Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Restoran Gohan-ku dan Bungkushin menyajikan menu ala Jepang dalam bentuk unik, yaitu nasi bungkus.
Olahan ikan atau ayam Jepang dileburkan dengan sambal matah atau cabe hijau dalam satu bungkusan.
Lewat Pidato Kebudayaan 2023, pakar kuliner William Wongso mengusulkan nasi bungkus dijadikan bentuk gastrodiplomasi Indonesia.
Suasana Negeri Sakura terasa kental di restoran Gohan-ku. Di gerai mereka di Jalan Radio Dalam, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, misalnya. Dari aksara pada papan nama restoran, lampion merah, sampai payung yang digantung sebagai dekorasi, semua bertema Jepang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, di meja makan, yang tersaji adalah nasi bungkus. Pada Selasa siang, 16 Januari lalu, Savira Afianiesa, 23 tahun, tengah bersantap di sana. Karyawan swasta ini memilih Nasi Omega—menu andalan Gohan-ku yang terdiri atas nasi, telur orak-arik, sosis, dan rumput laut atau nori flakes seharga Rp 15 ribu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Restoran Gohan-ku di Jalan Radio Dalam, Jakarta Selatan, 16 Januari 2024. TEMPO/Jihan Ristiyanti
Restoran yang pertama kali dibuka pada awal 2022 dan memiliki lebih dari 20 cabang ini mengusung konsep fusion food. Sajian lauk dan nasi ala Jepang dipadukan dengan cita rasa Indonesia lewat sambal matah yang ada dalam setiap menu di Gohan-ku. Savira, yang baru pertama kali menjajal perkawinan rasa Jepang-Indonesia itu, mengaku doyan. “Bakal balik lagi,” kata warga Kemayoran, Jakarta Pusat, itu.
Pengunjung lain, Arga, 30 tahun, memesan nasi ayam. Cita rasa Jepang hadir lewat bumbu kari. “Ada manis pedasnya,” ujarnya. Arga adalah penggemar kari Jepang. Jika membeli ramen, misalnya, dia selalu memilih rasa kari. Di Gohan-ku, sensasi gurih itu dipadukan dengan rasa pedas lewat sambal matah yang melebur di nasi bungkus. Betulan dibungkus dengan kertas minyak dan daun pisang, seperti saat membawa pulang nasi Padang atau nasi warteg.
Restoran Bungkushin di Bintaro, Tangerang Selatan, mengusung konsep serupa, yaitu mengkombinasikan sajian ala Jepang dan Indonesia lewat nasi bungkus. Bedanya, kemasan Bungkushin berupa boks kecil dengan penutup pipih yang bentuknya mirip-mirip nasi bungkus.
Nasi Tamago di restoran Bungkushin, Tangerang Selatan, 16 Januari 2024. TEMPO/Jihan Ristiyanti
Kemarin, Tempo mencoba Nasi Tamago yang terdiri atas sate bakso ikan, telur, keripik bayam, sambal hijau, dan taburan potongan daun seledri seharga Rp 12 ribu. Cabai hijau itu membuat rasanya sangat Indonesia.
Cici Ayu Ningsi, supervisor restoran itu, mengatakan mereka memang lebih banyak mengadopsi bumbu lokal, termasuk kari, ketimbang saus teriyaki dan yakiniku ala Jepang. Buka sejak 2022, Bungkushin kini tersebar di sembilan lokasi. Kedai di Bintaro, yang berupa peti kemas, itu merupakan gerai perdana mereka.
Nasi bungkus memang “Indonesia banget”. Lewat pidato kebudayaan di Dewan Kesenian Jakarta 2023 pada November lalu, pakar kuliner William Wongso bahkan menawarkan nasi bungkus sebagai pemersatu dari kebinekaan masakan berbagai daerah, dari Sabang sampai Merauke. Entah lauknya rendang sapi atau ayam betutu, selama menyatu dengan nasi lewat bungkusan, jadilah nasi bungkus.
William mengajak masyarakat Indonesia mempopulerkan kata “nasi bungkus” ke mana-mana sebagai bentuk gastrodiplomasi. Dia mencontohkan banyak negara Asia yang lebih dulu berhasil mengangkat kultur kuliner mereka secara global. Misalnya Korea Selatan lewat ganjang gejang atau kepiting mentah yang difermentasi. Lalu ada sashimi dari Jepang.
Pakar kuliner William Wongso di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 10 November 2023. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Hanya, William melanjutkan, menggunakan nasi bungkus untuk sajian ala negara lain bisa menjadikan upaya gastrodiplomasi itu campur aduk tak karuan. “Nanti jadi ricuh,” katanya kepada Tempo lewat pesan teks, kemarin.
Penulis kuliner Kevindra Soemantri punya pendapat lain. Membungkus makanan dengan daun pisang bukan budaya eksklusif Indonesia karena juga dilakukan orang-orang di negara-negara lain, seperti di Thailand dan India. “Secara kultur, ini sangat umum,” ujar finalis Masterchef Indonesia musim pertama pada 2011 ini.
Daun pisang, Kevindra melanjutkan, mengeluarkan minyak alaminya ketika bersentuhan dengan permukaan panas, termasuk nasi. “Reaksi itulah yang menambah aroma nasi bungkus,” kata pengisi cerita serial Street Food Asia di Netflix ini.
Menurut Kevindra, konsep nasi bungkus sejalan dengan kebutuhan masyarakat urban yang ritme kerjanya kian padat. “Makanan disajikan secara cepat dan mudah dibawa ke mana-mana,” kata Kevindra.
JIHAN RISTIYANTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo