Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Akhir dari kehidupan bermasyarakat?

Pengarang: hermann mostar jakarta: grafiti pers, 1983 resensi oleh: abdul rachman saleh. (bk)

17 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERADILAN YANG SESAT Oleh: Hermann Mostar Penerbit: PT Grafiti Pers, Jakarta, 1983, 215 halaman SERING kita dengar para pembela dalam pleidoinya mengatakan, "Peradilan adalah benteng terakhir, di mana seharusnya keadilan dilindungi dan ditegakkan." Harapan begitu besar terhadap peranan peradilan sebenarnya tidak salah. Karena, bagaimanaDun konflik-konflik kita, mestilah diperLkan pengaturan dan kata putus. Supaya ada kriteria mana yang boleh dan mana yang tidak. Mana yang salah dan mana yang benar, dengan segala sanksi-sanksinya, agar kehidupan normal bisa berjalan. Tapi, nyatanya, peradilan sering sekali "sesat", tidak adil, sehina kita mesti waspada menjagainya agar ia selalu sehat walafiat. Sebab, kalau peradilan ternyata sakit, impoten, dan bahkan mati, ke mana kita menyelesaikan konflikkonflik? Berontakl Main hakim sendiri Honore de Balac menasihati agar kita selalu mempercayai peradilan, meskipun dengan sikap kritis. Sebab, sekali peradilan tidak dipercaya, "itu adalah akhir dari kehidupan bermasyarakat," petuahnya. Hermann Mostal (1901-1973) adalah seorang Jerman penentang Hitler, sehingga ia nneninggalkan tanah airnya, pada tahun 1930-an. Di samping seorang wartawan, ia juga penulis novel, cerpen, sandiwara radio, dan cerita-cerita jenaka. Ia tak bisa diam bila merasa suatu keputusan pengadilan kurang pas. Ia membongkar arsip lama, mewawancarai mereka yang terlibat, dan menuliskannya di surat kabar. Tiga belas kisah nyatanya tentang peradilan yang sesat begitu memikat, mengharukan, membuat merinding, dan kadang menggelikan: orang ternyata bisa begitu masa bodoh, bahkan untuk urusan hidup matinya seorang manusia. Meski kasuskasus itu terjadi di Eropa (Belanda, Jerman Austria, Prancis, dan Italia) dalam kurun waktu 1796 sampai 1946, kentara pesannya "nyambung" pada situasi kita. Kasus peradilan sesat masih terjadi kini, 37 tahun kemudian, sesudah teknik pemeriksaan dan pembuktian lebih maju. S.I. Poeradisastra dalam kata pengantarnya menyebutkan beberapa contoh kesesatan peradilan "domestik", seperti kasus Sengkon -Karta, Sum Kuning, dan Wasdri, meski yang terakhir tidak begitu tepat. Sebab, sebenarnya ia lebih mencerminkan pandangan formalisme tentang hukum. Saya bisa menambahkan kasus Perkeba, mengenai terbakarnya percetakan uang di Kebayoran, yang terdakwanya akhirnya bebas setelah harus meringkuk tujuh tahun dalam bui, ditambah cacat dan lumpuh seumur hidup akibat siksaan. Penulisnya mengatakan, dari semua kasus yang dikisahkan, "boleh dikata tak pernah ada niat jahat pribadi atau maksud jahat dari orang-orang yang berkewajiban melakukan pemeriksaan, penyidangan, dan penetapan putusan hukuman." Karenanya, kasus-kasus hakim, jaksa, atau polisi disogok atau punya kepentingan pribadi tidak masuk dalam buku ini. Begitu pula kasus-kasus politik. Saya setuju dengan pemisahan ini harena kasus-kasus yang memang kotor sejak awal (suap, tekanan atasan, dan kepcntingan pribadi) harus dinilai tersendiri dan tidak dicampur dengan kesesatan peradilan karena kekhilafan insaniah. Mengapa peradilan bisa sesat? Buku ini menawarkan banyak jawaban. Kesesatan dapat muncul karena jaksa-hakim-polisi dan masyarakat sudah berprasangka dari semula. Ditambah lagi pers selalu mengipas-ngipas (Kasus Bonmartini atau Cinta Kasih melawan Fitnah dan Kebodohan). Karena siksaan dan kemelaratan serta kebodohan (kasus Bratuscha atau Pengampunan Menyelamatkan Hukum). Karena petugas merasa penting dan sok ahli (Kasus Dejong atau Resersir yang Gila Hormat). Tekanan pendapat umum (Kasus Ziethen atau Suara Rakyat bukan Suara Tuhan). Banyak contoh lain dikemukakan, seperti dendam bekas pacar, skandal istri dengan pelayan ramping, dan khayal seorang yang ingin jadi pahlawan. Nyatalah sebenarnya bahwa kesesatan peradilan bermula dari kesesatan kita semua dan, oleh karenanya, tanggung jawab kita semua. Dalam semua kasus itu peranan pers amat menonjol: Ia buruk, sewaktu ikut mendorong peradilan untuk sesat, tapi ia pahlawan, ketika berdiri paling depan untuk minta koreksi bagi kesesatan yang telanjur terjadi. Peradilan yang sesat akan terus terjadi, sampai kapan pun, karena manusia tidak akan pernah jadi malaikat. Meski kita sudah mempunyai KUHAP yang mernuat peraturan peninJauan kembali yang cukup baik. Namun, persoalannya tetap sama bahwa peninjauan kembali hanya bisa berlaku sekali. Bagaimana kalau sesat lagi? Secara formal, pintu sudah tertutup atau boleh minta ampun kepada presiden. Kalau ditolak? Serahkan pada Allah yang mahaadil. Karena itulah kita seharusnya belajar kepada Mr. Urip Kartodirdjo yang - sebagai ketua Pengadilan Negeri Bonthain Sulawesi Selatan- telah membebaskan seorang terdakwa yang terang-terangan mengaku telah melakukan pembunuhan. Peristiwa yang terjadi pada 1928 itu cukup menggemparkan. Tapi sang Hakim tetap tangguh dan terbukti kemudian terdakwa itu hanya orang miskin yang diupah seorang bangsawan. Moral cerita ini adalah supaya kita selalu teliti agar tidak sesat. Buku ini, pada hemat saya, sungguh sayang kalau dilewatkan, terutama untuk mereka yang berminat pada aspek kemanusiaan dalam kasus-kasus hukum. Mungkin dapat disarankan diterbitkannya buku serupa versi Indonesia. Abdul Rachman Saleh * Direktur Lembaga Bantuan Hukum, Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus