Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kampung susun

Perumahan susun dapat mengatasi lahan perumahan yang semakin terbatas. romo mangun mengusulkan kampung susun dengan variasi unit rumah. lantai dasar untuk kegiatan sosial, ekonomi dan budaya.

21 Maret 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASALAH perumahan, khususnya perumahan perkotaan, takkan pernah selesai untuk ditelaah dan diperbincangkan. Begitu suatu masalah terpecahkan, boleh dikatakan, pasti akan muncul masalah baru. Sering bahkan lebih rumit dan musykil. Sekadar contoh, lahan perkotaan yang semakin terbatas diatasi dengan perumahan susun. Makin lama makin tinggi sehingga dituntut penggunaan lift atau eskalator untuk sirkulasi vertikalnya. Tatkala para remaja, yang kelebihan energi tetapi kekurangan ruang terbuka untuk penyalurannya, melampiaskan kekesalannya dengan kencing di dalam lift, timbul gagasan pemecahan masalah dengan memasang detektor yang peka terhadap bau urin yang menyengat. Bila ada yang tetap nekat kencing di situ, detektor pun bertindak. Pintu lift akan otomatis mengunci dan sirene berbunyi nyaring sehingga orang yang berperilaku menyimpang itu akan terperangkap, tertangkap, dan dikenai sanksi. Dengan begitu, mereka diharapkan akan kapok dan mengubah perilakunya. Itulah sebabnya Churcill dulu pernah bertutur, "Kita membentuk lingkungan, kemudian lingkungan akan membentuk kita." * * * Keterkaitan antara manusia dan lingkungan memang selalu menarik untuk disimak dan dicermati. Soalnya, persepsi dan aspirasi masyarakat tidak bisa ditebak atau dipukul rata begitu saja. Selama ini, misalnya, terdapat praduga bahwa penduduk kota berpenghasilan rendah tidak menginginkan hidup di rumah susun. Dalihnya, tata cara hidup, kebiasaan, adat-istiadat, dan perilaku kesehariannya tidak akan pas untuk diwadahi dalam suatu bangunan bertingkat. Akan tetapi hasil penelitian di beberapa kampung di pusat Kota Semarang ternyata menunjukkan 0,03% responden dari kelompok masyarakat kota berpenghasilan rendah menyatakan setuju dan kini sudah tiba saatnya dibangun rumah susun. Alasannya sederhana tapi sungguh sangat nalar. Antara lain disebutkan bahwa banyak saudara-saudaranya yang belum punya rumah sendiri, lahan perumahan di kota makin sulit diperoleh, rumah yang ada jauh dari lapangan kerja. Yang agak di luar dugaan adalah cukup besarnya minat dan kesediaan responden dari kelompok masyarakat berpenghasilan rendah tersebut untuk tinggal di rumah susun. Berbeda dengan kelompok masyarakat berpenghasilan menengah dan tinggi, yang menyatakan setuju dengan pembangunan rumah susun tapi menolak dengan tegas untuk tinggal di dalamnya. Dalam perkara semacam ini tampaknya kaum papa lebih jujur, taat asas, dan sembada ketimbang kaum berpunya. * * * Kelompok marjinal perkotaan yang serba polos dan lugu itu sesungguhnya memiliki visi dan kearifan tersendiri yang tidak boleh diremehkan, apalagi dilecehkan. Buktinya, dari wawancara terungkap banyak gagasan segar yang patut dipertimbangkan oleh para perencana di bidang perumahan dan perkotaan. Selama ini tersirat kesan para perencana lebih mengutamakan pernik-pernik rancang-bangun fisiknya daripada menyiasati pewadahan aspirasi manusia yang akan menempatinya. Padahal kata orang pandai, "Dalam setiap bangunan yang kita lihat terdapat manusia yang sering tidak kita lihat." Nah, ide-ide orisinal kaum marjinal yang menyangkut perumahan bertingkat banyak itu saya renung-renung mirip sekali dengan gagasan Romo Mangun yang bisa kita sebut dengan istilah Kampung Susun. Dalam perencanaan kampung susun diusulkan adanya berbagai variasi unit rumah, mulai dari yang kecil (T21) sampai yang besar (T72). Yang dibuat dengan kukuh permanen seyogianya hanyalah struktur utama dengan atap dan dinding luarnya saja sedangkan pengaturan ruang dalam rumahnya diserahkan dengan luwes kepada penghuni masing-masing. Semrawut tapi indah. Lantai dasar agar dimanfaatkan tidak untuk unit hunian melainkan untuk kegiatan sosial-ekonomi (warung, kaki lima) atau sosial budaya (ruang pertemuan, perpustakaan). Keluarga-keluarga dekat atau sahabat akrab ditempatkan pada lantai yang sama dengan susunan yang merupakan cluster, mengelompok secara intim, agar tercipta suasana kekerabatan yang kental supaya tumbuh rasa memiliki. Dan yang tidak kalah pentingnya, kalau bukan justru yang paling penting, konsep membangun tanpa menggusur mesti diterapkan dengan konsekuen. Maksudnya agar penduduk asli yang sudah lama exist tidak lantas terpaksa harus exit dari lokasi semula. Nah, bila gagasan-gagasan tersebut betul-betul diejawantahkan, saya percaya pembangunan kampung susun akan dapat berhasil mencapai sasaran, ibarat memukul paku persis pada kepalanya. Thesssss . . . . * Guru Besar pada FT Undip dan Ketua Ikatan Arsitek Indonesia Cabang Jawa Tengah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus