BANYAK julukan bagi Mochtar Lubis. Mohammad Roem memanggilnya "Si Kepala Granit". H. Budiardjo, bekas Menteri Penerangan, menyebutnya The Lone Ranger. Dramawan W.S. Rendra memandang Mochtar Lubis sebagai "kesatria tua yang menjadi legenda pada zamannya". Apa pun pendapat orang, ada satu hal yang tak gampang dibantah. Mochtar Lubis adalah orang yang berani dan jujur. Berbagai pendapat ini tertuang dalam buku Mochtar Lubis, Wartawan Jihad yang diterbitkan untuk menyambut ulang tahunnya ke-70, 7 Maret lalu. Buku yang diterbitkan Kompas itu merupakan kumpulan pendapat berbagai tokoh asing maupun Indonesia tentang Mochtar Lubis sebagai wartawan, sastrawan, budayawan, pemimpin, dan pribadi. "Para eks wartawan Indonesia Raya sudah mulai memikirkan idenya sejak tahun 1990, tapi kami membutuhkan dukungan untuk realisasi ini," kata Atmakusumah, bekas Redaktur Pelaksana Indonesia Raya. Pemimpin Redaksi Harian Kompas, Jakob Oetama, kebetulan mempunyai ide untuk menerbitkan buku tentang wartawan-wartawan senior macam Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, dan Suardi Tasrif (almarhum). Maka, tahun silam, dibentuklah panitia Penerbitan Buku Peringatan 70 tahun Mochtar Lubis, yang terdiri dari Jakob Oetama, D.H. Assegaff, dan Eks Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Sabam Siagian. Tapi kenapa judulnya "Wartawan Jihad"? "Para pembaca Indonesia Raya sering menyebut harian ini sebagai The crusading paper, surat kabar jihad," kata Atmakusumah. "Maksudnya, berjihad menentang korupsi, penyalahgunaan wewenang, kekuasaan, dan feodalisme." Dan itulah sebabnya Mochtar Lubis, sebagai pemimpin redaksinya, juga sering dijuluki "wartawan jihad". Panitia mencoba memilih penulis-penulis yang mengenal pemikiran Mochtar Lubis di dalam bidangnya masing-masing dan mengharapkan para penulis bisa obyektif dalam mengekspresikan pendapatnya. Apakah obyektivitas itu tercapai? Kumpulan tulisan ini memang penuh dengan puja-puji. Jakob Oetama, T. Mulya Lubis, Arief Budiman, Jenderal A.H. Nasution, Ramadhan K.H, dan Tarzie Vittachi hanyalah sebagian kecil dari 19 penyumbang tulisan yang mengatakan Mochtar Lubis adalah seorang humanis, seorang wartawan idealis, dan pejuang hak asasi manusia. "Dia tipe ideal seorang journaliste engage, wartawan yang menjadi wartawan karena mempunyai komitmen ... yang berjuang untuk suatu cause, untuk suatu cita-cita . . ." tulis Jakob Oetama. Bagi Arief Budiman, keberanian Mochtar Lubis dalam melontarkan kritik-kritiknya terhadap pemerintah begitu luar biasa hingga membuatnya tampil sendiri, jauh di depan meninggalkan yang lainnya. Arief tampaknya amat mengagumi wartawan kawakan yang pernah dipenjarakan selama sembilan tahun ini terutama karena prinsip Mochtar Lubis dalam memperjuangkan demokrasi. Arief mengakui bahwa perbedaan pendapat sering terjadi, misalnya kekaguman Arief terhadap Bung Karno yang dikritik oleh Mochtar Lubis, yang memang mengalami masa pahit di bawah kepemimpinan presiden ini. Namun, Arief juga mengumpamakan sepak terjang Mochtar Lubis seperti seorang pemain tenis tunggal. "Dia bermain sendiri, memukul dengan berani, dengan kekuatan yang hebat, serta dengan tujuan yang baik sehingga bola terlontar ke segala penjuru," kata Arief. Kritik semacam ini senada dengan pendapat anak buah Mochtar Lubis di Indonesia Raya, Kustiniyati Mochtar, yang juga pernah bolak-balik ke pengadilan karena soal delik pers. "Bekerja sebagai wakil Mochtar Lubis membawa konsekuensi harus siap menghadapi sikap impulsif," tulisnya. Sikap impulsif Mochtar Lubis ini pula yang menyebabkan Mohammad Roem (almarhum) menjulukinya "si kepala granit". Mochtar Lubis tak putus-putusnya mengkritik pemerintah meski sudah dipenjarakan selama sembilan tahun dan korannya dibreidel tujuh kali. Boleh jadi "kepala granit" Mochtar Lubis ini disebabkan karena ia mempunyai obsesi. "Ratusan ribu pejuang kita telah rela mati, jadi apa yang kita perjuangkan sekarang belum apa-apa," katanya kepada TEMPO. Agaknya, itulah sebabnya banyak roman Mochtar Lubis berlatar belakang revolusi. Seperti dikatakan David T. Hill, dosen Universitas Murdoch, Australia, novel Maut dan Cinta karya Mochtar Lubis merupakan suatu petunjuk bagi generasi berikut tentang bagaimana seharusnya memandang revolusi itu. Bagaimanakah Mochtar Lubis sebagai pemikir? Sebenarnya, menurut Arief Budiman, pemikiran dan ide Mochtar Lubis tidak terlalu canggih, sederhana dan bahkan kurang mau memahami kompleksitas persoalan yang dihadapinya. Ini memang terlihat pada kumpulan artikel Mochtar Lubis berjudul Budaya, Masyarakat dan Manusia Indonesia terbitan Yayasan Obor yang juga diluncurkan pada ulang tahunnya itu. Kumpulan tulisan Mochtar Lubis yang pernah dimuat di majalah sastra Horison ini berbicara soal kebudayaan secara luas, sederhana, dan tak menukik tajam. Mochtar Lubis cenderung mengulang-ulang pemikirannya yang obsesif terhadap antikorupsi, kebebasan berpikir dan berpendapat, antifeodalisme, dan perjuangan hak asasi manusia. Di masa Orde Baru, ketika keadaan ekonomi telah mengubah pers Indonesia menjadi bisnis, Mochtar Lubis memang menjadi sosok yang kesepian. Seperti yang dikatakan Arief Budiman, di mata banyak orang, ia bisa muncul sebagai seorang pahlawan kharismatik. Tapi, bagi orang lain lagi, ia muncul seperti Don Kisot yang sedang menyerang sebuah kincir angin, yang disangkanya raksasa. Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini