JAKARTA terus membangun pasar. Dan tanpa disadari berdiri pula
Pasar Kaget di Blok M, Kebayoran Baru. Malam hari, suasana di
tempat itu semarak. Apalagi di bulan puasa, pedagang kakilima
semakin gencar meneriakkan dagangannya. Warung-warung bertenda,
yang mempunyai meja dan bangku panjang, mulai ramai dikunjungi.
Puluhan lampu petromaks menerangi lokasi Pasar Kaget, meskipun
lampu listrik memancar dari tiap sudut. Bau asap daging bakar,
aroma sop kaki kambing, hentakan-hentakan penggorengan martabak,
suara serutan es pembuat es teler, semerbaknya ayam goreng
Kalasan semua menyatu dalam warna Pasar Kaget diselingi berbagai
lagu dari para pengamen.
Dan pengamen di Blok M, cukup banyak. Berhenti yang satu, muncul
kelompok lain. Meskipun begitu, para pengamen tersebut mempunyai
etika, bahwa kalau yang satu sedang menyanyi, jangan ganggu dan
jangan rebut kawasan lain.
Ketentuan ini disepakati karena Pasar Kaget tidak begitu luas
dan jumlah pengamen cukup banyak. Juga setiap pengamen,
mempunyai penggemar sendiri. Karena itu penghasilan mereka pun
tidak sama. "Dan itu rezeki masing-masing," kata Koko, pengamen
berasal dari Bandung.
Menurut Koko, rata-rata dia dapat Rp 5 ribu untuk
berdendang-dendang di Pasar Kaget setiap malam. Dia banyak
menyanyikan lagu-lagunya Selena Jones, Michael Franks dan George
Benson - penyanyi-penyanyi yang sedang digemari anak-anak muda
yang tergila-gila jazz. "Tetapi kalau ada job lain," kata Koko
yang gemar menyelipkan kata-kata Inggris dan berambut kribo,
"aku tak mau nyanyi di sini."
Koko mungkin sebagian dari pengamen yang merindukan macam
pekerjaan lain yang dianggap lebih baik dan lebih terhormat.
Ngamen dipandang hina? Belum tentu, karena banyak anak orang
berada, toh ngamen. Di luar negeri, banyak mahasiswa di musim
panas mencari uang dengan jalan ngamen. Di Indonesia, sejak
1977, pengamen juga naik gengsi. Yaitu ketika Kelompok Kampungan
dari Bengkel Teater Rendra naik panggung. Ketika itu, 28 April
1978, Kelompok Kampungan turut mewarnai acara baca puisinya
Rendra dalam rangka memperingati Chairil Anwar.
Robby Cahyadi
Sebelumnya, ketika Kelompok Kampungan mendapat sambutan yang
baik di sepanjang Malioboro, Yogya. Sebuah Festival Ngamen
pernah pula diadakan di Pasar Seni, Ancol.
Apalagi, setelah Usman Bersaudara berhasil dicuatkan oleh Nomo
Kuswoyo, ngamen bukan pekerjaan yang memalukan lagi. "Ngamen
merupakan hobi saya, sama saja seperti main golf atau tenis,"
ujar Iwan Fals, 20 tahun. Nama aslinya Virgiawan Listianto
Haryoso. Dia mengaku mulai ngamen pada usia 14 tahun dan
menganggap ngamen sebagai latihan mental yang baik. Karena dia
pernah dihalau dan dimaki, dikira pencuri, digigit anjing dan
disangka pengganggu gadis orang.
Ngamen, kata Iwan Fals, adalah latihan kecermatan bernyanyi.
"Apalagi sambil latihan, dapat duit," tambah anak pensiunan
kolonel ini. Meskipun telah rekaman, Iwan masih sering ngamen di
kampung-kampung di Bekasi, Jatinegara, Tanjungpriok dan Tebet.
"Pokoknya sampai tua saya akan ngamen terus," tegas Iwan lagi.
Blok M Kebayoran Baru adalah sasarannya ketika mula-mula terjun
sebagai pengamen di Jakarta. Tapi dia tak mau lagi ngamen di
daerah itu karena takut dikira mencari popularitas.
Pengamen lain yang berasal dari Surabaya, Mohammad Yo-no, 24
tahun. Untuk lebih pas, namanya kemudian menjadi Yono Slalu.
Bekas mahasiswa tingkat II, Jurusan Arsitektur di ITS ini lebih
menggemari lagu-lagu ciptaannya sendiri. Ada 19 lagu berikut
liriknya yang telah ia karang, beberapa di antaranya bernada
"galak".
Berirama country, Yono Slalu berdendang tentang Robby Cahyadi si
penyelundup mobil kelas kakap, tentang gadis desa yang berubah
setelah masuk kota, tentang Bung Karno yang dikaguminya, dan
banyak hal lagi. Sejak 1979, dia mangkal di Pasar Kaget. Ia juga
sering melatih anak-anak Setiabudi Dalam bermain sandiwara atau
paduan suara. Rata-rata, katanya, setiap malam dia mendapat Rp 4
ribu beroperasi di Blok M.
John Sapujagat
Pengalaman Yono antara lain: pernah rekaman bersama Teguh Esha,
penulis Ali Topan Turun ke Jalan, Dewi Beser dan memimpin orkes
yang mempunyai nama Tirai Besi. Pengalaman lain: anak pensiunan
TNI-AL ini pernah ditegur seorang petugas berwalkie-talkie,
ketika ia menyanyi di pesta SMA Ill, Setiabudi -- karena Yono
melagukan kritik-kritik pedas di pesta itu.
Penyanyi yang semacam Yono, ada pula kini yang mangkal di Pasar
Kaget. Dia baru beroperasi beberapa minggu ini. Bertampang
lumayan, bertubuh kurus, dengan jeans yang kumel, Richard
Barahama namanya, berasal dari Semarang. Sebelum di Pasar Kaget,
dia telah ,leamen di beberapa kota di Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Nama panggilannya: Ical. Usianya baru 20 tahun, jebolan
Sekolah Seni Rupa Indonesia Yogya.
Kini, telah 14 buah lagu dan lirik yang telah dibuat Richard.
Anak seorang pelaut dari Sangir Talaud ini gemar mensitir
masalah-masalah sosial dalam lagu-lagunya. Ketika Operasi
Sapujagat aktif, Ical keluar dengan lagu John Sapujagat,
ceritera tentang seorang pemuda yang banyak aksi. Ketika melihat
rumah liliput di sepanjang rel kereta api lahir sajaknya yang
berjudul Sepanjang Jalur Jatinegara, yang antara lain berbunyi:
berderet di sepanjarg rel, tikus-tikus
berderet di sepanjang rel, kecoa kecoa
berderet di sepanjang rel, babi-babi
tak habis pikir tuan menteri
tak babis pikir bapak bupati
lihat mereka senantiasa santai
tak tergoyah oleh resep teknologi.
Selama bulan puasa ini, Ical Barahama selalu keluar lebih malam
lagi. Karena di bulan Ramadhan Pasar Kaget semakin malam semakin
meriah. Dia pernah mendapat Rp 20 ribu, tetapi ratarata sekitar
Rp 4 ribu tiap malam. Seperti juga - Yono Slalu, Ical Barahama
juga menolak kalau ada pendengar yang minta lagu ciptaan lain.
"Biar didengarkan atau tidak," katanya, "saya mempunyai warna
sendiri".
Nasib Ical hingga kini belum beruntung. Artinya belum naik
panggung seperti pengamen lainnya. Dia bahkan pernah ditolak
Nomo dengan alasan pasran kaset sedang sepi.
Di samping itu, Pasar Kaget memang mempunyai pengamen dengan
warna dan lagu sendiri-sendiri. Kalau Koko nyanyi lagu asing,
Yono dan Ical menyanyikan lagu ciptaannya sendiri, Jono Lola,
17 tahun, adalah speialis lagu-lagu Ebiet G. Ade. Jono Lola
yang selalu mengenakan kacamata hitam, pernah bersekolah di
Pesantren Leuwiliang, Bogor.
Berasal dari Bandung, Jono kini tinggal di asrama - tunanetra
Klender. Siang hari ia tetap bersekolah di SMP kelas 11.
Suaranya cukup merdu. Dari hasil ngamennya kini dia berhasil
mempunyai radio kaset, beberapa stel baju dan sepatu, bahkan
tidak jarang mengirim uang untuk orang tuanya di Bandung.
Penghasilannya semalam rata-rata Rp 5 ribu -- dan dia harus
berbagi dengan penuntunnya.
Pasar Kaget memang pasar semarak. Di samping penyanyi-penyanyi
pria, ada seorang penyanyi yang mengenakan kain batik ketat atau
rok yang dibuat menyala mungkin. Fadiah, sebuah nama yang bagus.
Dia adalah wadam yang beroperasi di Blok M. Spesialisasinya,
menyanyikan lagu-lagunya Elvie Sukaesih, berikut goyang dan
lirikan Elvie.
Wadam kelahiran Kudus ini mempunyai gitar tua, yang selalu
digasaknya tanpa beraturan dan dengan irama yang asal jrengjreng
saja. "Saya sebetulnya tidak bisa main gitar," kata Fadiah terus
terang. Lewat ngamen, dia merasa kehidupannya lebih mendingan.
Artinya perut bisa kenyang, lipstik bisa beli dan siang dia bisa
tidur karena tidak mempunyai kerja.
Telah 9 tahun Fadiah beroperasi di situ dan hampir semua
pedagang Pasar Kaget mengenalnya. Dengan suara yang bariton
Fadiah bertutur "Jelek-jelek, nyanyi di sini kan lebih halal,
Oom."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini