Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Memanggul Gitar Di Pasar Kaget

Pengalaman para pengamen yang beroperasi di jakarta. karir musiknya dimulai di pasar-pasar, sebab para pengamen naik panggung, mengamen bukanlah milik galandangan saja.

18 Juli 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA terus membangun pasar. Dan tanpa disadari berdiri pula Pasar Kaget di Blok M, Kebayoran Baru. Malam hari, suasana di tempat itu semarak. Apalagi di bulan puasa, pedagang kakilima semakin gencar meneriakkan dagangannya. Warung-warung bertenda, yang mempunyai meja dan bangku panjang, mulai ramai dikunjungi. Puluhan lampu petromaks menerangi lokasi Pasar Kaget, meskipun lampu listrik memancar dari tiap sudut. Bau asap daging bakar, aroma sop kaki kambing, hentakan-hentakan penggorengan martabak, suara serutan es pembuat es teler, semerbaknya ayam goreng Kalasan semua menyatu dalam warna Pasar Kaget diselingi berbagai lagu dari para pengamen. Dan pengamen di Blok M, cukup banyak. Berhenti yang satu, muncul kelompok lain. Meskipun begitu, para pengamen tersebut mempunyai etika, bahwa kalau yang satu sedang menyanyi, jangan ganggu dan jangan rebut kawasan lain. Ketentuan ini disepakati karena Pasar Kaget tidak begitu luas dan jumlah pengamen cukup banyak. Juga setiap pengamen, mempunyai penggemar sendiri. Karena itu penghasilan mereka pun tidak sama. "Dan itu rezeki masing-masing," kata Koko, pengamen berasal dari Bandung. Menurut Koko, rata-rata dia dapat Rp 5 ribu untuk berdendang-dendang di Pasar Kaget setiap malam. Dia banyak menyanyikan lagu-lagunya Selena Jones, Michael Franks dan George Benson - penyanyi-penyanyi yang sedang digemari anak-anak muda yang tergila-gila jazz. "Tetapi kalau ada job lain," kata Koko yang gemar menyelipkan kata-kata Inggris dan berambut kribo, "aku tak mau nyanyi di sini." Koko mungkin sebagian dari pengamen yang merindukan macam pekerjaan lain yang dianggap lebih baik dan lebih terhormat. Ngamen dipandang hina? Belum tentu, karena banyak anak orang berada, toh ngamen. Di luar negeri, banyak mahasiswa di musim panas mencari uang dengan jalan ngamen. Di Indonesia, sejak 1977, pengamen juga naik gengsi. Yaitu ketika Kelompok Kampungan dari Bengkel Teater Rendra naik panggung. Ketika itu, 28 April 1978, Kelompok Kampungan turut mewarnai acara baca puisinya Rendra dalam rangka memperingati Chairil Anwar. Robby Cahyadi Sebelumnya, ketika Kelompok Kampungan mendapat sambutan yang baik di sepanjang Malioboro, Yogya. Sebuah Festival Ngamen pernah pula diadakan di Pasar Seni, Ancol. Apalagi, setelah Usman Bersaudara berhasil dicuatkan oleh Nomo Kuswoyo, ngamen bukan pekerjaan yang memalukan lagi. "Ngamen merupakan hobi saya, sama saja seperti main golf atau tenis," ujar Iwan Fals, 20 tahun. Nama aslinya Virgiawan Listianto Haryoso. Dia mengaku mulai ngamen pada usia 14 tahun dan menganggap ngamen sebagai latihan mental yang baik. Karena dia pernah dihalau dan dimaki, dikira pencuri, digigit anjing dan disangka pengganggu gadis orang. Ngamen, kata Iwan Fals, adalah latihan kecermatan bernyanyi. "Apalagi sambil latihan, dapat duit," tambah anak pensiunan kolonel ini. Meskipun telah rekaman, Iwan masih sering ngamen di kampung-kampung di Bekasi, Jatinegara, Tanjungpriok dan Tebet. "Pokoknya sampai tua saya akan ngamen terus," tegas Iwan lagi. Blok M Kebayoran Baru adalah sasarannya ketika mula-mula terjun sebagai pengamen di Jakarta. Tapi dia tak mau lagi ngamen di daerah itu karena takut dikira mencari popularitas. Pengamen lain yang berasal dari Surabaya, Mohammad Yo-no, 24 tahun. Untuk lebih pas, namanya kemudian menjadi Yono Slalu. Bekas mahasiswa tingkat II, Jurusan Arsitektur di ITS ini lebih menggemari lagu-lagu ciptaannya sendiri. Ada 19 lagu berikut liriknya yang telah ia karang, beberapa di antaranya bernada "galak". Berirama country, Yono Slalu berdendang tentang Robby Cahyadi si penyelundup mobil kelas kakap, tentang gadis desa yang berubah setelah masuk kota, tentang Bung Karno yang dikaguminya, dan banyak hal lagi. Sejak 1979, dia mangkal di Pasar Kaget. Ia juga sering melatih anak-anak Setiabudi Dalam bermain sandiwara atau paduan suara. Rata-rata, katanya, setiap malam dia mendapat Rp 4 ribu beroperasi di Blok M. John Sapujagat Pengalaman Yono antara lain: pernah rekaman bersama Teguh Esha, penulis Ali Topan Turun ke Jalan, Dewi Beser dan memimpin orkes yang mempunyai nama Tirai Besi. Pengalaman lain: anak pensiunan TNI-AL ini pernah ditegur seorang petugas berwalkie-talkie, ketika ia menyanyi di pesta SMA Ill, Setiabudi -- karena Yono melagukan kritik-kritik pedas di pesta itu. Penyanyi yang semacam Yono, ada pula kini yang mangkal di Pasar Kaget. Dia baru beroperasi beberapa minggu ini. Bertampang lumayan, bertubuh kurus, dengan jeans yang kumel, Richard Barahama namanya, berasal dari Semarang. Sebelum di Pasar Kaget, dia telah ,leamen di beberapa kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Nama panggilannya: Ical. Usianya baru 20 tahun, jebolan Sekolah Seni Rupa Indonesia Yogya. Kini, telah 14 buah lagu dan lirik yang telah dibuat Richard. Anak seorang pelaut dari Sangir Talaud ini gemar mensitir masalah-masalah sosial dalam lagu-lagunya. Ketika Operasi Sapujagat aktif, Ical keluar dengan lagu John Sapujagat, ceritera tentang seorang pemuda yang banyak aksi. Ketika melihat rumah liliput di sepanjang rel kereta api lahir sajaknya yang berjudul Sepanjang Jalur Jatinegara, yang antara lain berbunyi: berderet di sepanjarg rel, tikus-tikus berderet di sepanjang rel, kecoa kecoa berderet di sepanjang rel, babi-babi tak habis pikir tuan menteri tak babis pikir bapak bupati lihat mereka senantiasa santai tak tergoyah oleh resep teknologi. Selama bulan puasa ini, Ical Barahama selalu keluar lebih malam lagi. Karena di bulan Ramadhan Pasar Kaget semakin malam semakin meriah. Dia pernah mendapat Rp 20 ribu, tetapi ratarata sekitar Rp 4 ribu tiap malam. Seperti juga - Yono Slalu, Ical Barahama juga menolak kalau ada pendengar yang minta lagu ciptaan lain. "Biar didengarkan atau tidak," katanya, "saya mempunyai warna sendiri". Nasib Ical hingga kini belum beruntung. Artinya belum naik panggung seperti pengamen lainnya. Dia bahkan pernah ditolak Nomo dengan alasan pasran kaset sedang sepi. Di samping itu, Pasar Kaget memang mempunyai pengamen dengan warna dan lagu sendiri-sendiri. Kalau Koko nyanyi lagu asing, Yono dan Ical menyanyikan lagu ciptaannya sendiri, Jono Lola, 17 tahun, adalah speialis lagu-lagu Ebiet G. Ade. Jono Lola yang selalu mengenakan kacamata hitam, pernah bersekolah di Pesantren Leuwiliang, Bogor. Berasal dari Bandung, Jono kini tinggal di asrama - tunanetra Klender. Siang hari ia tetap bersekolah di SMP kelas 11. Suaranya cukup merdu. Dari hasil ngamennya kini dia berhasil mempunyai radio kaset, beberapa stel baju dan sepatu, bahkan tidak jarang mengirim uang untuk orang tuanya di Bandung. Penghasilannya semalam rata-rata Rp 5 ribu -- dan dia harus berbagi dengan penuntunnya. Pasar Kaget memang pasar semarak. Di samping penyanyi-penyanyi pria, ada seorang penyanyi yang mengenakan kain batik ketat atau rok yang dibuat menyala mungkin. Fadiah, sebuah nama yang bagus. Dia adalah wadam yang beroperasi di Blok M. Spesialisasinya, menyanyikan lagu-lagunya Elvie Sukaesih, berikut goyang dan lirikan Elvie. Wadam kelahiran Kudus ini mempunyai gitar tua, yang selalu digasaknya tanpa beraturan dan dengan irama yang asal jrengjreng saja. "Saya sebetulnya tidak bisa main gitar," kata Fadiah terus terang. Lewat ngamen, dia merasa kehidupannya lebih mendingan. Artinya perut bisa kenyang, lipstik bisa beli dan siang dia bisa tidur karena tidak mempunyai kerja. Telah 9 tahun Fadiah beroperasi di situ dan hampir semua pedagang Pasar Kaget mengenalnya. Dengan suara yang bariton Fadiah bertutur "Jelek-jelek, nyanyi di sini kan lebih halal, Oom."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus