Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bagansiapiapi - Masyarakat Riau menyebut Bagansiapiapi atau Bagan sebagai Little Hong Kong-nya Indonesia. Sebab, kota ini seperti muara orang-orang Tionghoa di bumi Melayu. Di kota yang bisa ditempuh kira-kira 6 jam perjalanan darat dari Pekanbaru ini menyimpan beragam peninggalan masa lampau. Warisan kuliner adalah salah satunya.
Baca: Libur Akhir Tahun, Catat Daftar Soto Enak di Nusantara Ini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penduduk lokal bagansiapiapi dipercaya berasal dari keturunan suku Fujian dari Cina yang sudah beratus-ratus tahun mendiami Kota Bagan. Jenis makanan, cara masak, dan kaidah menyajikan menjadi pusaka yang turun-temurun, yang sampai kini dapat dinikmati penduduk asli, juga pelancong. berikut tiga di antaranya:
Sepiring Kenikmatan Kwetiau Melayu di Warung Wira
Warung Wira, yang berlokasi di Jalan Pahlawan, Kota Bagansiapiapi, bersebelahan dengan lapangan tempat pembakaran ritual bakar tongkang, selalu ramai dipenuhi tamu, dari pagi sampai malam. Warung ini milik suami-istri berlatar belakang Chinese dan Bugis. Indrawati, nama si istri, yang keturunan Chinese, menjadi ahli masak. Ketika Tempo berkunjung ke warung tersebut beberapa waktu lalu, ia sedang meracik bumbu yang terdiri atas kaldu udang, telur, dan potongan mi khas Tionghoa.
Di samping dapur—yang terletak di depan warung—orang-orang sudah duduk menanti pesanan. Kursi berkapasitas tak lebih dari 40 orang sudah penuh. Padahal, di kota kecil seperti Bagansiapiapi, yang dihuni mayoritas warga keturunan Fujian, Cina Selatan, gampang ditemukan warung kwetiau semacam ini. Sebab, masakan tersebut yang paling awal diperkenalkan orang Hokkian dan Tio Ciu di kota itu.
Warung Wira terhitung yang paling laris lantaran punya cita rasa khas, lagi halal—sehingga orang-orang menyebutnya warung kwetiau Melayu. Karena itu, warung bertahan selama 14 tahun. Yang menjadi rahasia kenikmatan kwetiau itu adalah kepiawaian Indrawati mengatur komposisi bahan. “Rahasianya hanya bawang putih. Asal bisa memperkuat rasa bawang putihnya, tanpa berlebihan, masakan akan jadi enak. Plus harus ramah,” ucapnya.
Rasa kwetiau makin nikmat lantaran diberi campuran udang khas Bagan yang punya cita rasa gurih. Tak perlu menambah daging sapi atau ayam buat membikin rasa menjadi kaya. “Ya, kekuatannya memang juga berasal dari udang Bagan, tak perlu lain-lain lagi,” tuturnya.Kwetiau Melayu Warung Wira. Foto: Andi Prasetyo
Kalau sedang musim pasang mati, mereka akan menyimpan udang sebanyak-banyaknya supaya tak kehabisan stok. Sepiring kwetiau racikan Indrawati dihargai Rp 13 ribu. Murah dan lezat. Plus, ditambah dengan kopi Bagan, keasyikan menikmati kota tua itu makin komplet.
Tak heran kalau nama perempuan separuh baya berkulit putih dan bermata sipit ini belakangan kerap mejeng di halaman berita lokal. Warung Wira milik Indrawati dan suami buka mulai pukul 06.00 hingga 18.00.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wangi Asap Pembakaran Kerang di Warung Ismini
Olahan kerang memang umum ditemui di pesisir, tak terkecuali Bagansiapiapi. Kerang bisa dimasak segala rupa. Namun salah satu yang paling kesohor dan populer di kalangan wisatawan yang mengunjungi Bagan, juga masyarakat sekitarnya, ialah olahan sate.
Sebetulnya, secara spesifik, yang terkenal adalah sate kerang di warung sederhana milik Ismini. Perempuan keturunan Melayu itu namanya selalu disebut-sebut oleh pelancong kalau mereka menyambangi gerbang sisi barat Provinsi Riau ini.
Gerobak Ismini memang bukan gerobak yang masih berusia hijau muda. Sudah 17 tahun keberadaannya nangkring di Jalan Perdagangan, di sebuah ruko di persimpangan. Di sana, ia berbagi tempat bersama sejumlah penjaja makanan lain.
Warung Ismini mulai hidup pada sore hingga malam hari. Sejak pukul 16.00 hingga 23.00, asap dari pembakaran selalu mengepul. Aromanya merebak. Bebauan wangi laut bercampur arang menjadi ucapan selamat datang buat pengunjung. Kala rombongan Tempo berkunjung, Ismini sedang asyik menyiramkan kuah kacang ke piring berisi sepuluh tusuk sate kerang. Sate kerang Ismini. Foto: Andi Prasetyo
Tempo memesan satu porsi dan sejurus kemudian menu itu sudah mendarat di meja. Tampilannya tak berbeda dengan sate ayam. Hanya, warna dagingnya lebih hitam sehingga terkesan gosong.
Tatkala masuk mulut, kerang bercampur bumbu kacang itu seperti pecah di mulut. Krispy, namun tetap juicy. Bau amis sudah hilang. Bumbu kacang yang digiling tak terlalu halus membuat sensasi mengunyah sate makin seru.
Hal lain yang tak kalah membikin enak adalah lontongnya. Lontong berpotongan dadu ini punya tekstur kenyal, mirip dengan gendar atau puli. Sepiring kenikmatan sate kerang bisa dibayar dengan Rp 12 ribu.
Bihun Goreng dalam Semangkuk Soto Bagan
Dalam semangkuk soto, yang umum dijumpai adalah bihun rebus bersama daging ayam atau sapi, kol, dan tauge. Namun tak demikian dengan soto yang ditemui di Bagansiapapi.
Kasman, pegiat budaya asal Pekanbaru, yang mengantar Tempo berkeliling kota kecil itu beberapa waktu lalu, memberi rekomendasi mencicipi soto autentik di Warung Soto Bagan yang berlokasi di Jalan Perdagangan, Kota Bagansiapiapi.
Sekilas, kala masuk ke warung sederhana bergaya ruko kuno ini, atmosfernya sama seperti kedai-kedai lain. Saat menengok gerobak di tempat itu, racikan dan bumbu-bumbu yang terpampang tak beda-beda amat dengan gerobak soto di berbagai tempat.
Namun, saat Subardi—ipar si empunya warung—meraup bihun, saya cukup tercengang. Soalnya, bihun yang dipakai adalah bihun goreng. Penampakannya seperti cengkaruk atau nasi aking goreng.
“Nah, di sini khasnya memang soto dengan isi bihun goreng,” kata Kasman. Soto Bagan. Foto: Andi Prasetyo
Bihun itu ditaburkan ke mangkuk hingga penuh menutupi bibir mangkuk. Setelahnya, kuah santan kental bercampur bumbu soto, seperti bawang merah, bawang putih, dan ketumbar, disiramkan ke mangkuk.
Beberapa saat kemudian, asap mengepul. Bihun goreng yang semula krispy berubah menjadi lembek dan berbuih. Di sinilah sensasi menikmati soto Bagan.
Dalam keadaan hangat hampir panas, bihun goreng yang sudah terlihat lembek ternyata masih menyisakan tekstur garing kala dikunyah. Gurihnya gorengan bercampur santan memunculkan rasa yang padu. Bila dirasa-rasa, kuahnya mirip dengan soto Medan. Hanya, lebih kuat aroma kunyitnya.
Tak heran, sejak dibuka pukul 06.00, warung kuliner yang sudah berdiri 12 tahun ini tak pernah sepi. Seporsi soto Bagan dihargai Rp 15 ribu, plus nasi.