Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Hati-Hati Sekolah Ke Luar Negeri

Para pelajar yang berminat meneruskan sekolah di luar negeri. situasi pendidikan di as, inggris, jerman barat & jepang. ada panitia tetap penilaian ijazah luar negeri. (pdk)

18 Juli 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KE luar negeri itu gengsi. Apalagi kuliah di luar negeri -- wah. Siapa tak bangga? Tiap hari, di lantai II gedung Departemen P&K Senayan, Jakarta, sejumlah muda-mudi usia sekitar 20-an tahun mengurus izin belajar ke luar negeri. Di berbagai kantor imigrasi, juga di sebagian kotamadya, anak-anak muda juga tampak di depan loket. Di Bogor misalnya anak muda keturunan Cina tersenyum senang sekali --mendapat paspornya yang pertama. Ia akan belajar ke lnggris. "Kirim surat, ya?" seru si petugas kepada pemuda yang agak gugup itu. Beberapa tahun lalu, kebanyakan mereka ke Jerman Barat. Kini berubah ke Amerika Seriku. Memang terjadi perubahan dalam dunia perguruan tinggi di kedua negara itu (lihat bagian II). Tapi beberapa orang yang pekan lalu antre di departemen Daoed Joesoef, yang sempat diwawancarai TEMPO, ternyata tak sekedar mencari gengsi. Seorang Murwanti, 25 tahun, misalnya, yang telah duduk di tingkat V Jurusan Administrasi Niaga Universitas Krisnadwipayana, mau ke Australia. Mengapa? Karena "bertahun-tahun saya belajar ini, rasanya mengambang, tidak mantap." Bukan dosennya atau kuliahnya tak beres. Cuma, "bagaimana mempraktekkan ilmu untuk bekerja," itu yang ia sampai kini bingung. Dan pilihannya ke Australia dikarenakan pamannya ada di negeri kanguru itu -- bukan sebab lain. Banyak yang seperti Murwanti -yang menyayangkan kuliah praktek tak begitu mantap di sejumlah universitas di negeri ini, lantas menengok ke luar negeri. Yang belajar di bidang senirupa seperto Fadia yang belajar di bidang komputer seperti Andrew atau seperti Aida Arifin dari Yogya yang kepingin belajar soal bisnis dan administrasi di negara Paman Sam. Toh, kalau dikejar, sebenarnya ada dua pokok yang mendorong anak-anak itu ke negeri seberang. Kantung tebal dari orang tua, itu pertama Kedua, mereka tak kebagian tempat di universitas negeri sendiri. Dengar saja cerita Aries Sunda, yang datang di Ohio Wesleyan University tahun 1978. "Saya tak lulus ujian masuk Skalu," tuturnya. Dan untuk ke perguruan tinggi swasta, "wah, repot untuk mendaftar lagi. Juga biayanya 'kan tak begitu berbeda kalau kuliah di sini." Barangkali ia sekedar menghibur diri. Maka bisa diperkirakan, sesudah pengumuman hasil tes perguruan tinggi yang tergabung dalam Proyek Perintis I pekan depan nanti, beberapa travel biro yang menawarkan jasa mencarikan sekolah di luar negeri akan kebanjiran peminat. Soalnya, dari 170 ribu peserta tes PPI hanya akan diterirna sekitar 15 ribu saja --bayangkan. Soalnya lagi, 41 perguruan tinggi negeri plus sekitar 200 yang swasta memang tak akan mampu me4ampung lebih dari 130 ribu lulusan SLA. Dan rupanya OTC (Indonesia's Overseas Study & Training Institute -- lembaga yang mencarikan sekolah ke luar negeri), juga Tl (Tunas Incoses - yang punya cabang di Surabaya, Bandung dan Medan) memang telah siap. Bisnis, sih. Berdasar pengalaman mereka, memang setelah pengumuman tes masuk Proyek Perintis, anak-anak biasanya datang mencari informasi. "Kebanyakan mereka memang ingin ke Amerika Serikat," tutur Lidya P. Adiwidjaja, Direktur Tl di Jakarta. "Soalnya sistem pendidikan di sana hampir sama dengan di Indonesia. Sekolah dasar dan menengah ditempuh 12 tahun. " Tl, yang mulai aktif awal 1978 -- dan yang berterus terang memang menerima pesanan dari beberapa perguruan tinggi di luar negeri untuk mencarikan mahasiswa, sampai kini mengaku telah mengirimkan 400 pelajar ke luar negeri-80% ke AS. Cabangnya di Surabaya telah mengirimkan sekitar 55 orang, dan tahun ini, sampai awal Juli telah terdaftar 59 orang. Cabang di Yogya, dibuka 1979, sekitar 30 orang. Cara Tl dan OTC mempropagandakan "dagangan"nya memang intensif. Tl dengan menyebar brosur ke sekolah-sekolah. OTC bahkan tahun lalu mendatangkan orang yang katanya mewakili 12 universitas di AS, untuk memberikan ceramah di hadapan sejumlah pelajar SLA di Jakarta. Juga beberapa bulan lalu mengundang Dr. Utami Munandar, dosen Fakulus Psikologi UI, untuk memberi ceramah cara menghadapi lingkungan baru dengan sikap kreatif'. Juga Dr. Munandar, suaminya, Dekan Fak. Psikologi UI, memberi ceramah tentang bagaimana - menyesuaikan diri di negeri orang. Yang menarik, para muda ini memberi kesan tak begitu ambil pusing soal kualitas perguruan tinggi yang di tawarkan. Bukan karena mereka uk tahu bahwa ijazah dari luar negeri akan "disaring" nantinya oleh Ditjen Pendidikan 'ringgi (lihat box). Tapi karena mereka memang umumnya tak ingin bekerja pada pemerintah -- jadi tak perlu itu pengesahan. Kecuali itu, yang memang bersungguh-sungguh mendapat ijazah dari universitas yang baik, telah tahu caranya. Seperti teman kita Aries Sunda. Dari Ohio Wesleyan University, kini ia sedang siap-siap pindah ke Ohio State University, yang dianggap lebih bermutu. Lebih dari itu, sekolah di luar negeri tetap mereka pandang sebagai keuntungan. Ialah: terlatih berbahasa Inggris-atau bahasa asing lain -- di samping berpengalaman hidup di negeri orang. Yang telah ada di negeri-negeri seberang bisa menambahkan: terbiasa menulis paper. Terbiasa belajar teratur. Dan belajar menggunakan perpusukaan secara efisien. Tentu, asal universitasnya memang cukup bermutu. Itulah agaknya mengapa anak-anak itu tak merasa perlu, misalnya, menghubungi atase pendidikan di Kedubes negara yang mereka tuju. Cukup penjelasan OTC atau TI itu. Padahal Atase Pendidikan Kedubes AS, Jerman Barat atau Australia misalnya, senantiasa siap memberi panduan. Memang, mereka tak akan bisa apa-apa bila misalnya seseorang pelajar Indonesia berkeras memilih perguruan tinggi yang kurang bisa dipercaya, meminta visa belajar. Bila persyaratan umum telah dipenuhi (ada perguruan tinggi yang menampungnya, ada biayanya), ya mereka tak banyak ribut. Toh mahasiswa asing itu menguntungkan, bukan? -- dari segi devisa. Apa lagi yang di sana sama sekali tidak bekerja. Agak susah dihitung, berapa jumlah mahasiswa kita kini di luar negeri. Biro Hubungan Luar Negeri Dep P&K tak tahu pasti. Soalnya, mereka memang minta izin pergi. Tapi tak ada kewajiban untuk melapor kembali sepulangnya, buat apa? Tanya mereka tentu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus