Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Ihwal Mutu, Di Seberang.

Situasi dan mutu pendidikan tinggi di beberapa negara, a.l di a.s. inggris, jerman, timur tengah, & jepang. ada universitas yang tak mengajukan syarat apapun. (pdk)

18 Juli 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENUNTUT ilmu ke negeri orang, apa celanya? Mungkin memang tak ada -- terutama bagi yang dikirim pemerintah atau lembaga resmi lain. Di samping universitas telah dipilihkan dan dijamin kualitasnya, biaya tentu pula ditanggung. Lain soalnya bila calon mahasiswa berupaya sendiri. Persoalan paling pokok: memilih perguruan tingginya. Disini nasihat orang tua teringat kembali. Jangan berguru kepada sembarang orang, kata kakek, dulu itu. Bisa-bisa mendapat ilmu setan. He. Ilmu setan barangkali memang bukan ancaman terbesar, dalam hubungan sekolah di luar negeri. Tapi keliru memilih perguruan tinggi, berarti paling tidak uang melayang dengan sia-sia - sementara umur hanya menjadi bertambah tua. Atau, lebih konkrit seperti yang dikatakan Prof. Doyce B. Nunis, seorang guru besar di University of Southern California, "bisa-bisa anda pulang kampung membawa gelar hebat tapi tanpa kemampuan." Mungkin anda tak percaya: benarkah ada perguruan tinggi di luar negeri yang keropos mutunya? Eh -- "luar negeri" Iho! Padahal luar negeri juga bermacam-macam -- dan punya problema sendiri-sendiri." Sejumlah koresponden TEMPO di beberapa negara maju mencoba meliput dunia perguruan tinggi di sana. Di Amerika Serikat Di negeri Paman Sam ini mahasiswa asing, jangan terkejut, memang diharap datang. Dan harapan dari dunia kampus itu, menurut majalah Fortune, sudah terasa sejak pertengahan tahun 1970-an --dan mulai nyata lagi di awal 1980. Sebabnya? Sejak pertengahan 1970-an, ada perubahan besar dalam dunia pencarian kerja. Masa keemasan bagi para lulusan universitas terhitung tahun-tahun 50-an sampai 60-an -- ketika para sarjana dengan mudah mendapat pekerjaan yang pantas dengan gaji yang pantas. Dan masa itu kelihatan surut. Apapun penyebabnya, hal itu lantas mengubah pandangan para pemuda AS. Mereka menjadi enggan menghabiskan waktu dan uang -- yang mahal -- di bangku kuliah. Dan lebih suka masuk sekolah kejuruan atau kursus-kursus yang memang menjadi sangat praktis, di samping yang langsung saja mencari kerja dengan sistem magang, misalnya. Akibatnya perguruan tinggi jadi sepi sendiri. Bahkan, menurut majalah tersebut, beberapa sekolah tinggi ilmu sosial dan kemanusiaan bangkrut dan ditutup. Tahun 1968 seluruh universitas di AS menampung 1,2 juta mahasiswa. Enam tahun kemudian, 1974, pemuda sana yang mau kuliah hanya 840 ribu. Sebab kedua juga tak kurang menarik. Ledakan bayi sesudah Perang Dunia II, yang di tahun 50-an menyebabkan diperluasnya sejumlah universitas untuk menampung mereka, ternyata tak berlanjut. Sejak awal 60-an angka kelahiran turun. Pemuda usia universitas di akhir 70-an mulai berkurang. Maka tak mengherankan bila sejumlah universitas mulai getol mencari mahasiswa luar. Dan hasilnya memang lumayan. Catatan terakhir: hampir 300 ribu mahasiswa asing duduk di bangku kuliah di sekitar 2 ribb lebih perguruan tinggi AS. Mahasiswa asal Indonesia sendiri sebetulnya tak banyak: baru sekitar 2.500 -- termasuk yang dikirim pemerintah. Tapi incaran para pemuda Indonesia, menurut beberapa travel biro, meman AS terutama. Lebih-lebih sejak 1978. Memang tak berarti universitas sana lantas mau begitu saja menerima calon mahasiswa. Di antara sejumlah persyaratan, nilai ijazah dan rapor SMA -- dan kemampuan bahasa Inggris -- termasuk mutlak. Dan lebih penting lagi tentunya kesanggupan membiayai kuliah dan hidup di sana. Yang terakhir ini malah harus dikuatkan oleh notaris -- jangan sampai mereka jadi gelandangan, kan? Masih ada lagi Si calon mahasiswa harus menyerahkan hasil ujian standar, yang disebut SAT (Stholastic Aptitude Test). Ini untuk mengetahui kemampuannya dalam tatabahasa dan perbendaharaan kata Inggris, Matematika dan llmu Pengetahuan Sosial. Konon, bagi calon dari Indonesia soal matematika tak menyulitkan benar. Tapi bahasa Inggrisnya itu -- walaupun (untungnya) untuk calon yang datang dari negara dengan bahasa bukan -- Inggris, ada TOEFL (Test of English as Foreign Language). Test ini diselenggarakan di negara asal. Kalau semua itu sudah beres, si calon lantas berurusan dengan Pemerintah AS. Ia mesti bisa menunjukkan yang disebut formulir I-20 -- sertifikat yang menyatakan ia memang berhak diberi status mahasiswa -- untuk mendapat izin tinggal di negeri itu. Formulir tersebut dapat diperoleh dari perguruan tinggi yang didaftari. Nah. Bila persyaratan itu semua tak diminta oleh pihak universitas (atau lewat agennya), seorang calon mahasiswa asing seharusnya curiga. Mesti ada apa-apanya, nih. Misalnya saja: ada jenis perguruan tinggi yunior yang kini lazim disebut community college, yang cuma memberikan pendidikan dua tahun dan hanya memberikan gelar AA (Associate in Arts). Entah gelar apa pula itu. Tapi syarat masuk perguruannya memang mudah, dan murah sanggup membayar uang kuliah sebesar US$ 93 (sekitar Rp 60 ribu) per unit. Tak ada tes apa pun. Sama halnya dengan di PSU (Pacific States University). Universitas ini hanya mensyaratkan surat kelahiran, daftar nilai rapor sekolah, dan penyataan kesanggupan orangtua atau wali si calon untuk membiayai kuliah. Uang pendaftaran US$ 55 (sekitar Rp 35 ribu). Enak, 'kan? Tapi jangan kaget kalau kemudian ditemukan hal-hal sepertl tak ada kuliah, karena dosennya kurang tak bisa meminjam buku karena perpustakaan tak lengkap. Dan ternyata, bagi orang AS sendiri, untuk masuk community college tak dipungut bayaran sepeser pun. Akan halnya PSU, ia terletak di tengah perkampungan di pinggir jalan bernama Western, Los Angeles -- tak meyakinkan sebagai sebuah kampus. Dan kalau anda, seorang asing, menanyakan soal kualitas kepada Lynn Regirr, humas PSU, ia akan langsung mencak-mencak: "Wih, tanyakan sama Departemen Pendidikan sana. Kami terdaftar pada Pemerintah Federal, Iho." Lucunya, misalnya anda kemudian minta keterangan tentang jumlah mahasiswa, Regan ini akan terkejut sebentar, lantas menjawab acuh-tak-acuh: "Belum dihitung semua." Ia memang tak tahu kayaknya. Jadi, untuk amannya, sejumlah hal memang mesti ditanyakan bila sebuan universitas kurang terkenal. Pertama, sudahkah universitas itu mendapat akreditasi (accreditation) dari badan yang biasa memberikannya. Itu adalah tanda sudah memenuhi standar mutu yang ditetapkan. Bisa juga ditanyakan perbandingan jumlah dosen dan mahasiswa. Berapa dosen bergelar Ph.D (doktor). Syukur-syukur ada guru besarnya yang punya reputasi internasional. Sekedar contoh, sebuah universitas negeri yang amat terkenal, University of California, Berkeley, lebih dari 12 dosennya pemenang Hadiah nobel. Tanpa nyinyir bertanya-tanya, bisa-bisa seorang calon mahasiswa asing kejeblos masuk Open Iniversity of Washington, misalnya. Meski memakai kata university, lembaga ini sekedar pusat kursus -- antara lain kursus menulis naskah untuk tv dan film, kursus cara memulai bisnis, kursus cara menempuh karier di bidang politik. Adapun soal biaya kuliah, memang tergantung universitasnya: negeri atau swasta. Juga tergantung jurusan. Untuk gambaran saja: kalau diambil rata-rau, kuliah di kelompok University of California misalnya setiap semester menghabiskan sekitar US$ 1250 -- lebih kurang Rp. 750 ribu. Sedang biaya hidup, dengan cara berhemat, sebulan bisa US$ 40 atau sekitar Rp 250 ribu. Dan ini termasuk yang ringan. Tapi haruskah selalu disayangkan bila ternyata seorang calo mahasiswa hanya diterima di sebuah perguruan tinggi yang meragukan? Ternyata tergantung si mahasiswa sendiri. Kalau dia memang pintar, kesempatan tak akan disia-siakan. Ia bisa saja ikut kuliah setahun, kemudian mendaftar ke universitas yang baik. Beberapa orang memang lewat cara ini. Kecuali mudah dan murah, juga langsung hisa dapat formulir 1-20 untuk tinggal di sana. Tapi memang bisa berabe, bila ukuran otak sebenarnya pas-pasan saja. Kalau di Indonesia ada gelar aspal (asli tapi palsu), di AS ada gelar asli tapi tak bermutu. Pejabat pendidikan di sana selalu berpesan kepada calon mahasiswa dari luar AS: hati-hatilah kau, nak, degan perguruan tinggi yang menawarkan gelar apa saja, sampai juga Ph.D. Di AS sendiri seorang yang bergelar biasanya selalu menambahkan nama universitasnya di belakang. Ijazah doktor memang bisa keren. Tapi bagaimana bila nilainya tak lebih dari harga kertas ijazah itu? Renungkanlah, nak. Di Ingris Itu di Amerika. Di negeri Ratu Elizabeth, masalah dunia perguruan tinggi lain lagi. Memang banyak mahasiswa asing kuliah di sini --terutama dari negeri-negeri Persemakmuran Inggris Raya. Dan enaknya, sebelum 1980 uang kuliah untuk mahasiswa asing lebih rendah dibanding untuk mahasiswa Inggris sndiri. Ada subsidi dari Pemerintah Inggris -- dan ini yang kadang bikin mahasiswa sana nyapnyap. Tapi dengan membanjirnya mahasiswa asing (1967 tercatat 30-an ribu, 1978 hampir 90 ribu), pemerintah sana pun mulai berpikir. Dalam tindak penhematan anggaran belanja, sjak tahun lalu uang kuliah mahasiswa asing disamakan dengan uang kuliah mahasiswa pribumi. Akibatnya langsung terlihat: tahun 1980 hanya tercatat 72 ribu mahasiswa. Belum termasuk, memang, para pelajar dari luar yang hanya mengikuti kursus baik di universius (musim panas) maupun diluar, yang lamanya kurang dari enam bulan: bahasa Inggris, sekretaris, tata rias atau tau busana, misalnya. Dari 44 universitas di Inggris, memang susah disebut mana yang bermutu mana yang tidak. Soalnya, berbeda dengan di Indonesia atau di AS, tiap satu universitas terdiri dari sejumlah schools. colleges atau institutes, yang masing-masing punya sejumlah fakultas lagi. Misalnya University of Oxford yang terkenal itu --sekurang-kurangnya punya 35 colleges. Memang, universitas yang terkenal biasanya hanya menonjol jurusan tertentunya saja. Oxford misalnya kesohor dalam jurusan-jurusan politik filsafat dan ekonominya. Tapi menonjol atau tidak, masuk salah satu jurusan di sebuah universitas memang tak mudah. Calon mahasiswa asing, kecuali dituntut penguasaan bahasa Inggris, harus pula berhasil mendapatkan yang disebut 'O' (ordinary) level dan 'A' (advance) level. Biasanya untuk yang 'O diujikan lima mata pelajaran dan yang A dua mata pelajaran, yang berbeda-beda untuk tiap jurusan. Bagi mahasiswa pasca-sarjana, yang ijazahnya diakui British Council, persyaratan itu tak berlaku. Tapi bila anda merasa ngeri, ada jenis perguruan tinggi lain yang disebut polytecbnic -- berjumlah sekitar 30 buah di sana. Polytechnic pun memberikan gelar -- dengan persyaratan penerimaan ang lebih longgar: tanpa harus lewat level-level macam di universitas. Cara berkuliah seenaknya. Bisa full-time, bisa fart-time, atau yang disebut menjadi sand-wich students: mengikuti kuliah hanya kalau ada waktu. Jelas masa berakhir kuliah pun santai - bisa bertahun-tahun. Kini tercatat sekitar 260 ribu mahasiswa kuliah di Polytechnic. Yang lebih santai lagi pun ada. Disebut universitas terbuka (open university), yang terbuka bagi semua usia tanla persyaratan pendidikan sebelumnya. Jelasnya: calon bisa hanya dites kemampuannya (dan bukan ijazah) untuk bisa diterima. Universitas ini, yang bukan hanya kursus-kursus, terdiri dari tingkat-tingkat dan menyediakan gelar. Hanya, kuliah bisa diikuti lewat tv atau radio. Bahan pelajaran atau buku dikirim lewat pos. Diskusi diadakan seminggu sekali di perpustakaan di daerah tempat tinggal si mahasiswa, atau malahan di rumahnya. Meski mutunya tak menonjol, universitas terbuka ini tiap tahun rata-rata mengeluarkan lima ribu lulusan. Dan kini punya 60 ribu mahasiswa berbagai jurusan. ENTAH mengapa kuliah dalam bidang kedokteran hewan di Inggris sungguh susah. Untuk tercatat sebagai mahasiswa, orang harus melewati ujian banyak mata pelajaran dengan tuntutan nilai 'A'. 'yang kedua susahnya adalah menjadi mahasiswa jurusan kedokteran. Adapun uang kuliah setahunnya tak jauh berbeda dengan kuliah di AS. Berkisar antara œ 2-5 ribu (sekitar Rp 2,5-6 juta). Paling murah jurusan sastra, paling mahai kalau mau jadi dokter. Bila seorang calon mahasiswa dari luar sukses mengatasi segala persyaraun awal, tantangan kedua akan segera muncul: mencari perumahan. Soalnya tak mudah -- dan tak murah. Sebuah flat di sekitar kampus kini disewakan œ 25 (sekitar Rp 30 ribu) seminggu -- belum termasuk ongkos listrik, gas, pemanas dan telepon. Agak jauh dari kampus sewanya memang bisa turun sedikit sekitar œ 5 seminggu. Sama saja kecuali ia sering membolos. Cuma kini, sebagai kebalikan dari perguruan tinggi AS, universitas di Inggris justru cenderung menutup diri. Ini untuk mempertahankan mutu -- termasuk cukupnya fasilitas pendidikan. Keputusan Kabinet Thatcher menyetop subsidi memang berakibat berat Asto University di Birmingham, yang kesohor di bidang ilmu-ilmu dasar, teknik, manajemen dan ilmu-ilmu sosial, terpaksa menutup pendaftaran mahasiswa meski sesungguhnya masih ada lowongan buat sekitar 300 kepala. Dan ini berarti pengurangan 25% dari biasanya. Mahasiswa Indonesia sendiri yang kuliah di Inggeris ada sekitar 1500 orang -- tahun lalu tercatat sekitar 1600-an. Di Jerman Barat Inilah negara yang paling banyak menampung anak-anak kita. Kini sekitar 1 ribu pelajar Indonesia kuliah di sana - antara lain di Berlin Barat 2.500 orang, di Hamburg sekitar 600. Rahasianya? Kuliah di bekas negara Hitler ini bisa tanpa sepeser uang pun. Gratis -- dan buku-buku tersedia cukup di perpustakaan. Juga, untuk masuk menjadi mahasiswa sebuah universitas di sana, asyik. Tes masuk tak ada. Yang dilihat adalah nilai rata-rata ijazah yang tak boleh kurang dari 7. Ini konon menyebabkan munculnya kasus ijazah palsu -- entah bagaimana caranya. Satu-satunya yang gawat: ketika si mahasiswa masuk tingkat persiapan yang disebut student kolleg. Di tingkat yang lamanya dua semester itu ia tak boleh ngendon lebih dari sekali. Begitu ujian akhir untuk kedua kalinya anda tak lulus, tertutup sudah kesempatan masuk perguruan tinggi -- untuk seluruh Jerman Barat. Memang sudah disetel. Ada yang menarik dalam hal biaya hidup. Biasanya Kedubes Jerman Barat, di Indonesia misalnya, ketika seorang pelajar minta izin kuliah di sana, menyuruh membuktikan bahwa si calon memang sanggup membiayai hidupnya. Misalnya kini dengan cara hidup yang bukan main sederhana, seorang mahasiswa membutuhkan 650 DM (sekitar Rp 175 ribu) per bulan. Tapi nyatanya kebanyakan orang kita kuliah sambil bekerja sambilan. Kebanyakan sebagai buruh kasar di percetakan dua kali seminggu. Di Hamburg ada sebuah percetakan yang pegawainya hampir semuanya pemuda-pemudi kita. Ini milik Axel Springer, penerbit dan wartawan cukup tenar. Upah bekerja dua kali seminggu itu rata-rata 600 DM. Enak, kan? Masalahnya: kini semakin susah mencari kerja sambilan itu. Buruh asing semakin membanjir, dan itu sendiri jadi problem. Di Timur Tengah Tak tercatat berapa mahasiswa kita di negeri-negeri Arab. Yang jelas, masalah cuma yang harus dihadapi ketika mereka mendaftar entah ke sebuah universitas di Kairo, Riyadh atau di Tripoli, atau di Abudhabi, ialah soal muadalah (persamaan) ijazah. Tak semua ijazah Indonesia dapat langsung diterima. Yang tak diterima harus melewati tes lagi. Masalah kedua, soal bahasa yang Arab itu. Tapi bila anda keluaran Pondok Gontor misalnya, seperti yang dikaitkan beberapa mahasiswa di Kuwait, kesukaran bahasa akan tak ada. Toh ada kebijaksanaan, rupanya. Seorang mahasiswa kedokteran di Jeddah menyarankan: minta saja dispensasi untuk membereskan mata kuliah pokok kedokterannya dulu, misalnya -- nanti baru mengangsur mata kuliah pokok Studi Islam. Kecuali di Universitas Al Azhar, Kairo, yang mata kuliah pokok Studi Islamnya juga diujikan untuk menentukan kenaikan tingkat. Masalahnya: bahasa Inggris di banyak universitas di Saudi hampir-hampir menjadi "bahasa kedua". Setidak-tidaknya, kecali untuk jurusan agama tentu saja, cukup banyak dosen didatangkan dari Amerika atau negeri Barat lain -- apa lagi seperti di Universius Petroleum dan Mineral di Dhahran yang maju, misalnya. Di Jepng Sebaliknya di Jepang -- tak ada "kebaikan hati" itu. Tak hati-hati mempersiapkan diri kuliah di sana, bisa seperti ayam kelaparan di lumbung padi. Hampir semua universius di Jepang dalam kuliah, seminar, praktek laboratorium, menggunakan hanya bahasa Jepang. Cuma dua universius menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya: Sophia University dan International Christian University. Di luar itu, semua buku teks misalnya sudah diterjemahkan ke bahasa Jepang. Perguruan tinggi di Jepang kini sekiur 975 buah. Terdiri dari 93 universitas negeri, 34 universitas umum (kepunyaan pemerintah daerah), 324 universitas swasta. Yang lain merupakan jenis akademi atau junior college yang masa belajarnya hanya 3 atau 2 tahun. Yang unik, sebagian besar universitas menjamin mahasiswanya lulus. Para profesor pembimbing sangat malu bila tidak. Putus sekolah bukan hal lazirn di sana. Si mahasiswa akan ditolong sebisa-bisa, meski tentunya ada juga yang tetap gagal. Sebaliknya, yang susah memang ketika tes masuk. Apalagi untuk universitas terkenal seperti Universitas Teknologi Tokyo, Universitas Kyoto, Universitas Hitotsubashi (ini yang negeri). Atau uni Universitas Waseda, Universitas Keio -- yang swasta. Bagi orang Jepang sendiri, kualitas universitas dianggap penting -- lebih dari gelar kesarjanaannya sendiri. Mereka lebih suka mengatakan berasal dari universitas mana daripada memamerkan gelar. Itulah sebabnya, biasanya, yang jatuh masuk tes universitas terkenal tak begitu saja mengalihkan tujuan ke tempat lain -- walau harus menunggu setahun. Maka agak lucu bagi orang Jepang bila tahu banyak mahasiswa asing sebetulnya sekedar mengejar gelar. Bagi orang Jepang, lebih baik masuk yumeina daigaku (universitas terkenal) meski tak sampai lulus. Untuk mencari pekerjaan akan lebih dihargai daripada menyandang gelar dari universitas tak bernama. Mungkin karena soal bahasa tadi mahasiswa kita tak banyak yang belajar di Jepang. Kini tercatat 208 orang itupun 115-nya penerima bea siswa departemen pendidikan sana. Yang lain, hampir sepertiganya hanya belajar bahasa Jepang. Praktis yang belajar atas usaha sendiri hanya sekitar 60 orang kebanyakan di bidang teknik, ekonomi dan disain interior. Ada sikap orang Jepang yang menarik. Mereka lebih menghargai ijazah universitas sendiri daripada universitas luar -- meski yang luar negeri itu Universitas Sorbonne di Paris atau Berkeley atau Harvard. Karena itu, kalau banyak anak kita sibuk bertanya: 'bagaimana bisa belajar di luar negeri? ', pertanyaan pemuda Jepang barangkali kebalikannya: 'Belajar di luar negeri? Ah - buat apa?'

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus