INILAH matematika baru: tentang opelet. Menurut catatan DLLAJR,
jumlah opelet yang ada di Jakarta adalah 2900 buah. Tetapi dalam
kenyataan, apabila diamat-amati diperkirakan jumlahnya 5000
buah. Yang 2100 buah bukan opelet-opelet hantu, tetapi
opelet-opelet yang menyeruduk dari daerah.
Pada masa ini, sesudah beca dihajar di jalan raya, opelet
dikabarkan akan dapat giliran. Hari-hari opelet mungkin sebentar
lagi tinggal kenangan. Lalu para tokenya boleh memilih pekerjaan
baru. Sedangkan nasib sopir-sopirnya akan menjadi pertanyaan
yang cukup besar.
Nasib Kuli
Ada seorang sopir opelet sudah bekerja sejak tahun 1952. Namanya
Mudi. Sekarang ia berusia 60 tahun. Majikannya dua bersaudara A
Soen dan A Pung tinggal di Jalan Ketapang. Waktu Mudi mulai
makan keringat opelet majikannya hanya satu bermerk Moris,
buatan tahun 1948. Tahun bertambah, usaha A Pung membengkak dan
mencapai 12 biji opelet. Kalau dulu Mudi hanya setor Rp 80
sekarang tahun 1978 ini sudah mencapai Rp 5000. Mungkin sekali
nilainya tidak banyak berbeda, tapi demikianlah bagaimana
akrobatik angka lewat kantong Mudi.
Setelah 26 tahun setia menyelusuri jalan-jalan di Jakarta timbul
hubungan yang lebih dari sekedar buruh dan majikan. Pada hari
Lebaran misalnya, Mudi dibebaskan dari uang setoran. Kalau
memang perlu, pinjam uang juga boleh. Sedangkan hari tua, kalau
stir tidak bisa dikuasainya lagi, ada janji tertentu. Sementara
pukul rata menurut nilai uang sekarang, satu hari ia bisa dapat
bersih Rp 2000. Kalau langkah kanan bisa sampai Rp 3000. "Tapi
biar bagaimana juga, namanya juga kuli. Ya, dari kecil udah
nasibnya jadi kuli," kata Mudi sambil tertawa lepas.
Opelet saja tidak cukup. Sejak tahun 1960 Mudi bekerja di Kantor
Perindustrian Rakyat di Jalan Kemakmuran. Juga sebagai sopir. Ia
dinas dalam "Landrover" mulai pukul 8 pagi sampai pukul 3.
Pulang istirahat hanya 1 jam. Selebihnya masuk ke dalam opelet
sampai pukul 12 malam. Baru tahun ini ia pensiun sebagai pegawai
negeri, lantas menyerahkan hidup sepenuhnya pada opelet dari
pukul 7 pagi sampai pukul 6 sore.
Mudi ini potret yang baik dari dunia opelet. Sederhana, tekun,
setia menunggang opelet. Tapi putaran opelet Mudi berubah-ubah.
Dulu ia bolak-balik ke"Kota". Sekarang dari Senen ke Kampung
Melayu. Tidak kurang dari 6 kali putaran tiap hari. Ini makan
bensin sampai 20 liter. "Sambil bawa opelet selalu mikir
kesampean kagak ye uang setoran," kata Mudi pada Linda Djalil
dari TEMPO, dengan logat Sunda campur Betawi. Tapi Mudi jarang
sekali tekor. Sekali memang pernah nol besar. Sekali saja.
Waktu itu ia menunggang opelet tahun 1956. Mendadak tunggangan
mogok di Gunung Sahari. Mudi lari sebentar ke tukang bensin
untuk mencari pertolongan pertama. Tetapi begitu kembali, mobil
tua itu sudah diderek oleh petugas LLD. Mudi minta
kebijaksanaan. Tapi para petugas itu tampaknya tilak kenal
kompromi. Mudi terpaksa lari ke rumah taokenya. Baru dengan
tebusan Rp 10 ribu, opelet bisa dibebaskan. Walhasil, hari itu
ia nol besar.
Yang Penting Makan
"Pingin juga sih berhenti jadi sopir. Tapi gimana ye, masih ada
tanggungan," kata Mudi. Anaknya 12 orang. 5 orang meninggal. 2
sudah berkeluarga. Cucunya 9 orang. Anaknya yang terkecil
berusia 19 tahun masih sekolah di TM Budi Utomo. Uang
sekolahnya Rp 2500 sebulan. Inilah yang menjadi fikiran Mudi,
meskipun uang pensiunannya berjumlah Rp 23.000.
Mendengar bahwa opelet-opelet akan didepak, orang tua ini mulai
berfikir. Karena kebiasaan, tugas itu lama-lama tentu saja
menanamkan cinta juga. Ia tampak murung. Ditanya
pendapatnya,terang saja dia bilang tidak setuju. Ia malahan
berdoa agar niat tersebut tidak jadi. Tapi jangan asal main
stop, tapi sediain juga kerjaan lain untuk ganti oplet,"
ujarnya.
Mudi tak tahu apa-apa tentang organisasi dan masalah lain dalam
opelet kecuali nyupir. Ia tidak tahu bagaimana akal majikannya
menjalankan bisnis opelet, mengurus izin. Ia tidak pernah
bermimpi satu hari akan punya opelet sendiri. Kesederhanaannya
memang keterlaluan. Barangkali itu sebabnya ia tidak pernah
lebih maju dari sopir. Sopir saja terus sampai tua. "Yah,
pokoknya sih soal macem-macem nggak tahu dah. Yang penting bisa
cari makan, bisa narik. Begitu saja!"
Sekali peristiwa ada penodong. Tapi Mudi mengucap syukur karena
todongan bukan diarahkan kepadanya, pada salah seorang
penumpang. Itu tahun 1965. "Syukurlah selama ini nggak ada lagi
yang nodong," katanya mengurut dada. Selain todongan tersebut ia
tidak punya keluhan apa-apa terhadap pekerjaan yang membawa ia
tua di jalan itu. Semangatnya masih tetap menyala, hanya
tubuhnya tidak dapat melayani lagi. Ini yang memaksa dia
berhenti narik malam hari. "Sudah tidak kuat dah sekarang. Badan
sudah tua, sering encok dan pegel-pegel," katanya.
Mudi berusaha hidup sesederhana dan sepraktis mungkin. Tidak
pernah nonton bioskop. Di rumahnya hanya ada sebuah radio satu
band untuk seluruh keluarga. Rokoknya hanya merek "Orong
orong". Tiap sepuluh bungkus bisa dapat persen sebuah gelas.
Lumayan, sambil ngerokok jadi kolektor gelas. Bacaannya Pos
Kota. Tapi tidak tiap hari beli. Saban-saban kalau lagi iseng
atau ada duit lebih sedikit. "Saya nggak malu nih, saya nggak
pernah ngerasain sekolah, tapi bisa baca, belajar dari
temen-temen," kata Mudi sambil ketawa.
Dengan rambut setengah putih, Mudi mempertahankan kesederhanaan
sebuah rumah 3 x 6 meter di Kramat Pulo. Gigi sampingnya sudah
lama punah. Tapi ia tidak segan-segan tertawa lepas. Barangkali
ia akan menjadi baris penghabisan sejarah opelet. Perpisahan
sudah terbayang, sedih juga. Keluarganya telah dihidupi oleh
mata pencaharian itu. Bahkan salah seorang menantunya juga sopir
opelet. Tanpa hiasan cincin dan jam tangan, tangannya yang polos
dan mengeriput, bagai satu dengan stir. "Selama taonan jadi
sopir ngga pernah nyerempet atau nabrak," katanya dengan bangga
kepada TEMPO.
Majikan
Sopir yang lain bernama Sukatma. Berbeda dengan Mudi, sopir yang
baru berusia 30 tahun ini selalu ganti-ganti majikan. "Maklum
namanya juga kuli, jarang cocok kerja sama majikan," itu
alasannya. Ia juga dapat menceritakan betapa tak sedapnya
menghadapi majikan. Kaum majikan dari mata seorang Sukatma
adalah orang yang jarang mau diajak kompromi. Kaum yang dengan
tenang-tenang saja minta setoran Rp 3300 setiap hari. Tapi
manakala sopir sedang kelabakan mencari pinjaman untuk
melancarkan jalan rumah tangga, tidak segan-segan bersikap tidak
mau tahu. "Maklum deh orang Cina," kata sopir muda ini dengan
gemas.
Setelah ganti-ganti majikan, Sukatma sampai pada sebuah opelet
keluaran tahun 1956. Kendaraan yang cukup tua itu makan bensin
15 liter setiap hari. Itu berarti Rp 1050. Pendapatan bersih
sehari antara Rp 1500 sampai Rp 2000. Sukamta yang tiap hari
menumpang di rumah orang tuanya menunggu sampai pendapatan itu
berjumlah Rp 4000 kemudian langsung dikirimkan ke Bogor di mana
isteri dan kedua anaknya tinggal. Sekali tempo keluarganya
memberikan kunjungan balasan, beramai-ramai ke Jakarta. Itulah
saat-saat berkumpul mereka. Sukatma sendiri seminggu sekali ke
Bogor.
Meskipun sudah 11 tahun bergaul dengan opelet masih belum bisa
juga menabung. Pendapatannya hanya klop untuk mengasapi dapur.
Padahal ia bekerja dari pukul 6 pagi sampa pukul 4 sore. Kalau
dibandingkan dengan Mudi, dengan kelebihan tenaga karena usia
jauh lebih muda, mengherankan juga pendapatannya tidak lebih
tinggi. Sementara seorang sopir lain jurusan Senen-Kampung
Melayu yang narik dari pukul 6 sampai pukul 8 malam dengan
setoran Rp 5 ribu bisa mencapai 5-6 ribu bersih.
Sukatma hitam dan periang. Pakaiannya bersih. Di kakinya ada
sepatu kets yang masih baru, pakai kaos. Ia hidup tiap hari
dengan sarapan pagi di pangkalan opelet Kemayoran. Dia hanya
mikirkan perut hari ini. Itupun sudah sulit. Seluruh tetek
bengek untuk merawat opelet adalah'urusan majikan. Sopir hanya
menghidupkan mesin, lalu minta uang dari para penumpang. Bagi
Sukatma yang berpendidikan 2 tahun di STM, pekerjaan ini memang
kurang tepat. Tapi bagaimana lagi, ia telah menyerah jadi sopir
karena persoalan biaya. Sekarang ia sudah 11 tahun sebagai
sopir. Tidak pernah bentrok dengan para petugas jalan. Bagaimana
dengan kecelakaan dan bahaya todongan? "Wah jangan sampai dong,"
kata Sukatma sambil nyengir.
Moris Kodok
Dunia opelet memang berbeda dengan dunia bus kota atau taxi yang
panas itu. Terkurung dalam bilik sopir yang kecil, dengan
kondisi mesin yang rata-rata bengek, menyebabkan sopir-sopir
opelet berjiwa sederhana. Banyak di antaranya pendiam. Hubungan
sesama mereka akrab. Dari belakang stir dengan kabel-kabel
semrawut di bawahnya, Dimyati sopir opelet Senen-Kampung Melayu
yang berusia 24 tahun berkata"Sopir-sopir oplet tidak ada yang
buas-buas Oom. Kebanyakan dari Sunda dan Jawa. Jiwanya lemah,
kalau ada apa-apa lebih baik mengalah."
Menurut pengamatan Dimyati, tidak kurang dari 500 buah oplet
operasi sepanjang Senen-Kampung Melayu. Berbeda dengan jurusan
ke Kota, sopirnya banyak muda-muda. Di antaranya tentu banyak
juga yang tidak punya SIM. Anehnya meskipun muda, jarang ada
insiden. Dimyati merasa ritnya aman. Sudah lama tidak pernah ada
operasi SIM. Kalau mendadak ada, tentu banyak di antara
anak-anak muda itu yang akan kehilangan penghasilan.
"Dulu saya juga sopir, sopir kantor," kata Dimyati yang baru 1
tahun pegang opelet. "Tapi saya lebih suka sekarang pegang
opelet." Kenapa Anak muda itu cepat menjawab "Yah, lebih bebas
! " Ketika ditanya kenapa ia tidak jadi sopir taxi saja,
jawabnya "Habis saya belum tahu slahnya Oom, di sini paling juga
bisa dapat Rp 2 ribu setiap hari." Dimyati sentuhan SD kelas V
ini sudah berkeluarga. Ia mampu narik paling sedikit 6 rit
antara pukul 6 pagi sampai pukul 3 sore. Kadang-kadang ngebut
sampai 7 rit. "Yah kalau ada anak, kerja semangat Oom," katanya
gembira. Anaknya berusia 13 bulan sekarang.
Mendengar bahwa opelet didesar-desirkan akan disepak dari
ibukota, ia tertawa kecil. "Nggak bisa," katanya, "biar
bagaimana tidak bisa. Dari dulu juga ceritanya mau dihapus, tapi
nyatanya sampai sekarang tidak. Di Cisalak Oom, malahan ada
mobil-mobil baru dipotong jadi opelet. Itu kan artinya tidak
mungkin dihapus." Lalu ia menceritakan juga bahwa sampai saat
ini opelet yang bagus mesinnya di pasaran masih laku Rp 1,8
juta. Memang tokenya pernah bilang juga soal penghapusan itu.
"Tapi itu kan bangsanya Moris-Moris Kodok, mobil-mobil tahun 51
ke bawah, yang lainnya kan tetep." Kan tetep --tanda tanya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini