MENUNTUT ilmu ke negeri orang, apa celanya? Mungkin memang tak
ada -- terutama bagi yang dikirim pemerintah atau lembaga resmi
lain. Di samping universitas telah dipilihkan dan dijamin
kualitasnya, biaya tentu pula ditanggung. Lain soalnya bila
calon mahasiswa berupaya sendiri. Persoalan paling pokok:
memilih perguruan tingginya. Disini nasihat orang tua teringat
kembali. Jangan berguru kepada sembarang orang, kata kakek,
dulu itu. Bisa-bisa mendapat ilmu setan. He.
Ilmu setan barangkali memang bukan ancaman terbesar, dalam
hubungan sekolah di luar negeri. Tapi keliru memilih perguruan
tinggi, berarti paling tidak uang melayang dengan sia-sia -
sementara umur hanya menjadi bertambah tua. Atau, lebih konkrit
seperti yang dikatakan Prof. Doyce B. Nunis, seorang guru besar
di University of Southern California, "bisa-bisa anda pulang
kampung membawa gelar hebat tapi tanpa kemampuan."
Mungkin anda tak percaya: benarkah ada perguruan tinggi di luar
negeri yang keropos mutunya? Eh -- "luar negeri" Iho!
Padahal luar negeri juga bermacam-macam -- dan punya problema
sendiri-sendiri." Sejumlah koresponden TEMPO di beberapa negara
maju mencoba meliput dunia perguruan tinggi di sana.
Di Amerika Serikat
Di negeri Paman Sam ini mahasiswa asing, jangan terkejut, memang
diharap datang. Dan harapan dari dunia kampus itu, menurut
majalah Fortune, sudah terasa sejak pertengahan tahun 1970-an
--dan mulai nyata lagi di awal 1980. Sebabnya?
Sejak pertengahan 1970-an, ada perubahan besar dalam dunia
pencarian kerja. Masa keemasan bagi para lulusan universitas
terhitung tahun-tahun 50-an sampai 60-an -- ketika para sarjana
dengan mudah mendapat pekerjaan yang pantas dengan gaji yang
pantas. Dan masa itu kelihatan surut.
Apapun penyebabnya, hal itu lantas mengubah pandangan para
pemuda AS. Mereka menjadi enggan menghabiskan waktu dan uang --
yang mahal -- di bangku kuliah. Dan lebih suka masuk sekolah
kejuruan atau kursus-kursus yang memang menjadi sangat praktis,
di samping yang langsung saja mencari kerja dengan sistem
magang, misalnya.
Akibatnya perguruan tinggi jadi sepi sendiri. Bahkan, menurut
majalah tersebut, beberapa sekolah tinggi ilmu sosial dan
kemanusiaan bangkrut dan ditutup. Tahun 1968 seluruh universitas
di AS menampung 1,2 juta mahasiswa. Enam tahun kemudian, 1974,
pemuda sana yang mau kuliah hanya 840 ribu.
Sebab kedua juga tak kurang menarik. Ledakan bayi sesudah Perang
Dunia II, yang di tahun 50-an menyebabkan diperluasnya sejumlah
universitas untuk menampung mereka, ternyata tak berlanjut.
Sejak awal 60-an angka kelahiran turun. Pemuda usia universitas
di akhir 70-an mulai berkurang.
Maka tak mengherankan bila sejumlah universitas mulai getol
mencari mahasiswa luar. Dan hasilnya memang lumayan. Catatan
terakhir: hampir 300 ribu mahasiswa asing duduk di bangku kuliah
di sekitar 2 ribb lebih perguruan tinggi AS.
Mahasiswa asal Indonesia sendiri sebetulnya tak banyak: baru
sekitar 2.500 -- termasuk yang dikirim pemerintah. Tapi incaran
para pemuda Indonesia, menurut beberapa travel biro, meman AS
terutama. Lebih-lebih sejak 1978.
Memang tak berarti universitas sana lantas mau begitu saja
menerima calon mahasiswa. Di antara sejumlah persyaratan, nilai
ijazah dan rapor SMA -- dan kemampuan bahasa Inggris -- termasuk
mutlak. Dan lebih penting lagi tentunya kesanggupan membiayai
kuliah dan hidup di sana. Yang terakhir ini malah harus
dikuatkan oleh notaris -- jangan sampai mereka jadi gelandangan,
kan?
Masih ada lagi Si calon mahasiswa harus menyerahkan hasil ujian
standar, yang disebut SAT (Stholastic Aptitude Test). Ini untuk
mengetahui kemampuannya dalam tatabahasa dan perbendaharaan kata
Inggris, Matematika dan llmu Pengetahuan Sosial.
Konon, bagi calon dari Indonesia soal matematika tak menyulitkan
benar. Tapi bahasa Inggrisnya itu -- walaupun (untungnya) untuk
calon yang datang dari negara dengan bahasa bukan -- Inggris,
ada TOEFL (Test of English as Foreign Language). Test ini
diselenggarakan di negara asal.
Kalau semua itu sudah beres, si calon lantas berurusan dengan
Pemerintah AS. Ia mesti bisa menunjukkan yang disebut formulir
I-20 -- sertifikat yang menyatakan ia memang berhak diberi
status mahasiswa -- untuk mendapat izin tinggal di negeri itu.
Formulir tersebut dapat diperoleh dari perguruan tinggi yang
didaftari.
Nah. Bila persyaratan itu semua tak diminta oleh pihak
universitas (atau lewat agennya), seorang calon mahasiswa asing
seharusnya curiga. Mesti ada apa-apanya, nih.
Misalnya saja: ada jenis perguruan tinggi yunior yang kini lazim
disebut community college, yang cuma memberikan pendidikan dua
tahun dan hanya memberikan gelar AA (Associate in Arts). Entah
gelar apa pula itu. Tapi syarat masuk perguruannya memang mudah,
dan murah sanggup membayar uang kuliah sebesar US$ 93 (sekitar
Rp 60 ribu) per unit. Tak ada tes apa pun.
Sama halnya dengan di PSU (Pacific States University).
Universitas ini hanya mensyaratkan surat kelahiran, daftar
nilai rapor sekolah, dan penyataan kesanggupan orangtua atau
wali si calon untuk membiayai kuliah. Uang pendaftaran US$ 55
(sekitar Rp 35 ribu). Enak, 'kan?
Tapi jangan kaget kalau kemudian ditemukan hal-hal sepertl tak
ada kuliah, karena dosennya kurang tak bisa meminjam buku
karena perpustakaan tak lengkap. Dan ternyata, bagi orang AS
sendiri, untuk masuk community college tak dipungut bayaran
sepeser pun.
Akan halnya PSU, ia terletak di tengah perkampungan di pinggir
jalan bernama Western, Los Angeles -- tak meyakinkan sebagai
sebuah kampus. Dan kalau anda, seorang asing, menanyakan soal
kualitas kepada Lynn Regirr, humas PSU, ia akan langsung
mencak-mencak: "Wih, tanyakan sama Departemen Pendidikan sana.
Kami terdaftar pada Pemerintah Federal, Iho." Lucunya, misalnya
anda kemudian minta keterangan tentang jumlah mahasiswa, Regan
ini akan terkejut sebentar, lantas menjawab acuh-tak-acuh:
"Belum dihitung semua." Ia memang tak tahu kayaknya.
Jadi, untuk amannya, sejumlah hal memang mesti ditanyakan bila
sebuan universitas kurang terkenal. Pertama, sudahkah
universitas itu mendapat akreditasi (accreditation) dari badan
yang biasa memberikannya. Itu adalah tanda sudah memenuhi
standar mutu yang ditetapkan. Bisa juga ditanyakan perbandingan
jumlah dosen dan mahasiswa. Berapa dosen bergelar Ph.D (doktor).
Syukur-syukur ada guru besarnya yang punya reputasi
internasional. Sekedar contoh, sebuah universitas negeri yang
amat terkenal, University of California, Berkeley, lebih dari 12
dosennya pemenang Hadiah nobel.
Tanpa nyinyir bertanya-tanya, bisa-bisa seorang calon mahasiswa
asing kejeblos masuk Open Iniversity of Washington, misalnya.
Meski memakai kata university, lembaga ini sekedar pusat kursus
-- antara lain kursus menulis naskah untuk tv dan film, kursus
cara memulai bisnis, kursus cara menempuh karier di bidang
politik.
Adapun soal biaya kuliah, memang tergantung universitasnya:
negeri atau swasta. Juga tergantung jurusan. Untuk gambaran
saja: kalau diambil rata-rau, kuliah di kelompok University of
California misalnya setiap semester menghabiskan sekitar US$
1250 -- lebih kurang Rp. 750 ribu. Sedang biaya hidup, dengan
cara berhemat, sebulan bisa US$ 40 atau sekitar Rp 250 ribu.
Dan ini termasuk yang ringan.
Tapi haruskah selalu disayangkan bila ternyata seorang calo
mahasiswa hanya diterima di sebuah perguruan tinggi yang
meragukan? Ternyata tergantung si mahasiswa sendiri. Kalau dia
memang pintar, kesempatan tak akan disia-siakan. Ia bisa saja
ikut kuliah setahun, kemudian mendaftar ke universitas yang
baik. Beberapa orang memang lewat cara ini. Kecuali mudah dan
murah, juga langsung hisa dapat formulir 1-20 untuk tinggal di
sana. Tapi memang bisa berabe, bila ukuran otak sebenarnya
pas-pasan saja.
Kalau di Indonesia ada gelar aspal (asli tapi palsu), di AS ada
gelar asli tapi tak bermutu. Pejabat pendidikan di sana selalu
berpesan kepada calon mahasiswa dari luar AS: hati-hatilah kau,
nak, degan perguruan tinggi yang menawarkan gelar apa saja,
sampai juga Ph.D. Di AS sendiri seorang yang bergelar biasanya
selalu menambahkan nama universitasnya di belakang. Ijazah
doktor memang bisa keren. Tapi bagaimana bila nilainya tak lebih
dari harga kertas ijazah itu? Renungkanlah, nak.
Di Ingris
Itu di Amerika. Di negeri Ratu Elizabeth, masalah dunia
perguruan tinggi lain lagi. Memang banyak mahasiswa asing
kuliah di sini --terutama dari negeri-negeri Persemakmuran
Inggris Raya. Dan enaknya, sebelum 1980 uang kuliah untuk
mahasiswa asing lebih rendah dibanding untuk mahasiswa Inggris
sndiri. Ada subsidi dari Pemerintah Inggris -- dan ini yang
kadang bikin mahasiswa sana nyapnyap.
Tapi dengan membanjirnya mahasiswa asing (1967 tercatat 30-an
ribu, 1978 hampir 90 ribu), pemerintah sana pun mulai berpikir.
Dalam tindak penhematan anggaran belanja, sjak tahun lalu uang
kuliah mahasiswa asing disamakan dengan uang kuliah mahasiswa
pribumi. Akibatnya langsung terlihat: tahun 1980 hanya tercatat
72 ribu mahasiswa. Belum termasuk, memang, para pelajar dari
luar yang hanya mengikuti kursus baik di universius (musim
panas) maupun diluar, yang lamanya kurang dari enam bulan:
bahasa Inggris, sekretaris, tata rias atau tau busana, misalnya.
Dari 44 universitas di Inggris, memang susah disebut mana yang
bermutu mana yang tidak. Soalnya, berbeda dengan di Indonesia
atau di AS, tiap satu universitas terdiri dari sejumlah schools.
colleges atau institutes, yang masing-masing punya sejumlah
fakultas lagi. Misalnya University of Oxford yang terkenal itu
--sekurang-kurangnya punya 35 colleges. Memang, universitas yang
terkenal biasanya hanya menonjol jurusan tertentunya saja.
Oxford misalnya kesohor dalam jurusan-jurusan politik filsafat
dan ekonominya.
Tapi menonjol atau tidak, masuk salah satu jurusan di sebuah
universitas memang tak mudah. Calon mahasiswa asing, kecuali
dituntut penguasaan bahasa Inggris, harus pula berhasil
mendapatkan yang disebut 'O' (ordinary) level dan 'A' (advance)
level. Biasanya untuk yang 'O diujikan lima mata pelajaran dan
yang A dua mata pelajaran, yang berbeda-beda untuk tiap
jurusan. Bagi mahasiswa pasca-sarjana, yang ijazahnya diakui
British Council, persyaratan itu tak berlaku.
Tapi bila anda merasa ngeri, ada jenis perguruan tinggi lain
yang disebut polytecbnic -- berjumlah sekitar 30 buah di sana.
Polytechnic pun memberikan gelar -- dengan persyaratan
penerimaan ang lebih longgar: tanpa harus lewat level-level
macam di universitas. Cara berkuliah seenaknya. Bisa
full-time, bisa fart-time, atau yang disebut menjadi sand-wich
students: mengikuti kuliah hanya kalau ada waktu. Jelas masa
berakhir kuliah pun santai - bisa bertahun-tahun. Kini tercatat
sekitar 260 ribu mahasiswa kuliah di Polytechnic.
Yang lebih santai lagi pun ada. Disebut universitas terbuka
(open university), yang terbuka bagi semua usia tanla
persyaratan pendidikan sebelumnya. Jelasnya: calon bisa hanya
dites kemampuannya (dan bukan ijazah) untuk bisa diterima.
Universitas ini, yang bukan hanya kursus-kursus, terdiri dari
tingkat-tingkat dan menyediakan gelar. Hanya, kuliah bisa
diikuti lewat tv atau radio. Bahan pelajaran atau buku dikirim
lewat pos. Diskusi diadakan seminggu sekali di perpustakaan di
daerah tempat tinggal si mahasiswa, atau malahan di rumahnya.
Meski mutunya tak menonjol, universitas terbuka ini tiap tahun
rata-rata mengeluarkan lima ribu lulusan. Dan kini punya 60 ribu
mahasiswa berbagai jurusan.
ENTAH mengapa kuliah dalam bidang kedokteran hewan di Inggris
sungguh susah. Untuk tercatat sebagai mahasiswa, orang harus
melewati ujian banyak mata pelajaran dengan tuntutan nilai 'A'.
'yang kedua susahnya adalah menjadi mahasiswa jurusan
kedokteran.
Adapun uang kuliah setahunnya tak jauh berbeda dengan kuliah di
AS. Berkisar antara œ 2-5 ribu (sekitar Rp 2,5-6 juta). Paling
murah jurusan sastra, paling mahai kalau mau jadi dokter.
Bila seorang calon mahasiswa dari luar sukses mengatasi segala
persyaraun awal, tantangan kedua akan segera muncul: mencari
perumahan. Soalnya tak mudah -- dan tak murah. Sebuah flat di
sekitar kampus kini disewakan œ 25 (sekitar Rp 30 ribu) seminggu
-- belum termasuk ongkos listrik, gas, pemanas dan telepon. Agak
jauh dari kampus sewanya memang bisa turun sedikit sekitar œ 5
seminggu. Sama saja kecuali ia sering membolos.
Cuma kini, sebagai kebalikan dari perguruan tinggi AS,
universitas di Inggris justru cenderung menutup diri. Ini untuk
mempertahankan mutu -- termasuk cukupnya fasilitas pendidikan.
Keputusan Kabinet Thatcher menyetop subsidi memang berakibat
berat Asto University di Birmingham, yang kesohor di bidang
ilmu-ilmu dasar, teknik, manajemen dan ilmu-ilmu sosial,
terpaksa menutup pendaftaran mahasiswa meski sesungguhnya masih
ada lowongan buat sekitar 300 kepala. Dan ini berarti
pengurangan 25% dari biasanya. Mahasiswa Indonesia sendiri
yang kuliah di Inggeris ada sekitar 1500 orang -- tahun lalu
tercatat sekitar 1600-an.
Di Jerman Barat
Inilah negara yang paling banyak menampung anak-anak kita.
Kini sekitar 1 ribu pelajar Indonesia kuliah di sana - antara
lain di Berlin Barat 2.500 orang, di Hamburg sekitar 600.
Rahasianya? Kuliah di bekas negara Hitler ini bisa tanpa sepeser
uang pun. Gratis -- dan buku-buku tersedia cukup di
perpustakaan.
Juga, untuk masuk menjadi mahasiswa sebuah universitas di sana,
asyik. Tes masuk tak ada. Yang dilihat adalah nilai rata-rata
ijazah yang tak boleh kurang dari 7. Ini konon menyebabkan
munculnya kasus ijazah palsu -- entah bagaimana caranya.
Satu-satunya yang gawat: ketika si mahasiswa masuk tingkat
persiapan yang disebut student kolleg. Di tingkat yang lamanya
dua semester itu ia tak boleh ngendon lebih dari sekali. Begitu
ujian akhir untuk kedua kalinya anda tak lulus, tertutup sudah
kesempatan masuk perguruan tinggi -- untuk seluruh Jerman Barat.
Memang sudah disetel.
Ada yang menarik dalam hal biaya hidup. Biasanya Kedubes Jerman
Barat, di Indonesia misalnya, ketika seorang pelajar minta izin
kuliah di sana, menyuruh membuktikan bahwa si calon memang
sanggup membiayai hidupnya. Misalnya kini dengan cara hidup
yang bukan main sederhana, seorang mahasiswa membutuhkan 650 DM
(sekitar Rp 175 ribu) per bulan.
Tapi nyatanya kebanyakan orang kita kuliah sambil bekerja
sambilan. Kebanyakan sebagai buruh kasar di percetakan dua kali
seminggu. Di Hamburg ada sebuah percetakan yang pegawainya
hampir semuanya pemuda-pemudi kita. Ini milik Axel Springer,
penerbit dan wartawan cukup tenar.
Upah bekerja dua kali seminggu itu rata-rata 600 DM. Enak, kan?
Masalahnya: kini semakin susah mencari kerja sambilan itu. Buruh
asing semakin membanjir, dan itu sendiri jadi problem.
Di Timur Tengah
Tak tercatat berapa mahasiswa kita di negeri-negeri Arab. Yang
jelas, masalah cuma yang harus dihadapi ketika mereka mendaftar
entah ke sebuah universitas di Kairo, Riyadh atau di Tripoli,
atau di Abudhabi, ialah soal muadalah (persamaan) ijazah. Tak
semua ijazah Indonesia dapat langsung diterima. Yang tak
diterima harus melewati tes lagi.
Masalah kedua, soal bahasa yang Arab itu. Tapi bila anda
keluaran Pondok Gontor misalnya, seperti yang dikaitkan beberapa
mahasiswa di Kuwait, kesukaran bahasa akan tak ada.
Toh ada kebijaksanaan, rupanya. Seorang mahasiswa kedokteran di
Jeddah menyarankan: minta saja dispensasi untuk membereskan mata
kuliah pokok kedokterannya dulu, misalnya -- nanti baru
mengangsur mata kuliah pokok Studi Islam. Kecuali di Universitas
Al Azhar, Kairo, yang mata kuliah pokok Studi Islamnya juga
diujikan untuk menentukan kenaikan tingkat.
Masalahnya: bahasa Inggris di banyak universitas di Saudi
hampir-hampir menjadi "bahasa kedua". Setidak-tidaknya, kecali
untuk jurusan agama tentu saja, cukup banyak dosen didatangkan
dari Amerika atau negeri Barat lain -- apa lagi seperti di
Universius Petroleum dan Mineral di Dhahran yang maju, misalnya.
Di Jepng
Sebaliknya di Jepang -- tak ada "kebaikan hati" itu. Tak
hati-hati mempersiapkan diri kuliah di sana, bisa seperti ayam
kelaparan di lumbung padi. Hampir semua universius di Jepang
dalam kuliah, seminar, praktek laboratorium, menggunakan hanya
bahasa Jepang. Cuma dua universius menggunakan bahasa Inggris
sebagai bahasa pengantarnya: Sophia University dan International
Christian University. Di luar itu, semua buku teks misalnya
sudah diterjemahkan ke bahasa Jepang.
Perguruan tinggi di Jepang kini sekiur 975 buah. Terdiri dari 93
universitas negeri, 34 universitas umum (kepunyaan pemerintah
daerah), 324 universitas swasta. Yang lain merupakan jenis
akademi atau junior college yang masa belajarnya hanya 3 atau 2
tahun.
Yang unik, sebagian besar universitas menjamin mahasiswanya
lulus. Para profesor pembimbing sangat malu bila tidak. Putus
sekolah bukan hal lazirn di sana. Si mahasiswa akan ditolong
sebisa-bisa, meski tentunya ada juga yang tetap gagal.
Sebaliknya, yang susah memang ketika tes masuk. Apalagi untuk
universitas terkenal seperti Universitas Teknologi Tokyo,
Universitas Kyoto, Universitas Hitotsubashi (ini yang negeri).
Atau uni Universitas Waseda, Universitas Keio -- yang swasta.
Bagi orang Jepang sendiri, kualitas universitas dianggap penting
-- lebih dari gelar kesarjanaannya sendiri. Mereka lebih suka
mengatakan berasal dari universitas mana daripada memamerkan
gelar. Itulah sebabnya, biasanya, yang jatuh masuk tes
universitas terkenal tak begitu saja mengalihkan tujuan ke
tempat lain -- walau harus menunggu setahun.
Maka agak lucu bagi orang Jepang bila tahu banyak mahasiswa
asing sebetulnya sekedar mengejar gelar. Bagi orang Jepang,
lebih baik masuk yumeina daigaku (universitas terkenal) meski
tak sampai lulus. Untuk mencari pekerjaan akan lebih dihargai
daripada menyandang gelar dari universitas tak bernama.
Mungkin karena soal bahasa tadi mahasiswa kita tak banyak yang
belajar di Jepang. Kini tercatat 208 orang itupun 115-nya
penerima bea siswa departemen pendidikan sana. Yang lain, hampir
sepertiganya hanya belajar bahasa Jepang. Praktis yang belajar
atas usaha sendiri hanya sekitar 60 orang kebanyakan di bidang
teknik, ekonomi dan disain interior.
Ada sikap orang Jepang yang menarik. Mereka lebih menghargai
ijazah universitas sendiri daripada universitas luar -- meski
yang luar negeri itu Universitas Sorbonne di Paris atau Berkeley
atau Harvard.
Karena itu, kalau banyak anak kita sibuk bertanya: 'bagaimana
bisa belajar di luar negeri? ', pertanyaan pemuda Jepang
barangkali kebalikannya: 'Belajar di luar negeri? Ah - buat
apa?'
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini