Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Jejak Hobbit di Fosil Gigi

Para peneliti menemukan fosil gigi berukuran lebih kecil dibandingkan dengan fosil gigi Homo erectus di Jawa. Keterkaitan keduanya masih misterius.

25 Juli 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MIKA Rizki, 30 tahun, mahasiswi doktoral paleontologi University of Wollongong, Australia, baru sebulan bergabung dengan tim ekskavasi di Cekungan Soa, Mata Menge, Flores, Nusa Tenggara Timur. Tugasnya mencatat apa pun yang ditemukan timnya. Setelah dua pekan ekskavasi yang bekerja sama dengan peneliti dari Badan Geologi itu dilakukan, secara tak terduga Mika menjadi orang pertama yang ”menemukan” fosil gigi manusia purba di daerah tersebut. ”Waktu itu saya lihat ada fosil gigi. Ini yang kami cari selama ini,” kata Mika, tiga pekan lalu. Penemuan itu terjadi pada awal Oktober 2014.

Pagi itu, seperti biasa, Mika berkeliling di lokasi ekskavasi untuk mencatat berbagai temuan. Ketika tiba di penggalian yang dilakukan Andreas Boko, penduduk setempat yang diperbantukan dalam proses ekskavasi, perhatian Mika tertuju pada sebuah benda kecil. Setelah benda tersebut diamati secara saksama, ia menduga itu adalah fosil gigi manusia purba. Dugaan Mika ternyata benar dan diakui oleh para peneliti lain. Setelah melalui proses verifikasi cukup panjang, seperti menentukan umur fosil dan kepastian jenis tulang apa, temuan tersebut akhirnya dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Nature pada Juni 2016.

Fosil pertama yang ditemukan adalah gigi geraham bawah kiri yang memiliki lima pucuk. Dibandingkan dengan fosil gigi Homo erectus di Jawa, ukurannya lebih kecil. ”Keduanya memiliki kemiripan bentuk,” ujar Fachroel Aziz, pakar paleovertebrata dari Museum Geologi Bandung, dalam seminar temuan fosil manusia purba di Museum Geologi pada Juni lalu. Temuan fosil gigi itu menggairahkan para peneliti untuk menggali lebih banyak. Waktu ekskavasi pun diperpanjang menjadi sebulan lebih dari rencana hanya tiga pekan.

Keputusan tersebut tak sia-sia. Setelah menggali lebih banyak, mereka akhirnya menemukan serpihan lain yang diindikasikan sebagai fosil gigi manusia purba. Ada enam fosil gigi lainnya, yakni gigi geraham atas dan bawah serta dua gigi taring susu. Dari bentuk dan pola kesesuaiannya, fosil gigi tersebut diduga berasal dari satu orang dewasa dan dua anak balita. Sedangkan jenis kelaminnya belum dapat disimpulkan. Fachroel menduga tiga orang ini berasal dari satu keluarga. Sejak 1963, para peneliti memang mengejar fosil gigi manusia purba di Mata Menge. Apa yang ditemukan Mika merupakan temuan pertama.

Iwan Kurniawan, anggota tim peneliti paleontologi dari Museum Geologi, mengatakan fosil tersebut ditemukan di kedalaman 2-2,5 meter dari permukaan tanah. Tim ekskavasi membagi area penggalian menjadi empat petak, masing-masing berukuran 4 x 5 meter. Petak-petak tersebut berjejer dari utara ke selatan. ”Sesuai dengan arah lintasan bekas sungai purba di sana,” kata Iwan. Cekungan Soa merupakan sisa kawah dari letusan Gunung Ola Kile. Umurnya 1,5-2 juta tahun. Setelah letusan, peneliti memperkirakan cekungan itu butuh 500 ribu tahun hingga muncul kondisi dan tanda-tanda kehidupan.

Selain menemukan fosil gigi, tim penggali Cekungan Soa menemukan pecahan mandibula, yakni bagian rahang bawah kanan. Melihat gigi geraham ketiga atau geraham bungsu telah muncul di mandibula, mereka berkesimpulan bahwa gigi itu milik orang dewasa tapi ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan manusia modern ataupun Homo floresiensis. Walau ukuran gigi itu lebih kecil, peneliti mencoba mengaitkannya dengan Homo floresiensis atau dikenal sebagai Hobbit dari Flores. Sebab, 12 tahun lalu, ditemukan jejak manusia purba di Gua Liang Bua, Flores. Jaraknya kurang-lebih 70 kilometer ke arah barat dari Cekung Soa, Mata Menge.

Jika benar ada hubungannya dengan Hobbit Liang Bua, Fachroel menduga fosil di Cekungan Soa adalah nenek moyangnya. Dugaan ini berdasarkan usia fosil Cekungan Soa yang jauh lebih tua daripada Hobbit, yang berusia 13-94 ribu tahun. Berdasarkan pengujian tanah, usia fosil Cekungan Soa 500-700 ribu tahun. Namun banyak pihak ragu terhadap dugaan tersebut. Apalagi bentuk fosil gigi manusia purba di Cekungan Soa lebih mirip Homo erectus di Jawa. Maka muncul spekulasi bahwa manusia purba Cekungan Soa berasal dari Jawa.

Spekulasi tersebut jelas dibantah oleh Fach­roel. Ia mengatakan pada 500-700 ribu tahun lalu Indonesia berada di Paparan Sunda, yang menyatukan Pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Kemudian ada juga Paparan Sahul, yang menghimpun Maluku dan Papua. Ketika air laut menyusut, maka terbentuk daratan. Di antara dua daratan tersebut, seperti Sulawesi, Halmahera, dan Nusa Tenggara, terbentang laut dengan kedalaman sekitar 3.000 meter. Susutnya air laut tak berarti banyak karena hanya berkurang sekitar 200 meter.

Jika manusia purba Cekungan Soa berasal dari Jawa, kata Fachroel, mereka harus menantang maut untuk melewati Selat Lombok, Selat Alas, dan Selat Sape, yang lebarnya lebih dari 200-250 kilometer. ”Hanya makhluk yang bisa berenang yang bisa mencapai Pulau Flores pada masa itu,” ucap Fachroel. Dengan rintangan laut yang luas dan dalam, hanya keberuntungan yang bisa membawa mereka ke Flores.

Sejalan dengan pemikiran Fachroel, Gert van den Bergh, paleontologis di University of Wollongong, juga ragu terhadap teori tersebut. Ia tak yakin manusia purba pada masa itu mampu membuat perahu yang bisa membawa mereka sampai ke Flores. ”Secara pribadi, saya pikir itu bisa terjadi hanya karena beberapa peristiwa tak biasa, semisal tsunami,” katanya.

Fachroel lantas mengeluarkan hipotesis lain. Menurut dia, manusia purba di Flores berasal dari jalur lain, yakni Filipina, Sulawesi, atau migrasi dari utara ke selatan. Hipotesisnya memang masih perlu bukti jejak manusia purba dari daerah tersebut. ”Inilah hebatnya. Manusia yang diperkirakan hidup pada 750 ribu tahun lalu itu bisa sampai ke Pulau Flores,” ujarnya.

Tak seperti jalur datangnya yang masih misterius, habitat manusia purba di Mata Menge 700 ribu tahun silam dapat diketahui dari ragam fosil yang ditemukan. Habitat mereka merupakan padang rumput dengan sumber perairan tawar yang tetap. Penyebab kematian tiga manusia purba di Cekungan Soa itu diduga terkait dengan letusan gunung berapi. ”Kemungkinan letusan dari anak Gunung Ola Kile. Sebab, fosilnya ditemukan dalam lapisan debu gunung api,” kata Fachroel.

Tim peneliti memperkirakan manusia purba sedang mencari makan atau berburu pada saat itu. Meski begitu, penyebab pasti kematiannya masih belum dapat diketahui karena mereka belum mendapatkan bukti tempat tinggalnya. ”Bisa dipastikan habitatnya di daerah terbuka, padang luas,” ujar Fachroel. Ia menepis kemungkinan keluarga manusia purba itu mati akibat sakit. Sebab, penyakit ratusan ribu tahun lalu belum berkembang seperti sekarang. ”Malaria pun mungkin belum ada saat itu,” katanya. Jika kelak ditemukan fosil tulang lain, semisal kaki manusia, sebab-sebab kematiannya bisa lebih jelas.

Hingga saat ini tim peneliti belum bisa menyebutkan jenis manusia purba Cekungan Soa. Alasannya, beberapa karakteristiknya tak terlalu menyerupai Homo erectus ataupun Homo floresiensis. ”Sekarang masih disebut homo saja,” ujar Fachroel. Geligi dan fosil pecahan rahang saja belum cukup untuk menentukan termasuk jenis manusia purba apa. Peneliti masih membutuhkan kerangka lain untuk memastikannya. Gigi, kata Fachroel, punya banyak variasi yang tak bisa langsung menentukan jenis manusia purba.

Penemuan ini sempat dikritik oleh beberapa peneliti lantaran lokasi wilayahnya yang berdekatan dengan Gua Liang Bua. Kebenaran fosil Hobbit di Liang Bua sempat diragukan dan disebut-sebut hanyalah manusia modern yang menderita gangguan pertumbuhan seperti Down syndrome. Namun kritik itu dipatahkan Karen L. Baab, paleoantropolog dari Midwestern University di Glendale, Arizona, Amerika Serikat.

Dalam studi yang dipublikasikan di jurnal PloS One, Baab membandingkan kerangka manusia Down syndrome dengan fosil di Liang Bua. Hasilnya, hanya ada sedikit kemiripan. Fosil Liang Bua diduga berasal dari spesies berbeda. ”Secara patologis, ini adalah bukti yang tak mendukung bahwa fosil ini adalah manusia modern,” ujar Baab.

Lantas jika manusia purba di Cekungan Soa tak termasuk Homo erectus ataupun Homo floresiensis, lantaran ukuran rahangnya yang lebih kecil, apakah ini jenis manusia purba baru? Seperti kata Fachroel, sebut homo saja untuk saat ini dan biarkan misteri itu dieksplorasi lebih lanjut. TRI ARTINING PUTRI, ANWAR SISWADI (THE NEW YORK TIMES)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus