Rangsangan pada puting payudara konon bisa membuat kesuburan ibu-ibu menurun drastis. Prof. Lukas Widyanto mengetesnya di Surabaya. Biarkan saja bayi menyusu sepuas-puasnya. Dengan cara itu, ibu-ibu seperti menjalankan langkah KB. Kenyotan mulut bayi pada puting akan membuat kesuburan ibu menurun, kemungkinan hamil menjadi kecil. Sayangnya, menurut dr. Kartono Mohammad, Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), kondisi semacam itu cuma berlangsung efektif sampai bayi berumur empat bulan. Sesudah itu, "Kesuburan ibu akan berangsur pulih seperti sedia kala," ujarnya. Namun ada pula yang anggapan, bila si bayi dibiarkan terus menetek, kesuburan ibunya akan bisa ditekan sampai dua tahun. Batas manfaat kenyotan bayi itu sampai sekarang memang masih jadi perdebatan. Masalah itu pula yang mengilhami Prof. Lukas Widyanto dan sejumlah pengajar pada Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, untuk bereksperimen dengan "mulut bayi buatan", yang bisa mengenyot puting susu ibu-ibu tanpa terikat waktu. Tujuannya mencari teknik KB baru, terutama buat ibu-ibu yang telah usai menyusui. Mulut buatan itu berupa rangkaian elektronik yang biasa disebut stimulator Pulse-XI buatan Swis. Tenaganya dari batere 9 volt. Stimulator ini punya dua elektrode untuk ditempelkan persis di puting susu yang sebelumnya dibasahi air. Pada pemakaiannya, stimulator ini tersembunyi rapi di balik kutang. Bila arus batere dialirkan, elektrode akan memberikan rangsang mirip kenyotan mulut bayi. Kenyotan mulut bayi pada ibu-ibu menyusui, menurut Lukas Widyanto, akan meningkatkan kandungan hormon prolaktin (hormon yang memproduksi air susu). Peningkatan hormon prolaktin itu, di sisi lain, akan menghambat hormon luteinizing (LH), yang kerjanya merangsang pematangan sel telur sehingga proses ovulasi sel telur bisa dihambat. Pengalaman klinis sehari-hari ahli ilmu faal itu juga menunjukkan bahwa wanita penderita hiper prolaktinemia (kelebihan prolaktin) biasanya mengalami kekurangan LH. "Akibatnya mereka mandul," tutur Lukas Widyanto. Ia menambahkan, uji coba yang dilakukannya terhadap 30 ekor kera betina yang diberi obat metokloramid -- untuk meningkatkan hormon prolaktin -- juga menunjukkan hasil LH kera-kera itu menurun. Bagaimana agar "permainan" hormonal semacam itu, terutama untuk ibu-ibu yang sudah tidak menyusui, bisa dilakukan tanpa memakai obat-obatan semacam metokloramit? Pilihan Lukas Widyanto dan kawan-kawan jatuh pada stimulator listrik tadi. Untuk uji coba stimulator itu Lukas Widyanto berhasil mendapatkan relawan sebanyak 29 orang. Mereka yang dipilih sudah memiliki satu anak atau lebih, berbadan sehat, tidak sedang hamil atau menyusui, dan siklus haid teratur. Agar tidak mengacaukan hasil, mereka juga dipilih dari kelompok ibu yang tidak menjalani KB dengan cara suntik, pil, atau susuk. Pendek kata, ibu-ibu berusia 25-40 tahun itu bebas dari segala macam obat-obatan hormonal untuk KB. Kemudian stimulator dikenakan pada ibu-ibu itu dengan elektrode dipasang pada payudara kanan, "Untuk menghindari efek negatif pada jantung," kata Lukas. Ibu-ibu relawan itu diberi dosis tiga kali sehari, masing-masing 30 menit, untuk jangka 15 hari, dimulai pada hitungan hari ke-9 sebelum ibu-ibu itu mengalami masa subur (ovulasi). Kuat arus stimulator itu diatur agar nyaman: tidak terlalu rendah, agar sengatannya terasa tapi juga tak terlalu tinggi agar tak mengganggu. Untuk mendapatkan gambaran kerja stimulator itu, darah para relawan itu diambil dua kali: pada hari pertama dan hari terakhir uji coba dan dianalisa di laboratorium endokrinologi RSU Dr. Sutomo, Surabaya. Hasilnya, dari 29 relawan itu cuma empat orang yang mengalami perubahan hormonal secara bermakna. Bahkan dua diantara empat ibu itu kondisi hormonnya berubah secara sangat nyata. Kadar prolaktinnya yang sekitar 5 mu pada hari pertama naik menjadi 14 mu di hari terakhir. Sebaliknya, LH-nya turun dari 3,5 mu menjadi 1,5 mu di hari terakhir. Artinya, kesuburan mereka bisa ditekan. Prof. Lukas Widyanto, 65 tahun, mengakui bahwa secara keseluruhan eksperimennya tak memberikan hasil seperti diharapkan. Tapi dia percaya uji coba yang dilakukannya bisa menekan LH pada empat relawan itu tak bisa diabaikan begitu saja. "Saya yakin, teknik ini masih bisa memberi peluang keberhasilan," ujarnya. Salah satu penyebab itu, menurut Lukas, rangsangan secara elektrik sulit mencapai otak kecil (hipotalamus). Padahal, otak kecil ini yang bisa memerintahkan bagian hipofisis anterior untuk memproduksi hormon prolaktin lebih banyak. Akses ke hipotalamus itu mudah didapat kalau perasaan ibu diliputi rasa romantis. "Ibu yang sedang menyusui itu perasaannya peka, ada kasih sayang, sehingga hipotalamusnya ikut terangsang," ujarnya. Menanggapi hasil eksperimen di Surabaya itu, Kartono Mohammad memilih menyoroti soal dosis rangsangannya. Ibu yang menyusui, katanya, menerima rangsangan kenyotan mulut bayi sekitar tiga jam sehari. "Mungkin dosis rangsangannya kurang pas," katanya. Bagaimana dengan rangsangan lainnya, seperti bentuk rabaan tangan atau vibrator? Lukas Widyanto menyisihkannya. Alasannya: selain tidak praktis, juga sulit mengukur dosisnya. "Kalau elektrik mudah. Tinggal mengatur voltasenya," katanya. PTH dan KMN (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini