KE luar negeri itu gengsi. Apalagi kuliah di luar negeri -- wah.
Siapa tak bangga?
Tiap hari, di lantai II gedung Departemen P&K Senayan, Jakarta,
sejumlah muda-mudi usia sekitar 20-an tahun mengurus izin
belajar ke luar negeri. Di berbagai kantor imigrasi, juga di
sebagian kotamadya, anak-anak muda juga tampak di depan loket.
Di Bogor misalnya anak muda keturunan Cina tersenyum senang
sekali --mendapat paspornya yang pertama. Ia akan belajar ke
lnggris. "Kirim surat, ya?" seru si petugas kepada pemuda yang
agak gugup itu.
Beberapa tahun lalu, kebanyakan mereka ke Jerman Barat. Kini
berubah ke Amerika Seriku. Memang terjadi perubahan dalam dunia
perguruan tinggi di kedua negara itu (lihat bagian II).
Tapi beberapa orang yang pekan lalu antre di departemen Daoed
Joesoef, yang sempat diwawancarai TEMPO, ternyata tak sekedar
mencari gengsi. Seorang Murwanti, 25 tahun, misalnya, yang telah
duduk di tingkat V Jurusan Administrasi Niaga Universitas
Krisnadwipayana, mau ke Australia. Mengapa? Karena
"bertahun-tahun saya belajar ini, rasanya mengambang, tidak
mantap." Bukan dosennya atau kuliahnya tak beres. Cuma,
"bagaimana mempraktekkan ilmu untuk bekerja," itu yang ia sampai
kini bingung. Dan pilihannya ke Australia dikarenakan pamannya
ada di negeri kanguru itu -- bukan sebab lain.
Banyak yang seperti Murwanti -yang menyayangkan kuliah praktek
tak begitu mantap di sejumlah universitas di negeri ini, lantas
menengok ke luar negeri. Yang belajar di bidang senirupa seperto
Fadia yang belajar di bidang komputer seperti Andrew atau
seperti Aida Arifin dari Yogya yang kepingin belajar soal bisnis
dan administrasi di negara Paman Sam.
Toh, kalau dikejar, sebenarnya ada dua pokok yang mendorong
anak-anak itu ke negeri seberang. Kantung tebal dari orang tua,
itu pertama Kedua, mereka tak kebagian tempat di universitas
negeri sendiri. Dengar saja cerita Aries Sunda, yang datang di
Ohio Wesleyan University tahun 1978. "Saya tak lulus ujian masuk
Skalu," tuturnya. Dan untuk ke perguruan tinggi swasta, "wah,
repot untuk mendaftar lagi. Juga biayanya 'kan tak begitu
berbeda kalau kuliah di sini." Barangkali ia sekedar menghibur
diri.
Maka bisa diperkirakan, sesudah pengumuman hasil tes perguruan
tinggi yang tergabung dalam Proyek Perintis I pekan depan nanti,
beberapa travel biro yang menawarkan jasa mencarikan sekolah di
luar negeri akan kebanjiran peminat. Soalnya, dari 170 ribu
peserta tes PPI hanya akan diterirna sekitar 15 ribu saja
--bayangkan. Soalnya lagi, 41 perguruan tinggi negeri plus
sekitar 200 yang swasta memang tak akan mampu me4ampung lebih
dari 130 ribu lulusan SLA.
Dan rupanya OTC (Indonesia's Overseas Study & Training Institute
-- lembaga yang mencarikan sekolah ke luar negeri), juga Tl
(Tunas Incoses - yang punya cabang di Surabaya, Bandung dan
Medan) memang telah siap. Bisnis, sih. Berdasar pengalaman
mereka, memang setelah pengumuman tes masuk Proyek Perintis,
anak-anak biasanya datang mencari informasi. "Kebanyakan mereka
memang ingin ke Amerika Serikat," tutur Lidya P. Adiwidjaja,
Direktur Tl di Jakarta. "Soalnya sistem pendidikan di sana
hampir sama dengan di Indonesia. Sekolah dasar dan menengah
ditempuh 12 tahun. "
Tl, yang mulai aktif awal 1978 -- dan yang berterus terang
memang menerima pesanan dari beberapa perguruan tinggi di luar
negeri untuk mencarikan mahasiswa, sampai kini mengaku telah
mengirimkan 400 pelajar ke luar negeri-80% ke AS. Cabangnya di
Surabaya telah mengirimkan sekitar 55 orang, dan tahun ini,
sampai awal Juli telah terdaftar 59 orang. Cabang di Yogya,
dibuka 1979, sekitar 30 orang.
Cara Tl dan OTC mempropagandakan "dagangan"nya memang intensif.
Tl dengan menyebar brosur ke sekolah-sekolah. OTC bahkan tahun
lalu mendatangkan orang yang katanya mewakili 12 universitas di
AS, untuk memberikan ceramah di hadapan sejumlah pelajar SLA di
Jakarta. Juga beberapa bulan lalu mengundang Dr. Utami Munandar,
dosen Fakulus Psikologi UI, untuk memberi ceramah cara
menghadapi lingkungan baru dengan sikap kreatif'. Juga Dr.
Munandar, suaminya, Dekan Fak. Psikologi UI, memberi ceramah
tentang bagaimana - menyesuaikan diri di negeri orang.
Yang menarik, para muda ini memberi kesan tak begitu ambil
pusing soal kualitas perguruan tinggi yang di tawarkan. Bukan
karena mereka uk tahu bahwa ijazah dari luar negeri akan
"disaring" nantinya oleh Ditjen Pendidikan 'ringgi (lihat box).
Tapi karena mereka memang umumnya tak ingin bekerja pada
pemerintah -- jadi tak perlu itu pengesahan.
Kecuali itu, yang memang bersungguh-sungguh mendapat ijazah dari
universitas yang baik, telah tahu caranya. Seperti teman kita
Aries Sunda. Dari Ohio Wesleyan University, kini ia sedang
siap-siap pindah ke Ohio State University, yang dianggap lebih
bermutu.
Lebih dari itu, sekolah di luar negeri tetap mereka pandang
sebagai keuntungan. Ialah: terlatih berbahasa Inggris-atau
bahasa asing lain -- di samping berpengalaman hidup di negeri
orang. Yang telah ada di negeri-negeri seberang bisa
menambahkan: terbiasa menulis paper. Terbiasa belajar teratur.
Dan belajar menggunakan perpusukaan secara efisien. Tentu, asal
universitasnya memang cukup bermutu.
Itulah agaknya mengapa anak-anak itu tak merasa perlu, misalnya,
menghubungi atase pendidikan di Kedubes negara yang mereka tuju.
Cukup penjelasan OTC atau TI itu. Padahal Atase Pendidikan
Kedubes AS, Jerman Barat atau Australia misalnya, senantiasa
siap memberi panduan. Memang, mereka tak akan bisa apa-apa bila
misalnya seseorang pelajar Indonesia berkeras memilih perguruan
tinggi yang kurang bisa dipercaya, meminta visa belajar. Bila
persyaratan umum telah dipenuhi (ada perguruan tinggi yang
menampungnya, ada biayanya), ya mereka tak banyak ribut. Toh
mahasiswa asing itu menguntungkan, bukan? -- dari segi devisa.
Apa lagi yang di sana sama sekali tidak bekerja.
Agak susah dihitung, berapa jumlah mahasiswa kita kini di luar
negeri. Biro Hubungan Luar Negeri Dep P&K tak tahu pasti.
Soalnya, mereka memang minta izin pergi. Tapi tak ada kewajiban
untuk melapor kembali sepulangnya, buat apa? Tanya mereka tentu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini