SINGAPURA melangkah lebih maju dari tetangganya. Mulai pertengahan tahun imi, negara itu akan melancarkan vaksinasi besar-besaran untuk mencegah hepatitis B (radang hati). Sasarannya, bayi yang dilahirkan ibu yang mengidap virus hepatitis B dan petugas kesehatan, terutama yang banyak kontak dengan darah dan cairan tubuh pasien. Dan pada tahun 1986, sasaran vaksinasi itu akan diperluas ke semua lapisan masyarakat. Dari segi pengadaan vaksin, rencana itu kelihatannya tidak banyak mendapat hambatan. Sebab, dua tahun mendatang, Singapura sudah akan memiliki pabrik vaksin hepatitis B, sebagai proyek industri bersama negara-negara ASEAN. Rencana pembangunan pabrik itu sudah mencapai pembicaraan tingkat akhir, sebagaimana dlkatakan Menteri Perindustrian Hartarto (Indonesia), pertengahan Januari. Sekarang Singapura baru pada taraf kemampuan mengemas vaksin, bekerja sama dengan Merck & Co, produsen vaksin hepatitis B dari Amerika Serikat. Belum ada penelitian yang menunjukkan berapa besar dampak penyakit hepatitis terhadap pertumbuhan ekonomi. Meskipun demikian, Singapura keiihatannya tidak mau penyakit yang menggerogoti hati itu merusakkan produktivitas penduduknya. Sekaligus untuk melindungi penduduk dari kemungkinan terserang kanker hati. Sebab, menurut kesimpulan diskusi para ahli kanker dan penyakit menular, yang diselenggarakan Badan Kesehata Dunia (WHO) tahun lalu, delapan puluh persen dari kanker hati disebabkan oleh virus hepatitis B. "Risiko pengidap hepatitis B kena kanker hati, dua ratus sampai tiga ratus kali dibandingkan mereka yang tidak mengidap virus penyakit," kata Prof. C.J. Oon, peneliti dari kementerian kesehatan Singapura. Hepatitis B sebenarnya berjangkit di berbagai negara. Menurut perkiraan, 200 juta penduduk dunia mengidap virus penyakit itu. Asia dan Pasifik menjadi daerah paling rawan. Dari jumlah itu, 170 juta pengidap berada di dua kawasan tadi. Taiwan menduduki tempat teratas: 20% penduduknya mengidap virus. Ditambah dengan RRC yang 10%, jumlah pengidap menjadi terpusat di kalangan orang-orang Tionghoa. Palmer Beasley, seorang peneliti dari Amerika Serikat yang 12 tahun mengadakan penelitian di Taiwan, menyebutkan bahwa tiga perempat pengidap di seluruh dunia adalah orang Tionghoa. Karena itu, penyakit ini di kalangan ahli disebut "penyakit Tlonghoa". Beberapa percobaan, yang dilakukan Beasley terhadap puluhan ribu ibu-ibu wanita Taiwan dan anak-anaknya, menunjukkan bahwa 40% sampai 50% pengidap hepatitis B tercemar virus penyakit itu pada saat mereka dilahirkan. Tetesan darah dari ibu mereka yang mengidap virus hepatitis B menerobos masuk lewat plasenta dan bersarang dialiran darah si orok. Menurut Beasley, yang dikutip The Asian Wall Street Journal, November tahun lalu, budaya Tionghoa membuat virus itu menjadi tersebar luas. Terutama dari kebiasaan makan mereka yang menggunakan piring yang sama. Tambahan lagi, katanya, banyak ibu-ibu Tionghoa menyuapi anak mereka dengan makanan yang lebih dulu mereka kunyah. Padahal, ludah termasuk media penularan virus. Di Singapura - yang 74% dari 2,4 juta penduduknya Tionghoa dan bakal punya pabrik hepatitis itu - hanya 8% yang mengidap virus hepatitis B. Sedangkan di Indonesia belum ada angka pasti. Tetapi jelas, di kalangan yang berada paling dekat sumber penularan, seperti dokter gigi, sebagaimana pernah diteliti di RS Tjipto Mangunkusumo, angka kejangkitan mencapai 90%. Sementara itu, penelitian yang dilaksanakan tim Universitas Airlangga, Surabaya, bekerja sama dengan Balai Laboratorium Kesehatan Mataram (NTB), tahun 1975, menunjukkan bahwa di kalangan penduduk di Lombok angka antara 5% dan 12%. Bertambah ke arah timur daerah yang diteliti angka tadi bergerak naik. Tetapi, angka yang agak mengkhawatirkan tampil dalam penelitian yang dilakukan Palang Merah Indonesia bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular Departemen Kesehatan tahun 1981/1982. Menurut dr. Melani Wikanta dari PMI, berdasarkan penelitian itu. 47% donor "telah terinfeksi dengan hepatitis B." Dan ini bisa mengakibatkan mereka yang membutuhkan darah karena berbagai sebab, yang diharuskan cuci darah misalnya, gampang ketularan penyakit berbahaya ini. Pengidap hepatitis ini, menurut dia, mungkin terkena melalui penularan vertikal dari ibu yang tercemar ke anak yang dilahirkan. Atau melalui vaksinasi massal (yang pernah dialami hampir semua orang) yang menggunakan satu jarum suntik untuk banyak orang. Sebab, alat suntik yang tercemar akan menjadi sarana penularan juga. Hepatitis sendiri terdiri dari hepatitis A dan hepatitis B. Dua-duanya bisa menunjukkan gejala kuning di mata dan kulit. Karena itu, dia dikenal luas sebagai penyakit kuning. Tetapi hepatitis A yang diakibatkan virus tersendiri bersifat akut. Jadi, tidak membawa akibat yang berkepanjandgan. Dengan pengobatan dan istirahat cukup, penderita bisa tertolong. Sedangkan pada hepatitis B, si penderita mengidap virus penyakit sejak kecil, tidak akan mengeluh lesu atau tidak terkena gejala kuning sampai masa remaja. Tapi menjelang usia baya, baru gejala itu muncul. Berdasarkan penelitian di Taiwan, sekitar 80% dari pengidap hepatitis B bisa bertahan berkat daya tahan tubuh terhadap virus. Sedangkan yang 20% lainnya menderita penyakit secara kronis. Virus berkembang biak di hati dan beredar dalam darah. Seperempat dari pengidap, terutama lelaki, kena kanker hati setelah mencapai usia 40 tahun. Vaksin hepatitis B yang berguna untuk mencegah virus hepatitis ini tak berapa lama lagi akan beredar di Indonesia. Perusahaan farmasi PT Pharos Indonesia sedang menunggu izin yang sedang diproses pemerintah. Perusahaan itu akan memasarkan vaksin buatan Merck juga. Demikian juga Bio Farmasi Bandung. Tetapi Bio Farma, yang hendak memasarkan vaksin buatan Pasteur dari Prancis, kelihatannya baru dalam tingkat menjajaki pasar. Sampai di pasar, vaksin itu diperhitungkan akan mencapai Rp 70.000 per ampul. Padahal, setelah penggunaan yang pertama, vaksin harus diulangi sebulan kemudian dan diulangi kembali pada bulan keenam, dengan daya tahan lima tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini