PERADILAN YANG SESAT
Oleh: Hermann Mostar
Penerbit: PT Grafiti Pers, Jakarta, 1983, 215 halaman
SERING kita dengar para pembela dalam pleidoinya mengatakan,
"Peradilan adalah benteng terakhir, di mana seharusnya keadilan
dilindungi dan ditegakkan." Harapan begitu besar terhadap
peranan peradilan sebenarnya tidak salah. Karena, bagaimanaDun
konflik-konflik kita, mestilah diperLkan pengaturan dan kata
putus. Supaya ada kriteria mana yang boleh dan mana yang tidak.
Mana yang salah dan mana yang benar, dengan segala
sanksi-sanksinya, agar kehidupan normal bisa berjalan.
Tapi, nyatanya, peradilan sering sekali "sesat", tidak adil,
sehina kita mesti waspada menjagainya agar ia selalu sehat
walafiat. Sebab, kalau peradilan ternyata sakit, impoten, dan
bahkan mati, ke mana kita menyelesaikan konflikkonflik?
Berontakl Main hakim sendiri Honore de Balac menasihati agar
kita selalu mempercayai peradilan, meskipun dengan sikap kritis.
Sebab, sekali peradilan tidak dipercaya, "itu adalah akhir dari
kehidupan bermasyarakat," petuahnya.
Hermann Mostal (1901-1973) adalah seorang Jerman penentang
Hitler, sehingga ia nneninggalkan tanah airnya, pada tahun
1930-an. Di samping seorang wartawan, ia juga penulis novel,
cerpen, sandiwara radio, dan cerita-cerita jenaka. Ia tak bisa
diam bila merasa suatu keputusan pengadilan kurang pas. Ia
membongkar arsip lama, mewawancarai mereka yang terlibat, dan
menuliskannya di surat kabar.
Tiga belas kisah nyatanya tentang peradilan yang sesat begitu
memikat, mengharukan, membuat merinding, dan kadang menggelikan:
orang ternyata bisa begitu masa bodoh, bahkan untuk urusan hidup
matinya seorang manusia. Meski kasuskasus itu terjadi di Eropa
(Belanda, Jerman Austria, Prancis, dan Italia) dalam kurun waktu
1796 sampai 1946, kentara pesannya "nyambung" pada situasi kita.
Kasus peradilan sesat masih terjadi kini, 37 tahun kemudian,
sesudah teknik pemeriksaan dan pembuktian lebih maju.
S.I. Poeradisastra dalam kata pengantarnya menyebutkan beberapa
contoh kesesatan peradilan "domestik", seperti kasus Sengkon
-Karta, Sum Kuning, dan Wasdri, meski yang terakhir tidak begitu
tepat. Sebab, sebenarnya ia lebih mencerminkan pandangan
formalisme tentang hukum. Saya bisa menambahkan kasus Perkeba,
mengenai terbakarnya percetakan uang di Kebayoran, yang
terdakwanya akhirnya bebas setelah harus meringkuk tujuh tahun
dalam bui, ditambah cacat dan lumpuh seumur hidup akibat
siksaan.
Penulisnya mengatakan, dari semua kasus yang dikisahkan, "boleh
dikata tak pernah ada niat jahat pribadi atau maksud jahat dari
orang-orang yang berkewajiban melakukan pemeriksaan,
penyidangan, dan penetapan putusan hukuman." Karenanya,
kasus-kasus hakim, jaksa, atau polisi disogok atau punya
kepentingan pribadi tidak masuk dalam buku ini. Begitu pula
kasus-kasus politik. Saya setuju dengan pemisahan ini harena
kasus-kasus yang memang kotor sejak awal (suap, tekanan atasan,
dan kepcntingan pribadi) harus dinilai tersendiri dan tidak
dicampur dengan kesesatan peradilan karena kekhilafan insaniah.
Mengapa peradilan bisa sesat? Buku ini menawarkan banyak
jawaban. Kesesatan dapat muncul karena jaksa-hakim-polisi dan
masyarakat sudah berprasangka dari semula. Ditambah lagi pers
selalu mengipas-ngipas (Kasus Bonmartini atau Cinta Kasih
melawan Fitnah dan Kebodohan). Karena siksaan dan kemelaratan
serta kebodohan (kasus Bratuscha atau Pengampunan Menyelamatkan
Hukum). Karena petugas merasa penting dan sok ahli (Kasus
Dejong atau Resersir yang Gila Hormat). Tekanan pendapat umum
(Kasus Ziethen atau Suara Rakyat bukan Suara Tuhan).
Banyak contoh lain dikemukakan, seperti dendam bekas pacar,
skandal istri dengan pelayan ramping, dan khayal seorang yang
ingin jadi pahlawan. Nyatalah sebenarnya bahwa kesesatan
peradilan bermula dari kesesatan kita semua dan, oleh karenanya,
tanggung jawab kita semua. Dalam semua kasus itu peranan pers
amat menonjol: Ia buruk, sewaktu ikut mendorong peradilan untuk
sesat, tapi ia pahlawan, ketika berdiri paling depan untuk minta
koreksi bagi kesesatan yang telanjur terjadi.
Peradilan yang sesat akan terus terjadi, sampai kapan pun,
karena manusia tidak akan pernah jadi malaikat. Meski kita sudah
mempunyai KUHAP yang mernuat peraturan peninJauan kembali yang
cukup baik. Namun, persoalannya tetap sama bahwa peninjauan
kembali hanya bisa berlaku sekali. Bagaimana kalau sesat lagi?
Secara formal, pintu sudah tertutup atau boleh minta ampun
kepada presiden. Kalau ditolak? Serahkan pada Allah yang
mahaadil.
Karena itulah kita seharusnya belajar kepada Mr. Urip
Kartodirdjo yang - sebagai ketua Pengadilan Negeri Bonthain
Sulawesi Selatan- telah membebaskan seorang terdakwa yang
terang-terangan mengaku telah melakukan pembunuhan. Peristiwa
yang terjadi pada 1928 itu cukup menggemparkan. Tapi sang Hakim
tetap tangguh dan terbukti kemudian terdakwa itu hanya orang
miskin yang diupah seorang bangsawan. Moral cerita ini adalah
supaya kita selalu teliti agar tidak sesat.
Buku ini, pada hemat saya, sungguh sayang kalau dilewatkan,
terutama untuk mereka yang berminat pada aspek kemanusiaan dalam
kasus-kasus hukum. Mungkin dapat disarankan diterbitkannya buku
serupa versi Indonesia.
Abdul Rachman Saleh
* Direktur Lembaga Bantuan Hukum, Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini