Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Nyeri yang Bisa Berujung Maut

Infeksi pada penderita diabetes tak bisa disepelekan. Bisa menyebabkan kematian.

25 Juli 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK didiagnosis menderita diabetes, Irwan tak bisa lagi mengabaikan rasa sakit. Ia bercerita, pada akhir 2014, tumit kirinya terasa nyeri. Ia sebenarnya tak begitu peduli karena mengira nyeri ini hanya disebabkan oleh tumit kakinya yang pecah-pecah. ”Tapi tiga hari kemudian jadi bengkak,” kata Irwan—bukan nama sebenarnya—pada akhir Juni lalu.

Karena tak mau sakitnya bertambah parah, pria 35 tahun ini memeriksakannya ke rumah sakit. Dari hasil roentgen, Irwan baru mengetahui ternyata biang rasa sakitnya berasal dari besi staples yang menancap di tumitnya. Karena riwayat diabetes melitus yang diderita Irwan, dokter meminta ia dirawat di rumah sakit, tapi Irwan menolak. ”Saya harus bekerja,” ujarnya.

Irwan mengira luka di kakinya akan cepat sembuh setelah staples yang menancap sudah lenyap. Tapi, beberapa hari kemudian, kakinya malah bernanah—tanda infeksinya bertambah parah. Mau tak mau, Irwan kembali ke rumah sakit. Dokter yang menanganinya menyuruhnya melakukan operasi. Nanahnya dikeluarkan dan kulitnya diganti. Selama sebulan Irwan mesti bolak-balik ke poliklinik. ”Sebulan itu baru lukanya tertutup,” tutur karyawan sebuah apotek di Jakarta Pusat itu.

Masalah infeksi seperti ini kerap terjadi pada penderita diabetes. Irwan cukup beruntung karena infeksinya tak merembet terlalu jauh. Menurut dokter spesialis penyakit dalam konsultan endokrin, metabolik, dan diabetes Em Yunir, infeksi kecil saja pada penderita diabetes bisa berujung pada amputasi, bahkan kematian.

Yunir mengatakan diabetes menyebabkan daya tahan tubuh menurun. Jika terinfeksi kuman, tubuh tak maksimal melawannya. ”Pertahanannya jadi kurang,” kata Kepala Divisi Metabolik Endokrinologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, ini.

Penurunan daya tahan tubuh ini terjadi karena hiperglikemia alias kadar gula darah yang tinggi—lebih dari 200 miligram/desiliter. Hiperglikemia yang berkepanjangan menyebabkan fungsi sel darah putih menurun. Padahal sel darah putih merupakan ”pasukan utama” yang bertugas menjaga keamanan tubuh. Jika ada kuman yang masuk, sel-sel tersebut akan bergerak menangkap dan memakan kuman itu.

Nah, pada penderita diabetes, pergerakan sel darah putih ini menjadi terhambat akibat tingginya gula darah. Salah satu penyebabnya, darah menjadi lebih kental akibat hiperglikemia. Karena darahnya mengental, sel darah putih tak bisa bergerak dengan cepat untuk menangkap kuman. Pembuluh darah juga menjadi kaku, bahkan menyempit akibat penumpukan gula yang berlebih.

Padahal pembuluh darah adalah jalan bagi sel darah untuk mengejar kuman. Kalau jalannya terblokade atau menjadi kaku, sel darah putih tak bisa bergerak leluasa menangkap kuman. Akibatnya kuman-kuman yang tak terkejar itu berkembang biak dengan pesat di dalam tubuh.

Efeknya, menurut Yunir, tubuh jadi gampang terinfeksi. Kalau sudah terjangkit infeksi, kemungkinan bakteri menyebar secara luas ke organ lain cukup besar. Lama-lama bisa menjadi infeksi sistemik di badan. Contohnya, semula hanya luka atau bisul kecil, lama-lama bisa menyebabkan infeksi di sekujur tubuh. Ini yang membuat kondisi tubuh menurun. ”Kalau ada luka, infeksi itu ibarat kebakaran, bisa merembet ke mana-mana,” katanya.

Ada beberapa tingkat gejala infeksi. Pertama adalah selulitis, yakni infeksi pada kulit dan jaringan lunak di bawah kulit. Selulitis terjadi ketika bakteri menyerang kulit yang rusak atau normal dan menyebar di bawah kulit dan ke dalam jaringan lunak sehingga menyebabkan infeksi dan peradangan. Tandanya kulit menjadi merah dan bengkak. Untuk mengatasinya, biasanya cukup diobati dengan antibiotik.

Kalau infeksi selulitis ini tak tertangani dengan baik, akan berlanjut menjadi abses atau kantong nanah. Ini terjadi karena sel-sel darah putih yang bertugas sebagai penjaga tubuh berusaha melawan infeksi. Setelah mengejar dan memakan bakteri, sel-sel akan mati dan menjadi nanah, lalu mengisi rongga yang awalnya disusupi oleh kuman tadi. Agar infeksi tak menyebar, tubuh akan membentuk jaringan di sekeliling tumpukan nanah itu yang menjadi dinding pembatas. 

Lama kelamaan kantong nanah itu akan pecah dengan sendirinya. Ini merupakan mekanisme tubuh untuk membuang nanah. Jika tak pecah justru akan berbahaya, nanah akan tertahan dan bakteri akan menjalar ke tempat di sekitarnya dan bisa menjadi infeksi sistemik.

Kemungkinan ini pula yang terjadi pada Husni Kamil Manik, Ketua Komisi Pemilihan Umum, yang meninggal pada 7 Juli lalu. Menurut kakak Husni, Muhammad Arfanuddin Manik, adiknya itu menderita abses akibat bisul. 

Arfanuddin mengatakan Husni, yang menderita diabetes, cukup lama menderita abses tersebut. Abses ini tidak pecah, justru makin lama makin lebar sehingga peradangannya menyebar sampai ke perut. ”Virus-virus sudah menyebar melalui darah,” ujarnya.

Menurut Yunir, abses di permukaan kulit memang bisa jadi tampak kecil. Tapi, di bagian dalam, kemungkinan penumpukan nanahnya lebih besar dari yang terlihat. Seperti fenomena gunung es, bagian yang terlihat hanya secuil dari masalah yang sebenarnya. ”Di permukaan hanya seujung, tapi di dalam ternyata sudah groak, seperti mangga busuk,” katanya.

Masalahnya, penderita diabetes umumnya mengalami neuropati, yakni masalah saraf tepi. Karena tingginya kadar gula darah, saraf jadi tak sensitif sehingga tak terlalu merasakan sakit. Akibatnya penderita jadi mengabaikan luka yang dideritanya.

Lalu bagaimana penderita tahu bahwa infeksinya sudah berat atau tidak. Me­nurut Yunir, pada kaki, ada beberapa tanda yang bisa mengindikasikan infeksi. Per­tama, bengkak. Kedua, warna kemerahan pada kulit. Kalau warna kemerahannya lebih dari satu sentimeter, artinya terjadi infeksi. Makin lebar warna kemerahannya mengindikasikan infeksinya makin jauh.

Ketiga, rasa nyeri. Keempat, adanya nanah yang keluar. Terakhir, timbul rasa hangat. Jika rasa hangat hanya di daerah yang terluka, artinya infeksinya masih lokal. Tapi, kalau sudah menyebabkan demam sampai 39 derajat Celsius, berarti infeksinya sudah sistemik di badan.

Dokter spesialis penyakit dalam konsultan endokrin, metabolik, dan diabetes Wismandari Wisnu mengatakan infeksi akut ini bisa memicu ketoasidosis, yakni pemecahan lemak menjadi ketone. Ketoasidosis merupakan komplikasi diabetes mematikan yang disebabkan oleh kurangnya insulin dalam tubuh.

Saat insulin tak mencukupi, gula yang ada di dalam aliran darah tak bisa terpakai karena insulin kurang. Insulin adalah hormon yang bertugas menyebarkan gula dalam darah ke seluruh sel tubuh agar bisa diproses untuk menjadi energi. Untuk mengatasi kekurangan energi, badan memiliki mekanisme darurat, yakni membuat energi baru dengan memecah lemak menjadi ketone.

Namun pecahan lemak ini memiliki dampak buruk pada tubuh karena membuat darah menjadi asam. Keadaan ini mengakibatkan semua sistem tubuh menjadi kacau. Misalnya pernapasan terganggu, metabolisme tubuh kacau sehingga menyebabkan keracunan, dan sistem imun berantakan.

Akibatnya penderita jadi sesak napas, urine meningkat, mengalami kelelahan, merasa haus terus, gula darah dan ketone meningkat, serta sakit perut. Jika tak tertangani akan membuat detak jantung menjadi lebih cepat, napas juga bertambah cepat, muntah, pusing dan linglung, mengantuk, napas bau seperti aroma pembersih kutek, serta koma. ”Jika tak ditangani dengan baik bisa menyebabkan kematian,” ucap Wisma.

Karena itu, agar tak sampai telanjur menjadi komplikasi akut, Wisma mewanti-wanti penderita diabetes agar selalu menjaga kadar gula darah tetap normal. Sebab, gula darah tinggi menyebabkan infeksi. Dan infeksi pun jadi susah disembuhkan kalau gula darah tinggi. ”Jadi gula darah benar-benar harus dikontrol,” ujarnya.

Jika sudah terjadi abses, segeralah ke dokter. Sebab, bagi pasien diabetes, penanganan abses tak segampang orang tanpa diabetes. Perlu antibiotik yang diberikan lewat infus. Nanahnya juga harus dikeluarkan dengan cara dibedah agar bakteri yang sudah dibendung oleh tubuh tak menjalar ke bagian tubuh lain.

Kalau sudah telanjur mengalami ketoasidosis, selain mengendalikan kadar gula darah dengan memberikan insulin, dokter akan segera memberikan banyak cairan agar pasien tak mengalami dehidrasi. Sebab, ketoasidosis membuat tubuh banyak mengeluarkan cairan. ”Sehingga kita ’guyur’ dengan cairan,” kata Wisma. NUR ALFIYAH, AHMAD FAIZ

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus