Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Mereka Tua Di Jalanan

Perjalanan sopir opelet bekerja dari jam 6 sampai jam 15.00. Hasilnya hanya cukup untuk makan. Bila opelet dihapus hendaknya sopir-sopir diberi pekerjaan lain untuk ganti opelet. (sd)

8 April 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INILAH matematika baru: tentang opelet. Menurut catatan DLLAJR, jumlah opelet yang ada di Jakarta adalah 2900 buah. Tetapi dalam kenyataan, apabila diamat-amati diperkirakan jumlahnya 5000 buah. Yang 2100 buah bukan opelet-opelet hantu, tetapi opelet-opelet yang menyeruduk dari daerah. Pada masa ini, sesudah beca dihajar di jalan raya, opelet dikabarkan akan dapat giliran. Hari-hari opelet mungkin sebentar lagi tinggal kenangan. Lalu para tokenya boleh memilih pekerjaan baru. Sedangkan nasib sopir-sopirnya akan menjadi pertanyaan yang cukup besar. Nasib Kuli Ada seorang sopir opelet sudah bekerja sejak tahun 1952. Namanya Mudi. Sekarang ia berusia 60 tahun. Majikannya dua bersaudara A Soen dan A Pung tinggal di Jalan Ketapang. Waktu Mudi mulai makan keringat opelet majikannya hanya satu bermerk Moris, buatan tahun 1948. Tahun bertambah, usaha A Pung membengkak dan mencapai 12 biji opelet. Kalau dulu Mudi hanya setor Rp 80 sekarang tahun 1978 ini sudah mencapai Rp 5000. Mungkin sekali nilainya tidak banyak berbeda, tapi demikianlah bagaimana akrobatik angka lewat kantong Mudi. Setelah 26 tahun setia menyelusuri jalan-jalan di Jakarta timbul hubungan yang lebih dari sekedar buruh dan majikan. Pada hari Lebaran misalnya, Mudi dibebaskan dari uang setoran. Kalau memang perlu, pinjam uang juga boleh. Sedangkan hari tua, kalau stir tidak bisa dikuasainya lagi, ada janji tertentu. Sementara pukul rata menurut nilai uang sekarang, satu hari ia bisa dapat bersih Rp 2000. Kalau langkah kanan bisa sampai Rp 3000. "Tapi biar bagaimana juga, namanya juga kuli. Ya, dari kecil udah nasibnya jadi kuli," kata Mudi sambil tertawa lepas. Opelet saja tidak cukup. Sejak tahun 1960 Mudi bekerja di Kantor Perindustrian Rakyat di Jalan Kemakmuran. Juga sebagai sopir. Ia dinas dalam "Landrover" mulai pukul 8 pagi sampai pukul 3. Pulang istirahat hanya 1 jam. Selebihnya masuk ke dalam opelet sampai pukul 12 malam. Baru tahun ini ia pensiun sebagai pegawai negeri, lantas menyerahkan hidup sepenuhnya pada opelet dari pukul 7 pagi sampai pukul 6 sore. Mudi ini potret yang baik dari dunia opelet. Sederhana, tekun, setia menunggang opelet. Tapi putaran opelet Mudi berubah-ubah. Dulu ia bolak-balik ke"Kota". Sekarang dari Senen ke Kampung Melayu. Tidak kurang dari 6 kali putaran tiap hari. Ini makan bensin sampai 20 liter. "Sambil bawa opelet selalu mikir kesampean kagak ye uang setoran," kata Mudi pada Linda Djalil dari TEMPO, dengan logat Sunda campur Betawi. Tapi Mudi jarang sekali tekor. Sekali memang pernah nol besar. Sekali saja. Waktu itu ia menunggang opelet tahun 1956. Mendadak tunggangan mogok di Gunung Sahari. Mudi lari sebentar ke tukang bensin untuk mencari pertolongan pertama. Tetapi begitu kembali, mobil tua itu sudah diderek oleh petugas LLD. Mudi minta kebijaksanaan. Tapi para petugas itu tampaknya tilak kenal kompromi. Mudi terpaksa lari ke rumah taokenya. Baru dengan tebusan Rp 10 ribu, opelet bisa dibebaskan. Walhasil, hari itu ia nol besar. Yang Penting Makan "Pingin juga sih berhenti jadi sopir. Tapi gimana ye, masih ada tanggungan," kata Mudi. Anaknya 12 orang. 5 orang meninggal. 2 sudah berkeluarga. Cucunya 9 orang. Anaknya yang terkecil berusia 19 tahun masih sekolah di TM Budi Utomo. Uang sekolahnya Rp 2500 sebulan. Inilah yang menjadi fikiran Mudi, meskipun uang pensiunannya berjumlah Rp 23.000. Mendengar bahwa opelet-opelet akan didepak, orang tua ini mulai berfikir. Karena kebiasaan, tugas itu lama-lama tentu saja menanamkan cinta juga. Ia tampak murung. Ditanya pendapatnya,terang saja dia bilang tidak setuju. Ia malahan berdoa agar niat tersebut tidak jadi. Tapi jangan asal main stop, tapi sediain juga kerjaan lain untuk ganti oplet," ujarnya. Mudi tak tahu apa-apa tentang organisasi dan masalah lain dalam opelet kecuali nyupir. Ia tidak tahu bagaimana akal majikannya menjalankan bisnis opelet, mengurus izin. Ia tidak pernah bermimpi satu hari akan punya opelet sendiri. Kesederhanaannya memang keterlaluan. Barangkali itu sebabnya ia tidak pernah lebih maju dari sopir. Sopir saja terus sampai tua. "Yah, pokoknya sih soal macem-macem nggak tahu dah. Yang penting bisa cari makan, bisa narik. Begitu saja!" Sekali peristiwa ada penodong. Tapi Mudi mengucap syukur karena todongan bukan diarahkan kepadanya, pada salah seorang penumpang. Itu tahun 1965. "Syukurlah selama ini nggak ada lagi yang nodong," katanya mengurut dada. Selain todongan tersebut ia tidak punya keluhan apa-apa terhadap pekerjaan yang membawa ia tua di jalan itu. Semangatnya masih tetap menyala, hanya tubuhnya tidak dapat melayani lagi. Ini yang memaksa dia berhenti narik malam hari. "Sudah tidak kuat dah sekarang. Badan sudah tua, sering encok dan pegel-pegel," katanya. Mudi berusaha hidup sesederhana dan sepraktis mungkin. Tidak pernah nonton bioskop. Di rumahnya hanya ada sebuah radio satu band untuk seluruh keluarga. Rokoknya hanya merek "Orong orong". Tiap sepuluh bungkus bisa dapat persen sebuah gelas. Lumayan, sambil ngerokok jadi kolektor gelas. Bacaannya Pos Kota. Tapi tidak tiap hari beli. Saban-saban kalau lagi iseng atau ada duit lebih sedikit. "Saya nggak malu nih, saya nggak pernah ngerasain sekolah, tapi bisa baca, belajar dari temen-temen," kata Mudi sambil ketawa. Dengan rambut setengah putih, Mudi mempertahankan kesederhanaan sebuah rumah 3 x 6 meter di Kramat Pulo. Gigi sampingnya sudah lama punah. Tapi ia tidak segan-segan tertawa lepas. Barangkali ia akan menjadi baris penghabisan sejarah opelet. Perpisahan sudah terbayang, sedih juga. Keluarganya telah dihidupi oleh mata pencaharian itu. Bahkan salah seorang menantunya juga sopir opelet. Tanpa hiasan cincin dan jam tangan, tangannya yang polos dan mengeriput, bagai satu dengan stir. "Selama taonan jadi sopir ngga pernah nyerempet atau nabrak," katanya dengan bangga kepada TEMPO. Majikan Sopir yang lain bernama Sukatma. Berbeda dengan Mudi, sopir yang baru berusia 30 tahun ini selalu ganti-ganti majikan. "Maklum namanya juga kuli, jarang cocok kerja sama majikan," itu alasannya. Ia juga dapat menceritakan betapa tak sedapnya menghadapi majikan. Kaum majikan dari mata seorang Sukatma adalah orang yang jarang mau diajak kompromi. Kaum yang dengan tenang-tenang saja minta setoran Rp 3300 setiap hari. Tapi manakala sopir sedang kelabakan mencari pinjaman untuk melancarkan jalan rumah tangga, tidak segan-segan bersikap tidak mau tahu. "Maklum deh orang Cina," kata sopir muda ini dengan gemas. Setelah ganti-ganti majikan, Sukatma sampai pada sebuah opelet keluaran tahun 1956. Kendaraan yang cukup tua itu makan bensin 15 liter setiap hari. Itu berarti Rp 1050. Pendapatan bersih sehari antara Rp 1500 sampai Rp 2000. Sukamta yang tiap hari menumpang di rumah orang tuanya menunggu sampai pendapatan itu berjumlah Rp 4000 kemudian langsung dikirimkan ke Bogor di mana isteri dan kedua anaknya tinggal. Sekali tempo keluarganya memberikan kunjungan balasan, beramai-ramai ke Jakarta. Itulah saat-saat berkumpul mereka. Sukatma sendiri seminggu sekali ke Bogor. Meskipun sudah 11 tahun bergaul dengan opelet masih belum bisa juga menabung. Pendapatannya hanya klop untuk mengasapi dapur. Padahal ia bekerja dari pukul 6 pagi sampa pukul 4 sore. Kalau dibandingkan dengan Mudi, dengan kelebihan tenaga karena usia jauh lebih muda, mengherankan juga pendapatannya tidak lebih tinggi. Sementara seorang sopir lain jurusan Senen-Kampung Melayu yang narik dari pukul 6 sampai pukul 8 malam dengan setoran Rp 5 ribu bisa mencapai 5-6 ribu bersih. Sukatma hitam dan periang. Pakaiannya bersih. Di kakinya ada sepatu kets yang masih baru, pakai kaos. Ia hidup tiap hari dengan sarapan pagi di pangkalan opelet Kemayoran. Dia hanya mikirkan perut hari ini. Itupun sudah sulit. Seluruh tetek bengek untuk merawat opelet adalah'urusan majikan. Sopir hanya menghidupkan mesin, lalu minta uang dari para penumpang. Bagi Sukatma yang berpendidikan 2 tahun di STM, pekerjaan ini memang kurang tepat. Tapi bagaimana lagi, ia telah menyerah jadi sopir karena persoalan biaya. Sekarang ia sudah 11 tahun sebagai sopir. Tidak pernah bentrok dengan para petugas jalan. Bagaimana dengan kecelakaan dan bahaya todongan? "Wah jangan sampai dong," kata Sukatma sambil nyengir. Moris Kodok Dunia opelet memang berbeda dengan dunia bus kota atau taxi yang panas itu. Terkurung dalam bilik sopir yang kecil, dengan kondisi mesin yang rata-rata bengek, menyebabkan sopir-sopir opelet berjiwa sederhana. Banyak di antaranya pendiam. Hubungan sesama mereka akrab. Dari belakang stir dengan kabel-kabel semrawut di bawahnya, Dimyati sopir opelet Senen-Kampung Melayu yang berusia 24 tahun berkata"Sopir-sopir oplet tidak ada yang buas-buas Oom. Kebanyakan dari Sunda dan Jawa. Jiwanya lemah, kalau ada apa-apa lebih baik mengalah." Menurut pengamatan Dimyati, tidak kurang dari 500 buah oplet operasi sepanjang Senen-Kampung Melayu. Berbeda dengan jurusan ke Kota, sopirnya banyak muda-muda. Di antaranya tentu banyak juga yang tidak punya SIM. Anehnya meskipun muda, jarang ada insiden. Dimyati merasa ritnya aman. Sudah lama tidak pernah ada operasi SIM. Kalau mendadak ada, tentu banyak di antara anak-anak muda itu yang akan kehilangan penghasilan. "Dulu saya juga sopir, sopir kantor," kata Dimyati yang baru 1 tahun pegang opelet. "Tapi saya lebih suka sekarang pegang opelet." Kenapa Anak muda itu cepat menjawab "Yah, lebih bebas ! " Ketika ditanya kenapa ia tidak jadi sopir taxi saja, jawabnya "Habis saya belum tahu slahnya Oom, di sini paling juga bisa dapat Rp 2 ribu setiap hari." Dimyati sentuhan SD kelas V ini sudah berkeluarga. Ia mampu narik paling sedikit 6 rit antara pukul 6 pagi sampai pukul 3 sore. Kadang-kadang ngebut sampai 7 rit. "Yah kalau ada anak, kerja semangat Oom," katanya gembira. Anaknya berusia 13 bulan sekarang. Mendengar bahwa opelet didesar-desirkan akan disepak dari ibukota, ia tertawa kecil. "Nggak bisa," katanya, "biar bagaimana tidak bisa. Dari dulu juga ceritanya mau dihapus, tapi nyatanya sampai sekarang tidak. Di Cisalak Oom, malahan ada mobil-mobil baru dipotong jadi opelet. Itu kan artinya tidak mungkin dihapus." Lalu ia menceritakan juga bahwa sampai saat ini opelet yang bagus mesinnya di pasaran masih laku Rp 1,8 juta. Memang tokenya pernah bilang juga soal penghapusan itu. "Tapi itu kan bangsanya Moris-Moris Kodok, mobil-mobil tahun 51 ke bawah, yang lainnya kan tetep." Kan tetep --tanda tanya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus