) yang telah ditempuh si pemegang ijazah. Untuk tingkat sarjana muda ditetapkan jumlah SKS 110-120. Sarjana 144-160. Sedang doktor 228-233. Nah. Mungkin ada lulusan yang jumlah SKS-nya di bawah itu -- apa lagi dari universitas tak terkenal yang rendah tuntutannya -- maka ia pun tak akan "lulus". Rata-rata dalam sebulan 20 ijazah masuk -- sedang penilaian dilakukan sebulan sekali. Berarti bila ada "kemacetan", sebuah ijazah akan tertunda untuk satu atau beberapa bulan. Ada persyaratan lain bagi pemegang ijazah dokter, dokter gigi dan apoteker. Setelah dinilai, kalau hendak bekerja si pemilik harus melakukan 'masa adaptasi' -- di RS Pendidikan Cipto Mangunkusumo. Biasanya 10 bulan. Tapi untuk dokter spesialis cukup 6 bulan. Dan itu penting rupanya. Beberapa tahun lalu terjadi kasus dengan dokter-dokter lulusan Jerman -- yang dianggap "tidak diberi pendidikan tentang penyakit tropis". Kurang jelas, itukah sebabnya kemudian keluar peraturan seperti tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus